Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketergantungan orang terhadap sumber listrik untuk mengisi baterai telepon seluler pintar jelas-jelas sangat tinggi. Power bank, misalnya, sudah menjadi teman tetap ponsel Anda. Nah, apabila tak ada sumber listrik konvensional dan power bank lupa dibawa sedangkan baterai ponsel Anda sudah nyaris "wassalam", Anda pasti bingung bukan kepalang. Untuk itu F.A. Brian Ganda Pratama, mahasiswa Teknik Elektronika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, mencoba menawarkan solusi.
Gara-gara Brian sering mengalami masalah serupa—misalnya ketika nongkrong di kafe—dia akhirnya mampu menciptakan alat sederhana dari teori Seebeck effect, yakni perbedaan temperatur yang bisa dikonversikan ke listrik secara langsung. Wujudnya adalah kursi. Pilihannya jatuh pada kursi karena saat diduduki benda ini bisa mengkonversi perbedaan suhu badan dan lingkungan menjadi energi listrik."Saya beri nama Lungguh. Nama itu diambil dari bahasa Jawa yang berarti duduk," kata Brian saat ditemui pada Rabu pekan lalu.
Studi tentang memanen energi listrik dari suhu lingkungan, angin, isolasi termal pakaian, dan aktivitas seseorang memang menjadi perhatian para inventor di dunia. Cukup banyak penelitian dan alat penghasil listrik yang diciptakan memanfaatkan panas tubuh. Temuan Brian dari Salatiga ini merupakan salah satunya.
Selain memberi nama Lungguh, Brian memberi nama ciptaannya Hubhee (Human Body Heat Energy Harvester). Kursi itu menggunakan dua elemen utama yang digunakan untuk mengkonversi perbedaan suhu menjadi energi listrik, yakni thermal electric generator (TEG) dan aluminum heatsink. Kedua elemen yang berbentuk lempengan ini dibikin menempel. TEG berfungsi menangkap suhu tubuh, sedangkan aluminum heatsink berfungsi menangkap suhu ruangan sekitar.
Cara kerja Lungguh cukup sederhana. Bagian sisi atas TEG yang menempel ke pantat manusia akan menyerap suhu tubuh. Sisi yang lain akan menempel pada aluminum heatsink, yang menangkap suhu ruangan. Energi dari perbedaan suhu tersebut dipanen melalui rangkaian elektronik yang disimpan melalui superkapasitor.
Dari superkapasitor, energi listrik bisa disalurkan menurut kebutuhan, baik untuk isi ulang baterai handphone, laptop, maupun lampu senter. Rangkaian tersebut dibungkus dengan sebuah kain, lalu diduduki. Pada uji coba pertama, Brian menggunakan 10 lempeng TEG masing-masing berukuran 4 x 4 sentimeter. Dengan suhu tubuh manusia rata-rata 37 derajat Celsius dan suhu ruangan 27 derajat Celsius, alat ini mampu menghasilkan tegangan 287 milivolt atau listrik 0,02 watt. "Cukup dengan duduk sekitar satu jam," kata Brian.
Namun daya yang dihasilkan dari uji coba itu belum bisa memenuhi kebutuhan isi ulang ponsel, yang besarnya 4,5-5,5 watt. Dalam proyek ini, Brian dibantu koleganya, Chintya Rizki Amanda, dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UKSW. Chintya membantu proyek ini dari aspek keuntungan bisnisnya, jika teknologi ini kelak dikembangkan menjadi produk massal.
Kini Brian berupaya mengembangkan temuannya sekaligus dijadikan materi tugas akhir kuliah. Pemuda 20 tahun ini optimistis temuannya yang masih bersifatawal tersebut bisa dikembangkan menjadi teknologi yang menjadi solusi ketergantungan kepada listrik. "Saya yakin bisa. Dulu saja baterai handphone besar, sekarang kecil, kok," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo