Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Kaleidoskop 2017 Sains: Kontroversi Dwi Hartanto dan Taruna Ikrar

Kaleidoskop 2017 sains Tanah Air terdiri dari dua peristiwa besar, yakni terbongkarnya kebohongan Dwi Hartanto dan Taruna Ikrar.

26 Desember 2017 | 15.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kaleidoskop 2017 sains Tanah Air terdiri dari dua peristiwa besar, yakni terbongkarnya kebohongan Dwi Hartanto dan Taruna Ikrar. Skandal dua ilmuwan Indonesia di luar negeri ini tentunya menampar dunia ilmu pengetahuan Tanah Air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ironis, karena Dwi dan Taruna mestinya bisa punya nama besar tanpa harus melakukan kebohongan. Dwi berbohong dari subjek studinya, pendidikan strata-1, hingga tahun lahir. Mahasiswa doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda, ini mengaku sebagai profesor muda di bidang aeronautika. Bahkan, dia mengaku kepada banyak pihak mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedangkan Taruna Ikrar mengaku dinominasikan University of California, Irvine, Amerika Serikat, sebagai salah satu nominator penghargaan Nobel Kedokteran 2016. UC Irvine adalah tempat Taruna menjadi peneliti post-doctoral selama tiga tahun dan asisten spesialis selama tiga tahun.

Skandal kedua ilmuwan tersebut terbongkar berselang tak lama. Kebohongan Dwi terbongkar pada Oktober 2017. Dia pun mengakui semua kebohongannya di atas kertas bermaterai 6.000 tertanggal 7 Oktober 2017. Sedangkan kebohongan Taruna terbongkar pada November 2017. Berikut ulasannya:

Dwi Hartanto
Kebohongan Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda, yang mengaku sebagai profesor muda bidang aeronautika terkuak pada Oktober lalu. Calon profesor muda (28 tahun) dan pengganti Habibie, begitu media massa menyebutnya.

Sosok Dwi Hartanto ditulis secara manis oleh berbagai media nasional sebagai doktor muda calon profesor bidang roket dalam tiga tahun terakhir. Dia dianggap "pahlawan" Indonesia di negeri Belanda. Faktanya, Dwi lahir pada 13 Maret 1982. Artinya, dia sudah berumur 35 tahun, bukan 28 tahun seperti yang diberitakan. Dia pun sempat mengaku bahwa ditawari menjadi warga negara Belanda, tapi ditolaknya.

Selain itu, Dwi Hartanto sempat mengaku memenangkan lomba riset Space craft and Technology di Jerman dan mengalahkan sejumlah ilmuwan dari negara lain. Namun hal tersebut rupanya memancing kecurigaan pada sejumlah rekan Dwi di Perhimpunan Pelajar Indonesia Delft. Penelusuran mereka ada beberapa kejanggalan. Satu per satu kedok Dwi pun terbongkar.

Kebohongan tersebut sebetulnya sudah diketahui oleh warga Indonesia di Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda. Dirinya pun sudah diingatkan untuk menghentikan aksinya tersebut. Adalah Deden Rukmana, profesor dan pakar urban studies di Savannah State University, Amerika Serikat, yang pertama kali mengungkap kebohongan Dwi Hartanto kepada publik dalam status Facebook miliknya.

Menurut Deden, puncak kemarahan rekan-rekan ilmuwan Indonesia di Belanda timbul saat tersebar pesan di grup WhatsApp Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Deden termasuk anggota grup tersebut. Beberapa orang, menurut Deden, mengambil inisiatif membentuk tim untuk membongkar kebohongan Dwi.

"Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto 'terganggu' ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 yang membahas tentang yang bersangkutan. Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto," tulis Deden dalam akun Facebook-nya.

Dwi Hartanto (Facebook/Dwi Hartanto)

Dalam statusnya, Deden menyebutkan dokumen pertama terdiri 33 halamam berisi beragam foto-foto aktivitas Dwi Hartanto termasuk dari halaman Facebook-nya dan link berbagai website tentangnya. Salah satunya termasuk transkrip wawancara di program Mata Najwa pada Oktober 2016, serta surat-menyurat elektronik dengan beberapa pihak untuk mengklarifikasi aktivitas yang diklaim Dwi Hartanto.

Dokumen kedua, tulis Deden, sebanyak delapan halaman berisikan ringkasan investigasi terhadap klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto termasuk latar belakang S1 (Strata-1), umur, roket militer, PhD in Aerospace, Professorship in Aerospace, Technical Director di bidang rocket technology and aerospace engineering, interview dengan media international, dan kompetisi riset.

"Saya menilai mereka sebagai pihak yang mengetahui kebohongan publik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto dan menginginkan agar kebohongan ini dihentikan. Mereka sudah menemui Dwi Hartanto dan memintanya agar meluruskan segala kebohongannya, tapi tidak ditanggapi serius oleh yang bersangkutan," tulis Deden.

Dalam dokumen sepanjang lima halaman yang dimuat di situs ppidelft.net (Persatuan Pelajar Indonesia di Delft), Dwi mengaku berbohong atas semua informasi terkait dirinya yang diberitakan media nasional dan media sosial dalam tiga tahun belakangan ini. Surat klarifikasi bermaterai 6.000 tersebut tertanggal 7 Oktober 2017.

Di penutup klarifikasi, Dwi menulis sudah menjalani serangkaian sidang kode etik di TU Delft sejak 25 September 2017. Namun keputusannya masih dalam proses.Di surat klarifikasi itu, Dwi berjanji tak akan mengulangi kesalahannya tersebut dan tetap berkarya di bidang kompetensinya yang sebenarnya, yakni sistem komputasi. Dia berjanji akan menolak pemberitaan maupun undangan berbicara di luar kompetensinya.

"Perbuatan tidak terpuji/kekhilafan saya, seperti yang tertulis di dokumen ini adalah murni perbuatan saya secara individu yang tidak menggambarkan perilaku pelajar maupun alumni Indonesia di TU Delft secara umum," tulis Dwi.

Taruna Ikrar
Kontroversi Taruna Ikrar menjadi perbincangan menjelang akhir tahun. Dia disebut membohongi publik dalam beberapa hal, yakni gelar profesor dan jabatan dekan di Public Health Sciences University (PHSU), klaim dinominasikan nobel, dan Mathi Senapathi, CEO perusahaan BioBlast Discovery.

Sidrotun Naim, peneliti bioteknologi di Surya University, mempertanyakan pembelaan dokter lulusan Universitas Hasanuddin Makassar yang dilayangkan di berbagai media nasional. "Pembelaan Taruna justru membuka tabir yang lebih dalam tentang kesalahan dan klaim selama ini yang belum juga diakuinya," kata Sidrotun, saat dihubungi, Selasa, 28 November 2017.

Meski berusaha mengungkapkan fakta terkait Taruna Ikrar, tapi Sidrotun menganggap Taruna sebagai ilmuwan panutan yang produktif dalam publikasi ilmiah dan tulisan populer. Taruna pernah menjadi pengurus PB-HMI, ICMI, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), dan saat ini menjadi anggota Dewan Pakar Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Taruna adalah dokter lulusan Universitas Hasanuddin (1988-1997). Setelah itu dia melanjutkan master di bidang farmakologi pada 1998-2003. Lalu dia melanjutkan mengambil gelar doktor bidang kardiovaskular di Niigata University, Jepang (2003-2008). Sepanjang 2008-2016 pun dia menjadi peneliti postdoctoral dan asisten spesialis di UC Irvine.

Foto Kartu Staf Akademik Universitas California, Irvine, Taruna Ikrar. Kredit: Istimewa

UC Irvine membantah pernah menominasikan Taruna Ikrar untuk Nobel Kedokteran 2016 atau penghargaan lain. Ini menyangkut soal klaim Taruna kepada VOAnews (Mei 2016) dan TVOne (Mei 2017) yang mengatakan pernah dinominasikan untuk Nobel 2016. Pihak UC Irvine juga membantah Taruna memiliki paten.

Soal jabatannya, Sidrotun melihat kejanggalan dalam dokumen bantahan yang diberikan Taruna pada 20 November lalu. Dalam dokumen tersebut, ada dua surat yang diberikan Taruna. Pertama, surat pengangkatan sebagai profesor tertanggal 8 Januari 2017. Surat kedua ialah pengangkatan Taruna sebagai dekan di PHSU. Keanehan pada dua surat tersebut terdapat pada tanda tangan, padahal yang menandatangani sama, yakni Masoud Azizi selaku President University dan CEO.

Soal BioBlast Discovery UC Irvine juga membantah ada staf bernama Mathi Senapathi, yang juga mengaku sebagai CEO BioBlast Discovery. "I have no information about Mathi Senapathi and no record of that individual holding an appointment at the University of California, Irvine. Based on a web search, it appears that he is Vice President at Pathogenesys, a private company that is not associated with the university." Taruna membawa Mathi ke Makassar pada Desember 2016 juga untuk mengisi kuliah umum dengan identitas sebagai profesor dari University of California.

Simak artikel menarik lainnya soal Kaleidoskop 2017 dan kabar terbaru dari Dwi Hartanto serta Taruna Ikrar hanya di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus