Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, mengatakan target dari BRIN adalah untuk memperkuat aktivitas riset dan inovasi sehingga bisa menciptakan nilai tambah dari berbagai hal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sehingga kita bisa dan mampu menciptakan nilai ekonomi yang tinggi, dan bisa bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Handoko dalam acara Kick Off Walidasi atau Webinar Fasiliti dan Pendanaan Riset dan Inovasi, pada Selasa, 21 Desember 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, untuk mencapai itu, BRIN membuat tiga strategi khusus. Strategi pertama adalah terkait dengan regulasi yang mendukung riset dan inovasi, meskipun sebagian dibuat baru-baru ini, misalnya insentif fiskal pelaku usaha yang bisa mendapatkan supertest retraction sampai 300 persen yang dibuat baru 2020.
Namun, seluruh insentif fiskal itu bisa dinikmati apabila dan hanya jika pelaku usaha atau siapapun terlibat dalam aktivitas riset dan inovasi itu. “Sudah melakukan aktivitas riset dan sudah sampai di tahap tertentu, baru bisa menikmatinya,” tutur Handoko.
Mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebelum melebur menjadi BRIN itu menjelaskan, soal regulasi jika dibandingkan dengan negara lain, seperti dengan Malaysia dan Singapura, sudah cukup setara.
Menurutnya, hal itu menjadi fokus BRIN dengan menggunakan sumber daya yang sudah dikonsolidaskan, yaitu fasilitas terkait dengan infrastruktur, sumber daya manusia, dan pendanaan. “Kita harus mendorong agar berbagai pihak bisa melakukan aktivitas riset dan inovasi nasional,” kata dia sambil menambahkan bahwa itu menjadi tugas BRIN.
Strategi kedua adalah membuat berbagai stakeholder, seperti individu, kelompok, termasuk industri dan periset itu sendiri tertarik dengan aktivitas riset dan inovasi.
Namun, Handoko mengatakan untuk memasuki itu semua tidak mudah karena berkaitan dengan investasi yang tinggi, sumber daya manusia harus ahli, infrastruktur yang mahal karena memerlukan laboratorium dan lainnya.
Di sisi lain, riset itu secara alami banyak gagalnya daripada berhasilnya. Menurutnya, 80 persen riset bisa dipastikan gagal, dan tingkat keberhasilannya hanya 20 persen. Untuk sesuatu dengan biaya dan risiko tinggi, menurut Handoko, pemerintah harus hadir.
“Sehingga dalam konteks untuk meningkatkan kontribusi swasta, BRIN sebagai representasi pemerintah akan hadir untuk memudahkan. Menjadi fasilitator enabler untuk bisa membuat semua pihak masuk ke riset dan inovasi,” tutur Handoko.
Dengan begitu, tambahnya, para stakeholder itu minimal tidak melakukan investasi, cukup membawa problem dan bahan terkait untuk risetnya. Setelah itu bisa bersama dengan periset untuk memecahkan problem itu melalui aktivitas riset. “Inilah yang kami dorong sehingga kalau ada kegagalan minimal tidak rugi-rugi amat.”
Strategi ketiga terkait dengan sumber daya manusia riset yang merupakan salah satu input paling utama dari riset dan inovasi, selain infrastruktur dan pendanaan. Handoko yang juga seorang fisikawan teori itu menerangkan, Indonesia boleh memiliki banyak uang, tapi jika tidak memiliki sumber daya manusia, tidak mungkin memiliki kapasitas penelitian di bidang tertentu.
Dia menambahkan, sumber daya manusia menjadi salah satu yang sangat penting, dan untuk menciptakannya memerlukan waktu. “Ini yang akan diambil alih oleh BRIN untuk menjadi fasilitator enabler pengembangan sumber daya manusia calon periset di negara kita,” ujar Handoko.
Baca:
Dua Skema Pendanaan BRIN untuk Dukung Aktivitas Riset di Indonesia
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.