TIGA penghargaan Federasi Kontraktor Asia dan Pasifik Barat
(IFAWPCA) yang bermusyawarah di Jakarta, 20 Mei lalu, telah
jatuh ke tangan kontraktor Indonesia, PT Pembangunan Jaya.
Satu-satunya piagam penghargaan riset konstruksi ini diterima
Pembangunan Jaya, berkat studi para insinyurnya tentang
pendirian tiang beton corcoran (cast-in-site piles) di tanah
yang tinggi permukaan air tanahnya.
Beberapa contoh pengalaman yang diteliti adalah jembatan Tomang
dan jembatan Latuharhary, hotel Mandarin, gedung perkantoran
Artha Loka serta perluasan Hotel Indonesia -- yang semuanya
terletak di Jakarta. Saingannya dalam kontes ini hanyalah
Singapura.
Penghargaan kedua berupa medali emas Builders Award kategori
Building Construction untuk pemborongan gedung Balai Kota DKI,
sebuah pencakar langit bertingkat-23 (lihat box). Selanjutnya,
untuk kategori Civil Engineering Construction, Pembangunan
Jaya menerima medali perak untuk pembangunan jembatan Kali
Krasak di perbatasan DIY Jawa Tengah.
Jadwal Dipercepat
Apa yang istimewa pada jembatan Kali Krasak itu? Biayanya yang
lebih dari Rp 1,1 milyar -- termasuk Rp 120 juta untuk ganti
rugi pembebasan tanah saja Bentangan jembatannya yang 200 meter
lebih -- meskipun itu belum apa-apa dibandingkan dengan banyak
jembatan lain di pulau Jawa maupun Sumatera? Bukan. Tapi "jadwal
waktu pembuatannya, yang dimampatkan dari 20 bulan menjadi 9
bulan saja," tutur ir H. Secakusuma, salah seorang direktur
Pembangunan Jaya kepada TEMPO.
Menurut persyaratan tender DPU D.I. Yogyakarta, pemborong pada
mulanya diberi waktu dari 15 April 1976 sampai 15 Desember 1977.
Itu di bulan Maret 1976. Namun setelah tender dimenangkan
Pembangunan Jaya, Menteri PUTL waktu itu, Sutami, mendesak
supaya jadwal itu dipercepat menjadi 9 bulan.
Dengan kata lain, akhir tahun itu juga jembatan sudah harus
selesai. Alasannya: taksiran hujan Januari 1977 di puncak Gunung
Merapi diramalkan akan menyeret timbunan lahar turun melalui
Kali Krasak tersebut. Jadi kalau jembatan baru itu belum selesai
(jembatan lama sudah hancur pilar-pilarnya dilanda banjir lahar
dingin April 1975), jembatan baru itu pun akan disapu banjir
lahar dingin.
"Sebelum ada instruksi penyingkatan jadwal, kami juga sudah
memperhitungkan ancaman lahar dingin itu," kata Seca, orang
Yogya yang secara pribadi ikut bertekad dengan pembuatan
jembatan itu. Makanya, begitu keluar instruksi Sutami,
penyesuaian di lapangan pun diadakan.
Pertama, pengerahan tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Selama 9
bulan yang genting itu, tiap hari antara 800 sampai 1000 orang
bekerja di sana. Kedua, pembuatan struknlr tiang-tiang baja
darurat. Maksudnya agar tiang beton penopang jembatan dapat
dicor serentak dengan pemasangan kerangka baja jembatan yang
mendatar.
Kerangka baja Callender Hamilton itu, diimpor dari Inggeris
dalam keadaan terbongkar total, kemudian dirakit di tempat
berbarengan dengan pengecoran pilar-pilar beton. Walhasil,
ketika banjir lahar menyerbu dari puncak Merapi, akhir 1976,
kerangka baja sudah siap dirakit dan sudah "duduk" di atas
pilar-pilar betonnya, sementara sebagian struktur baja penopang
jembatan yang belum selesai dibongkar, tersapu oleh banjir.
"Tapi jembatannya sendiri selamat, malah sudah teruji," tutur
direktur Pembangunan Jaya itu.
Orang-orang pun bernafas lega, apalagi setelah jembatan itu
diresmikan oleh Presiden Suharto Januari 1977.
Namun meski jembatan baru sudah rampung, masih ada bahaya
setempat mengintai. Bersebelahan dengan jembatan baru, masih
tersisa sebagian kerangka jembatan lama yang lantainya 6 meter
lebih rendah dari pada yang baru. Oleh Pembangunan Jaya disadari
bahwa sisa-sisa pilar jembatan lama itu dapat membahayakan
keselamatan tembok pelindung tebing sungai di sisi barat (Jawa
Tengah). Makanya Pembangunan Jaya menawarkan untuk membongkar
sisa-sisa jembatan lama itu sampai tuntas. Mumpung tenaga
kerjanya masih berjubel di sana.
Tapi rencana itu kabarnya tak disetujui oleh Bupati Magelang,
penguasa wilayah barat Kali Krasak dan jembatannya itu. Sehingga
dibiarkanlah sisa-sisa jembatan lama itu terjurai bagai umbai
cacing yang tak jelas fungsinya.
Apa yang terjadi? Sementara para juri IFAWPCA sibuk membahas
laporan-laporan anggotanya yang masuk ke Manila, setahun setelah
diresmikan Presiden jembatan itu dilanda banjir lahar dingin
lagi. Arus air, lumpur lahar dan batu padas yang datang mustinya
menghantam tembok pelindung tebing sebelah timur (D.I.Y.),
terpantul oleh pilar bekas jembatan lama ke tebing barat.
Padahal, dengan melihat arah arus sungai, tembok barat itu
sengaja dibikin lebih tipis dari pada tembok timur. Tahu-tahu,
lantaran "efek karambol" jembatan lama itu, air dan lumpur
secara pelan tapi pasti menggerogoti tanah di bawah tembok barat
itu. Sehingga runtuhlan sebagian tembok pelindung tebing sebelah
kabupaten Magelang itu.
Untung saja fundasi ancang-ancang jembatan itu cukup jauh,
sehingga dalam waktu singkat tak mempengaruhi kestabilan
jembatan. Dan mungkin lantaran pihak pemborong sudah
memperingatkan bahaya adanya sisa jembatan lama, jauh hari
sebelumnya, Pembangunan Jaya tak sampai diklaim PU. Malah dengan
biaya Rp 60 juta dari Proyek Gunung Merapi, perusahaan itu juga
yang diserahi pekerjaan memperbaiki tembok tebing barat yang
ambrol itu dalam waktu 4 bulan.
Bahaya "Checkdam"
Tapi walaupun jembatan lama sudah hampir habis dibongkar dan
tebing timur dan barat sudah diperkuat, banjir lahar dingin dari
puncak Merapi masih tetap merupakan ancaman. Sebab tiap tahun,
begitu menurut taksiran Pemda Magelang, endapan lahar dingin
berupa pasir dan batu padas menaikkan dasar sungai setinggi 1
meter. Kebetulan pula, hanya 3 km di hilir jembatan Kali Krasak
ada checkdam (tanggul pelindung) untuk mengamankan desa-desa
yang letaknya lebih rendah dari sungai Krasak.
Akibat adanya checkdam di hilir jembatan, ditambah dengan letak
jembatan persis di salah satu kelokan sungai, endapan pasir dan
batu itu satu ketika bisa 'menenggelamkan' jembatan seharga Rp 1
milyar lebih, itu. Kadang-kadang peningkatan dasar sungai itu
bisa lebih cepat. Menurut seorang pekerja pengecordll emen yang
sedang sibuk memperbaiki tembok barat, ketika diresmikan
Presiden awal 1977 pilar tengah masih 14 meter di atas dasar
sungai tersebut. Namun kini tak sampai 1« tahun kemudian, pilar
tengah itu tinggal tampak tersembul 4 meter di atas timbunan
pasir dan batu yang membentuk dasar sungai di musim kemarau.
Berapa lama bangunan sipil yang berhasil meraih medali perak
IFAWPCA itu masih dapat melayani hubungan darat antara wilayah
Sultan Yogya dan Gubernur Suparjo "Tergantung usaha PU
mengendalikan banjir lahar dingin dari Merapi. Misalnya dengan
pembuatan kantong-kantong lahar di hulu jembatan, yang kami
dengar memang sedang dikerjakan," sahut ir Secakusuma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini