BALAI Kota DKI ini, tak perlu kita bangun dengan terburu-buru
seperti Jembatan Kali Krasak. Tapi mungkin bangunan ini
mendapatkan medali emas IFAWPCA, lantaran kelengkapan
bangunannya. Bahkan landasan helikopter pun ada di puncaknya,"
begitu ir Secakusuma dari Pembangunan Jaya, mengomentari
prestasi teknil sipil tersebut.
Pencakar langit berlantai 23 dengan satu lantai kolong (basement
floor) itu, mungkin juga tergolong gedung jangkung pertama yang
dibangun dengan pertimbangan gempa bumi. Dua ahli gempa -- ir
Wiratman Wangsadinata dari Indonesia dan Dr Kyoji Nakagawa dari
Jepang -- turut mengawasi disain gedung itu. Sehingga
ketahanannya terhadap getaran kulit bumi, sengaja dibuat
melebihi standar yang dituntut fihak DKI. Namun kalau landasan
helikopter pun dimiliki Balai Kota DKI ini, ada satu
kelemahannya yang utama. Apa itu?
"Lapangan parkir," sahut Secakusuma pula. Dia mengakui, betapa
konsentrasi kegiatan dinas-dinas DKI di gedung yang terentang
antara jalan Merdeka Selatan dan Kebon Sirih itu sewaktu-waktu
memacetkan lalulintas di Kebon Sirih. Apalagi kalau Merdeka
Selatan sedang ditutup untuk beberapa jam lantaran upacara
militer di gedung tetangga Balai Kota.
Namun menurut Seca, soal fasilitas parkir itu merupakan salah
satu 'rem' yang membatasi pertumbuhan gedung-gedung di Jakarta
ke atas. Khususnya gedung perkantoran. Dengan meningkatnya
konsentrasi manusia yang berkantor di daerah yang sempit (tapi
tinggi), jumlah kendaraan akan meningkat pula. Di Jakarta,
terutama mobil sedan. Baik milik kantor, maupun milik pribadi.
Jadi kalau pusat-pusat perkantoran di Jakarta mau terus tumbuh
ke atas sampai puluhan tingkat seperti di Tokyo atau New York,
kendaraan umum dan gedung-gedung parkir untuk sedan yang tersisa
harus digalakkan lebih dulu.
Itu baru soal parkir. Hambatan lain yang jauh lebih menentukan
menurut Seca, adalah harga tanah yang relatif masih murah di
sini dibandingkan dengan Singapura Apalagi Tokyo. "Selama harga
tanah di sini belum sampai Rp 5 juta/mÿFD seperti Tokyo, rangsangan
untuk terus membangun ke atas terlalu lemah," kata direktur
Pembangunan Jaya itu. Dengan kata lain: selama harga tanah di
Jakarta ini masih relatif murah (dari kaca mata pemborong,
tentunya), orang lebih cenderung membangun gedung-gedung baru
yang hanya belasan tingkat saja.
Alasannya begini: membangun lebih tinggi bukannya membuat ongkos
sewa per lantai makin rendah, tapi justru semakin tinggi. Sebab
makin banyak lantai, makin banyak lift yang diperlukan. Semakin
banyak lift di satu gedung pencakar langit, semakin banyak ruang
yang tersita untuk kotak bubung lift (lift core). Sebab untuk
lantai-lantai atas -- misalnya di atas lantai 13 di gedung Wisma
Nusantara -- harus disediakan lift panjang yang langsung
melompat dari lantai 1 ke lantai 13, baru berhenti di
masing-masing lantai di atasnya. Kalau tidak kemacetan di jalan
raya, akan menular pula ke dalam lift.
Selain banyak makan tempat, lift itu banyak makan enerji. Enerji
dalam gedung jangkung juga habis termakan oleh lampu-lampu,
pesawat penyejuk udara, pompa pengangkat air ke atas, dan
peralatan pengerem jatuhnya air kotor plus ampas manusia ke
bawah. Seluruh kenaikan biaya yang nantinya harus ditanggung
oleh penyewa ruang kantor tak akan mau mereka tanggung kalau
mahalnya harga tanah belum memaksa kaum usahawan naik lift ke
lantai puluhan.
Itu pula sebabnya, sampai kini belum ada yang mau membangun
gedung pencakar langit yang lebih tinggi dari pada Wisma
Nusantara. Diakui oleh Seca, Balaikota DKI dari muka laut memang
tampak lebih tinggi dari gedung yang dibayar dengan Pampasan
Perang Jepang itu. Itu karena tanahnya mungkin sedikit lebih
tinggi. Adapun dalam hal gedung, Wisma Nusantara tetap tertinggi
di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini