PERANG 32 tahun melawan Hepatitis B penyakit infeksi yang bisa berkembang menjadi kanker hati, tampaknya memasuki babak baru. Dengan rekayasa rekombinan DNA, kini sebutir seragi bisa menghasilkan milyaran HBsAg dalam 24 jam. HBsAg adalah panggilan untuk Au-Antigen faktor sangat menentukar dalam penciptaan vaksin Hepatitis B. Langkah awal penemuan ini, sebetulnya, dibuka oleh genetikawan AS, Ba rauch S. Blumberg, 1961 Blumberg, yang bersama D. Carleton Gajdusel memenangkan Hadial Nobel bidang kedokteran 1976. terutama tertarik mengamati respons tubuh penerima transfusi darah. Khususnya terhadap antigen - segala jenis partikel yang menimbulkan antibodi. Kebetulan, pada seorang penderita hemofilia, yang menerima darah donor pribumi Australia, Blumberg mendapati jenis antigen baru yang belum diidentifikasikan. Ia menamakannya Au-Antigen, alias Au-Ag. "Namun, ketika itu ia belum tahu manfaat Au-Ag yang sebenarnya," tutur Dr. Maurice Hilleman kepada Bambang Harymurti dari TEMPO, pekan lalu. Hilleman adalah wakil presiden Merck Sharp & Dohme (MSD) yang memproduksikan vaksin Hepatitis B, sekaligus direktur riset yang mengepalai proyek penghasil vaksin itu. Ia diundang ke Indonesia untuk memberikan serangkaian keterangan dan ceramah oleh PT Pharos Indonesia (PI), importir produk MSD. Di sini sendiri, vaksin itu sudah dipasarkan sejak 1 Maret lalu. Indikasi hubungan Au-Ag dengan hepatitis muncul tatkala Barbara Werner, asisten Blumberg, jatuh sakit. Dalam darah Werner dltemukan memngkatnya kadar transammase dan isyarat positif Au-Ag. Padahal, sebelumnya ia tidak memiliki antigen itu. Indikasi itulah yang "mengipas" Blumberg mengejar korelasi antara Au-Ag dan hepatitis, penyakit yang ditanggungkan Werner. Langkah berikutnya ditunjang oleh pengembangan sistem pemeriksaan radioimmunassay (RIA) oleh Solomon A. Berson dan Rosalyn S. Yalow. Sistem ini lebih akurat menentukan kadar HBsAg dan antibodinya di dalam darah. Kemudian, Norman G. Anderson menemukan teknik zonal ultra centrifuge, alat yang berputar dengan kecepatan 50.000 RPM, dallL mampu memisahkan Au-Ag dari virus hidup atau virus mati Hepatitis B. Secara awami, Au-Ag bisa disebut kulit virus Hepatitis B. "Virus ini ternyata bodoh," ujar Hilleman, yang memulai proyek vaksinnya pada 1968. Dalam proses berkembang biak membelah diri, ternyata yang muncul bukan hanya virus, melainkan juga HBsAg. Antigen ini tidak menyebabkan hepatitis, tetapi mampu merangsang tubuh menciptakan antibodi yang justru melawan Hepatitis B. Dari kenyataan ini, timbullah pikiran menghasilkan HBsAg yang bebas virus, untuk dimanfaatkan sebagai vaksin. Ternyata, masalahnya tidak semudah itu. Vaksin dirancang untuk tidak menimbulkan sakit. Karena itu, umumnya digunakan natrium bisulfit untuk menetralisasikan formalin yang dipakai sebagai zat yang menekan aktivitas vaksin. "Ternyata, penggunaan natrium bisulfit menyebabkan keampuhan vaksin menurun drastis," tutur Hilleman. Penggunaan tikus putih sebagai hewan percobaan juga menyesatkan, karena makhluk ini sangat peka. Apa pun yang dilakukan pada vaksin, tikus tetap memberikan respons terhadap antigen. Baru sepuluh tahun lalu ditemukan hewan percobaan yang layak, yaitu simpanse. Sukses percobaan membuat MSD berani mencobakan vaksin ini kepada manusia, 1975. Untuk membebaskan HBsAg dari virus, MSD menempuh proses kimiawi tiga tahap, dengan menggunakan pepsin, urea, dan formalin. Juga teknik pemanasan dan saringan fisik, termasuk alat sentrifugal tadi. Satu tahap proses kimia hanya memberi peluang hidup virus 1/100.000. Dengan demikian, ketiga tahap itu hanya memberi peluang hidup satu butir virus dari 10 kuadriliun (10 pangkat 15 = 1.000.000.000.000 000) yang disucihamakan. Risiko ini, agaknya, memadai bagi Food and Drug Association, AS, yang meluluskan pemakaian vaksin ini, 1981. WHO sendiri hanya mensyaratkan setidak-tidaknya dua tahap pemurnian. MSD mendapat bahanbaku dari donor darah yang ada antigennya. Dari 1 ml darah, diperoleh 45 mikrogram vaksin. Karena satu dosis vaksin yang dijual mengandung 20 mikroram antien, 1 ml darah dapat digunakan untuk dua dosis. Tetapi, proses pembuatan vaksin dari darah ini membutuhkan waktu 65 minggu. Maka, harganya juga cukup mahal, sekitar Rp 65 ribu/dosis. Padahal, Hepatitis B diduga menjangkiti 216 juta penduduk dunia, 170 Juta di antaranya penduduk AsiaPasifik. Di Indonesia, "Diperkirakan penyakit ini menghinggapi 10% penduduk," kata Eddie Lembong, direktur PI dan sarjana farmasi ITB. Rekayasa rekombinan diharapkan menekan hargajual produksi itu. Dengan teknik ini, vaksin dapat dihasilkan dalam 16 minggu, tanpa membutuhkan darah. Reka yasa ini menggabungkan gen sel ragi dengan gen HBsAg. Akibatnya, sel ragi akan berkembang biak dan menghasilkan HBsAg, yang sama sekali murni. "Selama kita dapat menjaga kelangsungan hldup sel ragi, tmggal panen HBsAg saja," ujar Hilleman, anggota tim penasihat ahli WHO untuk penyakit-penyakit yang disebabkan virus. Peralihan teknologi ini membuat Singapura, yang merencanakan pengoperasian pabrik vaksin Hepatitis B Proyek ASEAN pada 1986, menjadi berhati-hati. Sebab, pabrik itu didesain untuk menggunakan plasma darah. Kini, "Kami merevisi proyek ini," kata Dr. Khong Peck Wah, general manager Singapore Biotech PTE Ltd., perusahaan yang ditunjuk menangani pabrik vaksin itu. Belum bisa dipastikan apakah pabrik proyek ASEAN itu akan menggunakan teknik plasma atau teknik rekombinan. "Yang jelas, kami tetap berusaha mempertahankan jadwal, beroperasi pada 1986," ujar Dr. Khon. Sementara itu, sebuah sumber mengatakan bahwa Indonesia berminat mengembangkan teknik rekombinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini