Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengapa tak terus ke atas?

Gedung balai kota dki meraih medali emas ifawpca. pt pembangunan jaya membangunnya dengan pertimbangan gempa bumi. pembangunan gedung yang lebih tinggi memakan banyak energi, ongkos sewapun tinggi. (ilt)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALAI Kota DKI ini, tak perlu kita bangun dengan terburu-buru seperti Jembatan Kali Krasak. Tapi mungkin bangunan ini mendapatkan medali emas IFAWPCA, lantaran kelengkapan bangunannya. Bahkan landasan helikopter pun ada di puncaknya," begitu ir Secakusuma dari Pembangunan Jaya, mengomentari prestasi teknil sipil tersebut. Pencakar langit berlantai 23 dengan satu lantai kolong (basement floor) itu, mungkin juga tergolong gedung jangkung pertama yang dibangun dengan pertimbangan gempa bumi. Dua ahli gempa -- ir Wiratman Wangsadinata dari Indonesia dan Dr Kyoji Nakagawa dari Jepang -- turut mengawasi disain gedung itu. Sehingga ketahanannya terhadap getaran kulit bumi, sengaja dibuat melebihi standar yang dituntut fihak DKI. Namun kalau landasan helikopter pun dimiliki Balai Kota DKI ini, ada satu kelemahannya yang utama. Apa itu? "Lapangan parkir," sahut Secakusuma pula. Dia mengakui, betapa konsentrasi kegiatan dinas-dinas DKI di gedung yang terentang antara jalan Merdeka Selatan dan Kebon Sirih itu sewaktu-waktu memacetkan lalulintas di Kebon Sirih. Apalagi kalau Merdeka Selatan sedang ditutup untuk beberapa jam lantaran upacara militer di gedung tetangga Balai Kota. Namun menurut Seca, soal fasilitas parkir itu merupakan salah satu 'rem' yang membatasi pertumbuhan gedung-gedung di Jakarta ke atas. Khususnya gedung perkantoran. Dengan meningkatnya konsentrasi manusia yang berkantor di daerah yang sempit (tapi tinggi), jumlah kendaraan akan meningkat pula. Di Jakarta, terutama mobil sedan. Baik milik kantor, maupun milik pribadi. Jadi kalau pusat-pusat perkantoran di Jakarta mau terus tumbuh ke atas sampai puluhan tingkat seperti di Tokyo atau New York, kendaraan umum dan gedung-gedung parkir untuk sedan yang tersisa harus digalakkan lebih dulu. Itu baru soal parkir. Hambatan lain yang jauh lebih menentukan menurut Seca, adalah harga tanah yang relatif masih murah di sini dibandingkan dengan Singapura Apalagi Tokyo. "Selama harga tanah di sini belum sampai Rp 5 juta/mÿFD seperti Tokyo, rangsangan untuk terus membangun ke atas terlalu lemah," kata direktur Pembangunan Jaya itu. Dengan kata lain: selama harga tanah di Jakarta ini masih relatif murah (dari kaca mata pemborong, tentunya), orang lebih cenderung membangun gedung-gedung baru yang hanya belasan tingkat saja. Alasannya begini: membangun lebih tinggi bukannya membuat ongkos sewa per lantai makin rendah, tapi justru semakin tinggi. Sebab makin banyak lantai, makin banyak lift yang diperlukan. Semakin banyak lift di satu gedung pencakar langit, semakin banyak ruang yang tersita untuk kotak bubung lift (lift core). Sebab untuk lantai-lantai atas -- misalnya di atas lantai 13 di gedung Wisma Nusantara -- harus disediakan lift panjang yang langsung melompat dari lantai 1 ke lantai 13, baru berhenti di masing-masing lantai di atasnya. Kalau tidak kemacetan di jalan raya, akan menular pula ke dalam lift. Selain banyak makan tempat, lift itu banyak makan enerji. Enerji dalam gedung jangkung juga habis termakan oleh lampu-lampu, pesawat penyejuk udara, pompa pengangkat air ke atas, dan peralatan pengerem jatuhnya air kotor plus ampas manusia ke bawah. Seluruh kenaikan biaya yang nantinya harus ditanggung oleh penyewa ruang kantor tak akan mau mereka tanggung kalau mahalnya harga tanah belum memaksa kaum usahawan naik lift ke lantai puluhan. Itu pula sebabnya, sampai kini belum ada yang mau membangun gedung pencakar langit yang lebih tinggi dari pada Wisma Nusantara. Diakui oleh Seca, Balaikota DKI dari muka laut memang tampak lebih tinggi dari gedung yang dibayar dengan Pampasan Perang Jepang itu. Itu karena tanahnya mungkin sedikit lebih tinggi. Adapun dalam hal gedung, Wisma Nusantara tetap tertinggi di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus