Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Berita Tempo Plus

Ke Kutub Selatan Memburu Sushi

Antartika tetap menggoda. Peneliti Indonesia bergabung dengan tim internasional meneliti biota laut.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Ke Kutub Selatan Memburu Sushi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Selamat datang di Antartika, tempat bumi seolah tak pernah beranjak tua. Hampir dua abad lalu, tanggal 7 Februari 1821, pelaut Australia John King Davis mendarat di sana. Ia terpesona melihat gunung es Big Ben menjulang di Pulau Heard, 7.782 kilometer dari Perth, Australia Barat. Dan pada pertengahan Desember 2003, gunung itu masih berdiri angkuh, menyaksikan kapal Aurora Australis terseok-seok menembus laut yang penuh gumpalan es.

Pulau Heard adalah persinggahan terakhir Aurora yang memuat tim ekspedisi ilmuwan dari berbagai negara. Di anjungan kapal bercat merah itu, Utami Retno Kadarwati, peneliti dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, menatap takjub punggung Big Ben.

Ia satu-satunya anggota peneliti dari Indonesia. Ofri Johan, koleganya setanah air, gagal dalam tes kesehatan di Tasmania, sehingga tak bisa berangkat. Sebelum Utami, pada 1996, 2002, dan 2003, peneliti Indonesia telah berlabuh di Antartika dalam proyek ekspedisi yang sama.

Kali ini Utami tergabung dalam rombongan Voyage-4 Ekspedisi Antartika, proyek yang disponsori The Australian Antarctic Division (AAD). Perempuan berkerudung yang meraih master di Universitas Kiel, Jerman, ini akan meneliti stok ikan patagonian toothfish, yang menjadi komoditas penting di laut beku Kutub Selatan.

Patagonian toothfish memang bukan sembarang ikan. Di ru- mah-rumah makan mewah dunia, ia sajian primadona. Di Jepang, ia disebut ikan dewa karena kelezatannya yang tak tertandingi sebagai sushi_-irisan tipis ikan yang dimakan mentah. Di restoran-restoran mahal di Italia, daging patagonian menjelma menjadi hidangan berbumbu pedas nan lezat. "Tiga tahun lagi," kata koki kondang Jepang Nobuyaki Matsuhisa dalam bukunya Nobu Cookbook, "ikan itu akan langka karena penangkapan liar besar-besaran."

Ancaman itulah yang membuat para ilmuwan spesialis Antartika terbujuk memetakan seberapa besar habitat patagonian di sana, berapa banyak kuota penangkapan ikan yang dibolehkan, berapa banyak penguin, anjing laut, singa laut, juga paus dan burung-burung yang bakal jadi pemangsa.

Sejak 8 Desember, 23 ilmuwan itu memulai petualangannya di kawasan Antartika. Sasarannya adalah kawasan sekitar Pulau Heard.

Ketika petang tiba, dan laut di Pelabuhan Fremantle begitu tenang, Aurora yang berbobot 6.500 ton itu mulai membuang sauh. "Pada musim panas, Antartika lumayan ramah," kata Utami. Temperaturnya 5 hingga minus 5 derajat Celsius, tak terlalu dingin untuk ukuran kutub. Toh, para ilmuwan itu tetap berjaga-jaga melawan udara yang membekukan. Bekal mereka cukup komplet, bukan cuma jaket, boot, dan kacamata khusus kutub, tapi, "Bahkan kami siap dengan pakaian dalam khusus kutub," ujar Utami terkekeh.

Mereka juga berbekal alat-alat mahal dan canggih. Ada current, temperatur and depth (CTD) untuk mengambil sampel sedimen bawah laut; ada juga jaring laut, lalu peralatan terbaru: kamera video bawah laut. Tak ketinggalan peralatan penjejak supercanggih yang akan melacak keberadaan anjing laut, penguin, dan burung albatros.

Dalam rombongan ini, Utami bergabung dengan Tim Akustik bersama Toby Jarvis, ilmuwan dari Inggris, Esmee van Wijk, Belinda Ronai, dan Erland Lundstedt, ketiganya dari Australia. Selain memantau instrumen CTD dan mengambil sampel sedimen, tim ini juga berupaya menentukan lokasi-lokasi yang penuh biota laut untuk penjaringan ikan.

Jika tak sedang bekerja atau giliran jaga, Utami bisa berjam-jam menghabiskan waktu menikmati gunung es yang bertebaran.

"Rasanya seperti mimpi," kata alumni jurusan Ilmu Teknik Kelautan Institut Pertanian Bogor itu. Ia teringat saat sekolah di Jerman pernah masuk ke laboratorium simulasi untuk wilayah kutub. "Eh, sekarang ke kutub beneran."

Misteri dan keindahan Antartika pula yang membuatnya mampu melupakan sepi dan rindu pada Tanah Air. "Bayangkan, meskipun cuacanya berat, saya tak pernah sakit, padahal dokternya sendiri sakit," tuturnya. Bila mulai bosan, Utami akan berolahraga sepeda statis. Meski bukan tergolong kapal besar, Aurora dilengkapi meja pingpong, bahkan lapangan bola mini. Untuk kontak dengan dunia luar, mereka memiliki fasilitas e-mail 24 jam.

Saat yang terasa berat, kata Utami, adalah ketika badai tiba. Kapal akan terguncang hebat dan penumpang terbanting-banting. "Tapi itu sudah biasa," katanya. Walau meja sudah berlapis karet antiselip, barang-barang di atasnya tetap berhamburan.

"Di Antartika badai memang bisa datang kapan saja tanpa diduga," kata Dr. Agus Supangat, Kepala Bidang Sumber Daya Non-Hayati dan Arkeologi Laut Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Di daratannya yang berlapis es, angin bisa berembus 300 kilometer per jam.

Agus pernah menyambangi benua ini pada 2002 silam. Saat itu kapalnya dihajar badai setinggi pohon kelapa. Dua peti kemas berisi peralatan, makanan, dan hasil penelitian lenyap ke dasar laut. Untung, mereka sudah menyediakan cadangan.

Badai sudah reda, bencana lain datang. Kali ini, seluruh jaringan komputer di kapal terserang virus. Selama tiga hari, hampir semua sistem komputer itu lumpuh. Padahal semua komunikasi, dari laboratorium ke dek nakhoda, ke satelit, dan ke daratan Australia bergantung pada jaringan ini. Untung, sistem komputer cadangan akhirnya berfungsi.

Pada 1 Februari lalu, tepat saat Idul Adha, Utami merayakannya dengan naik helikopter dan mendarat di Stasiun Davis, daratan Antartika. Tentu saja tak ada pesta daging kambing. Yang ada cuma tiga bendera yang dikibarkan begitu Utami mendarat di sana, yaitu Merah Putih, bendera Australia, dan bendera PBB. Ada juga prasasti seberat 35 kilogram dengan tanda tangan Megawati Soekarnoputri pada 2002. Di stasiun itu, timnya meneliti daratan, antara lain memantau singa laut berukuran 1-2 ton yang berjemur dan berganti kulit.

Cuma dua hari Utami ada di Davis, satu dari tiga stasiun penelitian Antartika milik Australia. Setelah itu, pada 14 Februari 2004 kapal Aurora berlabuh di pelabuhan Hobart, Australia. Penelitian selama 68 hari itu berakhir dengan masih menyisakan rahasia Antartika, seperti bagaimana benua seluas 14 juta kilometer persegi itu mempengaruhi iklim global, termasuk Indonesia. "Tahun depan kita akan kembali mengirim ilmuwan ke sana," kata Agus berjanji.

L. Burhan Sholihin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus