Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kota di Urat Gempa

Setahun setelah Sesar Opak membawa bencana gempa 2006 dari Parangtritis hingga Klaten, Badan Geologi merilis peta sesar di seluruh Indonesia. Peta menunjukkan banyak kota berdiri di atas urat gempa itu. Lima tahun lewat, belum satu pun pemerintah daerah mengadopsi peta itu. Belasan juta penduduk terancam. Tragedi seperti di Sesar Opak, Yogyakarta, bisa terulang.

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah sejarah bumi sebelum Sangkuriang jatuh cinta kepada Dayang Sumbi. Kota Bandung kala itu adalah gunung menjulang. Namanya Gunung Sunda. Tingginya 3.250-4.000 meter. Kakinya, itu tadi, seluas Bandung sekarang.

Lima puluh ribu tahun lalu, gunung ini meletus. Dua pertiga tubuh bagian atasnya runtuh, membentuk kaldera di tengahnya. Kaldera (dari bahasa Spanyol: wajan) itu mungkin saja pernah dipenuhi air, seperti kaldera Toba yang menjadi Danau Toba.

Alkisah, Sangkuriang menendang bahtera yang ia siapkan sebagai maskawin untuk Dayang Sumbi ke tengah kaldera itu. Ia murka karena wanprestasi: gagal membuat perahu dan membendung Sungai Citarum untuk melayarkan perahu itu dalam semalam sesuai dengan janjinya kepada Dayang Sumbi.

Perahu yang jatuh menelungkup itu kemudian menjadi Gunung Tangkuban Parahu. Tapi ini cuma hikayat.

Mari kembali ke dunia nyata. Tangkuban Parahu adalah anak Gunung Sunda. Gunung ini tumbuh di salah satu cerobong magmanya. Ini persis kisah Gunung Krakatau di Selat Sunda yang "bunuh diri" agar ada tempat tumbuh buat putranya, Gunung Anak Krakatau.

Nun di dalam tanah juga terjadi peristiwa luar biasa ketika Gunung Sunda meletus. Sebagian besar tubuh gunung roboh ke utara sehingga mengangkat kaki gunung di sisi selatan dan mematahkannya. Patahan itu—disebut sesar—memanjang 20 kilometer sepanjang Lembang. Di atas patahan yang diberi nama Sesar Lembang itu kini tinggal dua juta lebih penduduk. Inilah yang membuat waswas Danny Hilman Natawidjaja.

"Jika suatu saat kedua sisi patahan itu bergesekan, gempa bisa terjadi," ujarnya. Menurut Danny, gesekan itu mungkin terjadi karena sesar ini masih hidup. "Sesar ini bergeser dengan kecepatan 0,2-2,5 milimeter per tahun."

Danny adalah ahli gempa terkemuka Indonesia. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini pernah memperkirakan kedatangan gempa besar yang bersumber dari lempeng di selatan Sumatera. Ia ingin perkiraannya meleset, tapi rupanya tidak. Pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,3 skala Richter menggeram dari lempeng itu, diikuti tsunami.

Danny mengatakan Bandung bukan kota satu-satunya yang berdiri di atas urat gempa. Pada peta sesar tahun 2007 yang dikeluarkan Badan Geologi, tercatat ada puluhan sesar di Indonesia. Selusin telah diberi nama, tapi puluhan sesar lain masih anonim. Sebagian sesar itu berada tepat di bawah kota, dan beberapa kota itu tergolong kota besar.

"Daerah di atas atau di sekitar garis sesar itu dipastikan berbahaya," ujar Danny. "Tentu saja wilayah yang berada tepat di atas sesar yang paling rentan. Namun besarnya potensi bencana bergantung pada kepadatan penduduknya."

Sebagian sesar itu terus unjuk gigi. Banyak nyawa terenggut, seperti di Liwa, Lampung, pada 1933, lalu pada 1994. Gempa 1994 mengakibatkan 200 orang tewas dan 6.000 bangunan hancur. "Pusat gempa waktu itu hanya 30 kilometer dari Liwa," ujar Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lampung, Budiharto.

Ada pula sesar yang sedang tidur, seperti Sesar Opak di Yogyakarta. Tapi bahayanya sama saja. Pada 27 Mei 2006, sesar ini memperkuat dan mengalirkan gempa 6,2 skala Richter yang berpusat di Parangtritis hingga Klaten. Wilayah di sekitar Sesar Opak ikut disikat. "Kota Yogyakarta tidak dilewati Sesar Opak, tapi terkena dampak dari Sesar Opak yang pusatnya ada di Bantul," ujar Kepala Subbagian Tata Usaha Dinas Kebakaran dan Bencana Alam, Wiwin Giri Doriawana.

Akibatnya, ribuan bangunan di sepanjang dan sekitar sesar ini roboh. Sekitar 5.400 orang tewas.

"Yang memprihatinkan, tak banyak yang menyadari adanya bahaya gempa dari sesar di bawah kota-kota ini," ujar Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Gerakan Tanah di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Gede Suantika, kepada Tempo dua pekan lalu.

Sulaeman, warga Desa Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, misalnya, mengaku siap mengantisipasi bencana gempa dan tsunami. Ia hafal di luar kepala apa yang harus dilakukannya: jika terjadi gempa dan sirene berbunyi, ia harus secepatnya menjauh dari pantai dan mencari tempat yang tinggi untuk menghindari tsunami.

Tapi Sulaeman tidak tahu bahwa tak semua gempa berasal dari laut. Gempa itu bisa bersumber dari Sesar Darul Imarah di bawah selimutnya. Sesar itu membelah Kota Banda Aceh. "Saya pahamnya kalau ada gempa besar agar waspada terhadap tsunami," ujarnya.

Untunglah lembaga donor membangunkan rumah tahan gempa untuknya. Rumahnya yang terdahulu hancur oleh gempa 9,3 skala Richter yang diikuti gelombang tsunami pada 26 Desember 2004. "Yang saya tahu, kalau gempa, ya gempa. Tidak tahu penyebabnya," dia menambahkan.

Padahal Darul Imarah telah berkali-kali menjadi sumber gempa. Pada 1936, sesar ini melepas gempa berkekuatan 6,5 skala Richter. Menurut catatan Badan Geologi, sembilan warga tewas dan 20 orang terluka parah. Pada 1981, sesar ini kembali melepas gempa 6 SR. Beberapa bangunan rusak, termasuk gedung keuangan Banda Aceh yang terbakar. Lalu, pada 24 September 2006, sesar ini kembali menjadi sumber gempa 5,4 SR.

Iskandar, penanggung jawab Pusat Kendali Operasi Badan Penanggulangan Bencana Aceh, mengakui pihaknya belum melakukan sosialisasi soal ancaman gempa dari sesar di bawah kota. "Rencananya tahun depan. Karena itulah banyak orang belum paham soal sesar ini," ujarnya.

Menurut Danny, Darul Imarah bukan sesar utama di Sumatera. Patahan utama di daratan Sumatera bernama Sesar Semangko. Sesar ini sangat aktif. "Bergerak 1-3 sentimeter per tahun," kata Danny.

Alur Semangko sejajar dengan Pegunungan Bukit Barisan dan memiliki 20 patahan kecil. Sejumlah kota berdiri tepat di atas patahan itu, antara lain Sabang, Banda Aceh, Padang Panjang, Muara Laboh, Kota Agung, Teluk Semangka, dan—itu tadi—Liwa.

Jakarta sejauh ini aman. Tanah di bawah Ibu Kota bersih dari sesar. Retakan terdekat ke Jakarta ada di Jawa Barat. Di provinsi itu, ada tiga sesar aktif: Sesar Lembang, Cimandiri, dan Baribis.

Menurut peneliti gempa Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, Sesar Cimandiri sepanjang 70 kilometer terbagi menjadi dua segmen: dari Pelabuhan Ratu hingga Kota Sukabumi, lalu dari Cianjur ke Padalarang.

"Kecepatan pergerakannya 4-6 milimeter per tahun. Bagian selatan segmen lebih aktif," ujar Irwan. Dengan kecepatan ini, sesar itu bisa menghasilkan gempa berkekuatan 5-6 SR, hampir setara dengan gempa di Sesar Opak. Pada 2000, sesar ini melepas gempa yang merusak hampir 1.000 rumah di Sukabumi.

Sesar Baribis terletak lebih ke utara. Berpangkal di Subang, patahan Baribis merentang sampai Bukit Baribis di barat daya Gunung Ciremai. Panjangnya 70 kilometer. Pada 1990, sesar ini mengakibatkan gempa yang merobohkan 8.000 rumah.

Sesar kadang seperti bus AKAP—antarkota antarprovinsi. Patahan Bumiayu, misalnya. Pangkalnya ada di Cilacap, Jawa Tengah, terus memanjang ke Sumedang, Majalengka, dan Kuningan di Jawa Barat. Menurut Gede, sesar-sesar ini pernah mengakibatkan gempa pada 1990, 2001, dan 2003.

Patahan lain di Jawa Tengah adalah Sesar Jepara-Lasem yang mengular di bawah Kota Demak, Kudus, Pati, dan Rembang. Di Jawa Timur ada Sesar Watukosek yang membelah Sidoarjo. Pascagempa Yogya 2006, di Jawa tak ada sesar yang lebih terkenal daripada Sesar Opak, yang merentang sepanjang 40 kilometer dari Bantul ke Klaten.

Tak ada pulau yang tak retak. Kalimantan, yang dianggap sebagai pulau paling stabil, ternyata juga retak-retak. Ada Sesar Adang di Teluk Balikpapan dan Sesar Mangkalihat di utara Sangatta-Bungalun. "Sesar Adang kadang-kadang masih aktif," kata Awang Harun Satyana, pakar geologi yang bekerja di BP Migas.

Patahan Adang menjadi bagian dari sesar besar mendatar di Indonesia barat dan Indonesia tengah. Sesar ini terhubung ke Three Pagodas Fault di Indocina, Sesar Anambas di utara Natuna dan Sesar Lupar di selatan Kuching, serta sesar-sesar Piyabung di Kalimantan Tengah.

Sesar Adang juga menyeberang ke Sulawesi Selatan, lalu tersambung dengan Sesar Walanae, menyeberangi Laut Flores, hingga tiba di Sumba dan menjadi Sumba fracture. Retakan besar Sumba ini terhubung ke zona tumbukan aktif lempeng Indo-Australia di selatan Nusa Tenggara.

Sesar Mangkalihat tak kalah rumit. Berdasarkan data seismik terbaru, kata Awang, patahan ini tersambung ke Sesar Palu-Koro di Sulawesi. Lintasannya melewati celah laut sempit antara Lembah Palu dan Semenanjung Mangkalihat. "Sesar Mangkalihat yang tua ini akan menjadi muda kembali saat direaktivasi oleh Sesar Palu-Koro," katanya. Dan itu cuma soal waktu.

Menurut Awang, Sesar Palu-Koro saat ini sangat aktif karena mengakomodasi slip lempeng Pasifik ke barat. Kecepatan pergerakan sesar ini 14-17 milimeter per tahun. Sesar Palu-Koro berasal dari Teluk Donggala, menyelinap di bawah Kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, dan terus mengular hingga ke sebelah tenggara Sulawesi. Patahan sepanjang 270 kilometer ini terbagi menjadi tujuh segmen.

Pada 24 Januari 2005, terjadi gempa di Palu dengan kekuatan 6,2 moment magnitude (Mw, setara dengan skala Richter untuk gempa kecil-sedang). Lindu yang dipicu oleh aktifnya Sesar Palu-Koro ini membuka sedikit celah untuk keluarnya mata air panas. Lokasi di tenggara Kota Palu ini menjadi obyek wisata dadakan.

Sesar Palu-Koro ternyata juga berhubungan dengan Sesar Sorong-Yapen. Ini temuan baru, setelah gempa pada 16 Juni 2010. Hari itu, pukul 08.53 Waktu Indonesia Tengah, terjadi lindu dengan episentrum di sebelah utara Lariang, Sulawesi Barat, tak jauh dari Sesar Palu-Koro. Seorang warga tewas, 70 bangunan rusak.

Dua setengah jam kemudian, giliran wilayah utara Papua diguncang gempa. Kekuatannya 7 Mw, berlokasi di sebuah titik di Sesar Sorong-Yapen. Lindu ini mengguncang wilayah Biak, Yapen, Manokwari, Abepura, dan Nabire. Dua warga tewas, 500 bangunan rusak.

Selain Sesar Sorong-Yapen, di Papua ada Sesar Ransiki, Tarera-Aiduna, dan sesar di Pegunungan Jayawijaya. "Sesar Sorong yang paling aktif," kata Awang. Sesar apa yang teraktif di antara Sesar Sorong-Yapen, Palu-Koro, dan Sesar Semangko?

Awang menunjuk Sorong. "Sesar ini bergerak dengan kecepatan delapan sentimeter per tahun," ujarnya.

Dalam kurun 30 tahun terakhir, gempa besar di atas 7 Mw terjadi sebanyak delapan kali. Yang terkuat yang mencapai skala 8,2 Mw. Sorong ke kiri…, Sorong ke kanan…—Anda ingat syair lagu ini?

Untung Widyanto, Anwar Siswadi (Bandung), Adi Warsidi (Banda Aceh), Febrianti (Padang), Nurochman Arrazie (Bandar Lampung), Bernada Rurit (Yogyakarta)


Ancaman Sesar di Indonesia

Sesar di Sumatera

  • Sesar Semangko

    Sesar di Jawa

    1. Sesar Cimandiri (selatan Sukabumi)
    2. Sesar Lembang
    3. Sesar Baribis (Majalengka)
    4. Sesar Bumiayu
    5. Sesar Muria-Kebumen
    6. Sesar Pamanukan-Cilacap
    7. Sesar Jepara-Lasem
    8. Sesar Opak
    9. Sesar Grindulu (Pacitan)
    10. Sesar Watukosek (Sidoarjo)

    Bandung
    Jumlah Penduduk: 2.390.120

    Sukabumi
    Jumlah Penduduk: 2.210.000

    Majalengka
    Jumlah Penduduk: 1.204.379

    Kebumen
    Jumlah Penduduk: 1.241.437

    Cilacap
    Jumlah Penduduk: 1.700.000

    Kabupaten Bantul, Yogyakarta
    Jumlah Penduduk: 911.503

    Klaten
    Jumlah Penduduk: 1.121.000

    Sidoarjo
    Jumlah Penduduk:1.682.000

    Pacitan
    Jumlah Penduduk: 538.000

    Sesar di Kalimantan

    1. Sesar Adang (Teluk Balikpapan)
    2. Sesar Mangkalihat (utara Sangata-Bungalun)

    Balikpapan
    Jumlah Penduduk: 559.126

    Sesar di Sulawesi

    1. Sesar Palu Koro
    2. Sesar Walanea (Sulawesi Selatan)
    3. Sesar Saddang (Sulawesi Selatan)

    Sesar Di Papua

    1. Sesar Sorong
    2. Sesar Ransiki
    3. Sesar Tarera-Aiduna
    4. Sesar Pegunungan Jayawijaya
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus