Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum
Pelanggaran Hak Asasi

Berita Tempo Plus

Lima yang Beruntung

Mahkamah Agung membebaskan lima terdakwa kasus pelanggaran hak asasi di Timor Timur. Semakin terbuka kemungkinan digelar pengadilan internasional.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Lima yang Beruntung
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HAMPIR tenggelam oleh tumpukan berkas di mejanya, Prim Hariadi sedang sibuk menyiapkan sebuah putusan yang telah diketik rapi. Ketika TEMPO hendak mengintipnya, panitera pengganti dalam perkara kasasi pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur itu buru-buru menyembunyikannya. Putusan yang sudah dibacakan Rabu dua pekan lalu tersebut sedikit lamban diselesaikan karena menunggu koreksi dari seorang hakim agung. "Tunggu saja minggu depan, pasti sudah selesai," ujar Prim Jumat pekan lalu.

Tak perlu menanti pekan depan, inti putusan itu sebenarnya sudah bocor. Seorang sumber di Mahkamah Agung menyatakan bahwa hakim agung telah menolak kasasi yang diajukan jaksa dan membebaskan lima terdakwa. Kelima orang terdakwa terdiri dari Herman Sedyono (bekas Bupati Covalima), Lilik Koeshardiyanto (bekas Komandan Kodim Suai), Ahmad Samsudin (bekas Kepala Staf Kodim Suai), Sugito (bekas Komandan Rayon Militer Suai), dan Gatot Subiakto (bekas Kepala Polres Suai).

Putusan yang diambil oleh majelis kasasi—dipimpin Arbijoto dengan anggota Artidjo Alkotsar, Sumaryo Suryokusumo, Edy Junaedi, dan Mansyur Effendi—tidak bulat. Ada dua orang hakim agung, yaitu Artidjo dan Sumaryo, yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hanya, kepada Poernomo G. Ridho dari Tempo News Room Artidjo enggan memberikan komentar atas perbedaan pendapat yang dibuatnya dalam putusan tersebut.

Perkara tersebut dibawa ke pengadilan hak asasi ad hoc pada Februari 2002. Jaksa Darmono menjerat para terdakwa dengan Undang-Undang No. 26/2000 tentang pengadilan hak asasi. Dalam dakwaannya jaksa menuduh Herman Sedyono dan kawan-kawan tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya, mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya baru saja melakukan pelanggaran hak asasi berat, dan melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak asasi.

Segala dakwaan itu berkaitan dengan kerusuhan yang terjadi di Timor Timur pada September 1999 usai jajak pendapat. Kalahnya kelompok prointegrasi membuat situasi memanas. Masyarakat di sekitar Kota Suai mengungsi ke Gereja Katolik Ave Maria Suai. Saat itulah dua laskar, Mahidi dan Laksaur, yang prointegrasi, membabi buta menyerang gereja tersebut. Sebanyak 27 orang, termasuk tiga pastor, tewas dibantai di dalam gereja tersebut. "Bupati Covalima ikut meresmikan dua laskar ini," ujar Darmono seperti dalam dakwaannya.

Jaksa kemudian menuntut lima terdakwa itu dengan tuntutan sama, yakni 10 tahun penjara. Darmono menyatakan para terdakwa bersalah karena adanya rantai komando dengan pelaku di lapangan. "Mereka kan atasan-bawahan dengan para pelaku di lapangan," katanya.

Dipimpin oleh Tjitjut Sutiarso, majelis hakim pengadilan tingkat pertama menilai dakwaan jaksa tersebut tidak terbukti dan akhirnya membebaskan kelima terdakwa. Karena tidak puas dengan putusan ini, jaksa lalu mengajukan kasasi.

Di Mahkamah Agung kelima terdakwa beruntung lagi. Tiga hakim agung, Arbijoto, Edy Junaedi, dan Mansyur Effendi, menilai tidak ada hubungan efektivitas antara pelaku penyerangan ke gereja Suai dan para terdakwa. Laskar sipil itu dianggap tidak mempunyai hubungan komando dengan para terdakwa.

Tapi dua hakim agung lainnya, Artidjo Alkotsar dan Sumaryo Suryokusumo, berpendapat berbeda. Kedua hakim nonkarier ini sependapat dengan jaksa bahwa terjadi hubungan komando antara para terdakwa dan anggota laskar. Mereka juga menilai adanya kaitan yang jelas antara terdakwa dan dua kelompok laskar menyerang di gereja Suai itu.

Pengacara terdakwa, Erman Umar, mengungkapkan kegembiraannya atas putusan tersebut. "Sebaiknya semua pihak menghormati putusan ini," ujar Umar.

Hanya, bagi Ifdhal Kasim dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, putusan mahkamah agung bakal jadi bumerang. Para penggiat hak asasi di dunia kemungkinan akan mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa agar segera menggelar pengadilan internasional. "Sepanjang dilihat tidak ada keinginan untuk menegakkan peradilan hak asasi yang benar, kemungkinan itu terbuka lebar," ujar Ifdhal.

Juli Hantoro, Edy Can (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus