Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ledakan di Langit Atlantik

Roket generasi terbaru Arianespace meledak. Bagaimana nasib satelit milik Telkom?

8 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT malam di atas Samudra Atlantik tiba-tiba berubah seperti kanvas raksasa bertabur cahaya warna-warni. Bukan sebuah pesta, melainkan musibah, setidaknya bagi Arianespace—perusahaan antariksa milik konsorsium Eropa. "Kembang api" itu berasal dari remah-remah roket Ariane 5 yang meledak tiga menit setelah melesat dari stasiun peluncuran di Kourou, Guyana Prancis, Amerika Selatan.

Tak ada korban jiwa—wahana angkasa itu tanpa awak. Tapi kerugian akibat musibah itu fantastis. Dua satelit yang digendongnya ikut hancur lebur. Puing-puingnya menghunjam ke laut: Hot Bird-7, satelit komunikasi milik Eutelsat, dan Stentor, satelit peneliti milik institut riset antariksa Prancis CNES. Harga Stentor saja antara Rp 1,8 triliun dan Rp 2,7 triliun.

Ledakan di Rabu malam itu adalah kasus kegagalan keempat dari total 14 misi Ariane 5 sejak 1997. Mestinya, roket ini mengangkasa pada 28 November. Namun, karena ada gangguan pada salah satu program komputernya, rencana tersebut ditunda hingga akhirnya mengalami nahas pekan lalu.

Insiden itu jelas mencoreng reputasi Ariane. Sejauh ini, tingkat sukses peluncuran angkasa Ariane, yakni 98,8 persen, mengungguli roket-roket komersial pesaingnya—Delta (Boeing), Atlas (Lockheed Martin Corp.), dan Proton (Rusia), yang rata-rata 96 persen. Peluncuran pekan lalu adalah misi ke-157 bagi Arianespace.

Musibah itu kemungkinan juga akan mengguncang bisnis jasa angkutan satelit. Arianespace saat ini mendominasi lebih dari 50 persen kontrak pemesanan peluncuran komersial (non-militer) di dunia. Sisanya diperebutkan oleh perusahaan lain seperti Boeing dan Lockheed Martin. Kecelakaan itu bisa saja mempengaruhi keputusan calon pelanggan yang hendak memanfaatkan jasanya. Premi asuransi peluncuran roket Ariane dipastikan naik.

Ledakan di atas Atlantik itu juga menghantui rencana peluncuran Telkom-2, satelit telekomunikasi milik PT Telkom, yang sedianya akan diluncurkan dengan Ariane 5 pada pertengahan 2004.

Ariane 5-ESCA yang meledak adalah wahana peluncur generasi terbaru dari seluruh jajaran roket Arianespace. Ia merupakan penyempurnaan dari versi klasik. Seperti layaknya truk tronton, Ariane 5 termasuk wahana kelas berat. Daya angkut yang versi klasik 7 ton, sedangkan versi baru sanggup menggendong muatan ganda (dua satelit yang dipasang bertumpuk) sampai 10 ton. Ariane 5 versi berikutnya (ESCB) bahkan direncanakan mampu mengusung beban sampai 12 ton.

Bagi para pelanggan, kemampuan tersebut jelas menghemat ongkos peluncuran. Sekali mengangkasa, ongkosnya bisa ditanggung berdua. Sebelumnya, Arianespace mengandalkan Ariane 4 sebagai pengangkut satelit ukuran kecil (di bawah 4 ton). Satelit Telkom-1, misalnya, diantarkan ke orbit oleh Ariane 4.

Daya angkut ekstrabesar itu dimungkinkan berkat beberapa pembaruan pada komponen utama Ariane 5. Kapasitas bahan bakar dua roket pendorongnya diperbesar. Kemampuan pembakaran mesin utama Vulcain-2 pun ditingkatkan agar dapat lebih baik mengolah bahan bakar oksigen dan hidrogen cair.

Dikembangkan sejak 1996, roket raksasa itu pertama kali sukses mengangkasa pada 30 Oktober 1997. Adapun peluncuran komersial pertamanya berlangsung Desember 1999, yakni ketika ia mengangkut satelit terbesar dan termahal, Newton X-ray Observatory, milik Badan Antariksa Eropa (ESA). Ariane 5 sangat luwes, bisa dipakai sebagai wahana pengangkut satelit orbit geostasioner, orbit rendah, maupun ke planet lain.

Ariane 5 punya dua pelontar utama berbahan bakar cryogenic untuk mendorong roket masuk ke wilayah orbit. Bagian atasnya, tempat muatan berada, bertugas mendorong satelit ke orbit yang seharusnya—biasanya orbit transfer geostasioner yang berada pada ketinggian 36 ribu kilometer.

Mesin "tronton angkasa" itu juga canggih. Berbeda dari roket pendorong lain, mesin tersebut bisa dihidupkan dan dimatikan tanpa harus membatalkan jadwal penerbangan. Jika ada kerusakan kecil padahal mesin sudah menyala, para teknisi tak perlu membatalkan seluruh misi. Mereka cukup mematikan mesin, memperbaiki yang rusak, lalu menghidupkannya lagi, dan memulai hitung mundur kembali. Roket-roket lain tak bisa diperlakukan seperti itu. Begitu mesin menyala, ia tak boleh dimatikan. Bila ada gangguan kecil ketika mesin sudah hidup, misi harus dibatalkan atau ditunda, dan dibuat jadwal baru.

Ariane 5 dirancang untuk memenuhi permintaan pasar terhadap wahana pengangkut masa depan. Ia memenuhi sejumlah kebutuhan: sanggup mengangkut muatan lebih besar, tak gentar memenuhi tingginya permintaan peluncuran satelit orbit rendah dari Stasiun Angkasa Internasional (ISS), dan mampu menurunkan ongkos peluncuran dengan mampu mengangkut dua satelit sekaligus.

Toh tiada gading yang mulus. Dari 14 misi peluncuran (baik uji coba maupun komersial), empat di antaranya gagal. Dua roket melenceng keluar dari orbit pada peluncuran 1997 dan 2001. Satu roket lain meledak di angkasa. Badan independen yang khusus dibentuk untuk menyelidiki kasus tersebut waktu itu menyimpulkan bahwa sistem kontrol penerbangan mengalami gangguan karena kesalahan desain program komputer. Satu lagi berantakan di atas Atlantik pekan lalu.

Menurut sumber-sumber di Arianespace seperti dikutip BBC, kecelakaan terakhir juga diakibatkan oleh kerusakan komputer. Beberapa detik setelah mengangkasa, komputer yang mengatur aliran bahan bakar tak berfungsi semestinya. Akibatnya, pasokan bahan bakar cair yang seharusnya mengalir ke dalam mesin utama Vulcain-2 tersendat. Kecepatan dan ketinggian roket pun langsung berkurang. Beberapa puluh detik kemudian, para teknisi di ruang kontrol memutuskan roket harus diledakkan melalui mekanisme "bunuh diri".

Jean-Yves Le Gall, Direktur Eksekutif Arianespace, memberikan penjelasan agak berbeda. Dalam pernyataan resminya, dia mengatakan bahwa 96 detik setelah mengudara, terjadi penurunan tekanan di dalam sistem pendingin motor. Akibatnya, roket kehilangan kontrol dan akhirnya mengalami kerusakan total sehingga harus diledakkan tiga menit kemudian.

Apa pun penyebabnya, menurut Jacques Roelandts, Manajer Arianespace Tokyo Office, kecelakaan itu tak akan mengganggu peluncuran berikutnya. Dalam surat elektroniknya kepada TEMPO, Roelandts menyatakan musibah pekan lalu tak kan mempengaruhi kontraknya dengan PT Telkom untuk peluncuran Telkom-2, yang dijadwalkan Juni-Desember 2004. Kecelakaan itu juga tak mengubah jadwal peluncuran roket berikutnya, yakni 17 Desember 2002 (Ariane 4) dan 12 Januari 2003 (Ariane 5).

Bagaimanapun, di tengah persaingan ketat bisnis transportasi angkasa, Arianespace sulit bisa menoleransi kegagalan. Dua roket raksasa saingan terkuatnya, Delta 4 buatan Boeing dan Atlas 5 bikinan Lockheed Martin, telah meraih sukses dalam uji coba beberapa bulan silam. Dengan rekor sukses peluncuran yang tidak terlalu jauh dari pesaing Amerikanya, Arianespace layak untuk waspada.

Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus