PULUHAN hakim mengular di aula Mahkamah Agung (MA). Kamis siang pekan lalu, para petinggi lembaga peradilan itu antre menyalami Ketua MA Bagir Manan. Mereka, para hakim agung dari jalur karier ataupun non-karier, berbaur, menebar senyum, dan bermaaf-maafan dalam suasana Lebaran.
Itu di Hari Raya. Seorang sumber TEMPO di MA mengungkapkan, di hari-hari lain hubungan kerja antara hakim agung yang berangkat dari jalur karier dan kelompok yang naik melalui lini non-karier sedingin es. Penyebabnya, belakangan ini, ketidakpuasan kian menggunung di kalangan hakim karier terhadap kinerja keberadaan kolega mereka yang masuk dari luar itu.
Pada 2 September 2000 lalu, di atas cita-cita mereformasi lembaga tertinggi peradilan itu, setelah seleksi oleh parlemen, Presiden Abdurrahman Wahid mengangkat sembilan hakim agung non-karier.
Dua tahun lebih telah berlalu, dan kinerja jajaran hakim non-karier mulai dianggap mengecewakan. Tak hanya oleh kalangan hakim karier, tapi juga oleh banyak pengamat dan praktisi hukum. Toga yang dikenakan golongan ini mulai dicibir tampak kedodoran.
Ketidakberdayaan Ketua MA Bagir Manan— juga hakim non-karier—membersihkan lembaga yang dipimpinnya dari mafia peradilan adalah salah satunya. Untuk soal ini, Kamal Firdaus, pengacara dan anggota Majelis Eksaminasi Publik—forum yang didirikan oleh sejumlah guru besar, pengacara, dan tokoh lembaga swadaya masyarakat untuk menguji berbagai putusan janggal—bahkan sudah nyaris patah arang. "Saya sudah memberi laporan ke Pak Bagir, tapi hingga kini tak ada tindakan konkret untuk mengusutnya," kata Kamal dengan masygul.
Tapi, menurut Bagir, ia bukan tak mau memberantasnya. "Semua orang mengatakan ada suap, tapi kita tak bisa membuktikannya secara hukum," ia selalu berdalih.
Tak cuma itu, kemampuan hakim non-karier pun belakangan kencang disorot oleh para koleganya dari jajaran hakim karier. Terkhusus mereka yang sebelumnya datang dari dunia akademis, kelompok hakim ini dinilai lambat beradaptasi dengan ritme kerja MA dalam memutus tumpukan perkara. Kamal pun termasuk yang meragukannya. "Kalau dari kalangan praktisi, mereka sudah terbiasa berurusan dengan putusan perkara, tapi entah kalau cuma akademisi," katanya.
Persoalan ini diakui Artidjo Alkostar, hakim agung non-karier yang lama menjadi pengacara di Lembaga Bantuan Hukum. Menurut dia, hakim agung dari jalur non-karier seperti dirinya memang memerlukan waktu beradaptasi yang lumayan panjang. Untuk mengatasinya, ia sependapat dengan Kamal, di masa depan yang diangkat dari jalur ini sebaiknya mereka yang punya latar belakang sebagai seorang praktisi hukum.
Dan gara-gara masalah "telat panas" inilah, kata sumber TEMPO di kalangan hakim karier, tumpukan perkara di meja mereka justru lebih tinggi ketimbang yang ditangani hakim karier.
Bagir mengakui jumlah perkara yang kini tersampir di MA mencapai 16 ribu lebih. Tapi ia menepis anggapan bahwa hakim non-karier seperti dirinyalah yang jadi penyebab. "Bukankah setiap perkara diputus secara bersama oleh hakim agung karier dan non-karier?" ia balik bertanya.
Masih ada soal lain. Sumber TEMPO itu pun mengkritik bisa masuknya pensiunan hakim dalam kriteria hakim non-karier. Preseden ini datang dari terpilihnya Benjamin Mangkoedilaga, mantan hakim Pengadilan Tinggi Medan, masuk MA dengan label anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dikhawatirkan, kata sumber itu lagi, tanpa kejelasan kriteria, jejak Benjamin akan terus diikuti. Sekarang saja tanda-tandanya sudah tampak. Dalam daftar usulan calon hakim agung non-karier yang masuk ke parlemen, terdapat nama bekas Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat Sakir Adiwinata. "Jangan-jangan lima tahun lagi MA penuh dengan pensiunan hakim," kata sumber TEMPO sambil tersenyum.
Celakanya lagi, masa dinas para pensiunan hakim itu jelas jadi amat pendek. Kasus Benjamin membuktikannya. Baru setahun diangkat, pada Oktober lalu ia sudah harus pensiun dari MA. "Apa ini tidak mubazir?" sumber itu bertanya. Belum lagi, setelah mereka purnatugas, sambil menunggu pengangkatan hakim agung baru, yang biasanya makan waktu lama, tumpukan perkara yang ditinggalkan mau tak mau lantas dilimpahkan ke hakim agung lain yang juga sudah tak kalah sibuk.
Hal semacam inilah yang menyebabkan perang dingin di MA tak berkesudahan. Bahkan belakangan perseteruan di antara kedua kelompok ini sempat menajam, manakala Artidjo Alkostar berangkat studi ke Amerika selama sembilan bulan. Artidjo terbang ketika ia baru tiga bulan mengenakan toga hakim agung. Sumber TEMPO di kalangan hakim karier meniupkan isu miring bahwa kepergian Artidjo sesungguhnya melabrak peraturan. Surat permohonan izin baru disampaikan Artidjo sehari menjelang keberangkatannya. Itu pun cuma diterima oleh staf Ketua MA. "Sehingga Ketua tak mungkin melarang, karena ketika dicari-cari, orangnya sudah tak ada," katanya bersemangat.
Tapi tuduhan ini serta-merta disanggah Artidjo. Menurut Artidjo, ia telah mengirimkan surat izin jauh-jauh hari sebelumnya. Bagi Artidjo, ini sekadar manuver yang menunjukkan betapa sejak semula kelompok hakim agung karier amat gerah dengan masuknya hakim non-karier. Kehadiran Artidjo dan kawan-kawan dinilai mengancam posisi hakim agung karier. Artidjo mengaku pernah mendengar langsung suara waswas semacam itu dari seorang hakim agung karier dalam suatu acara di Lampung beberapa waktu lalu. "Hakim agung non-karier ngerayah (merebut—Red.) sawah milik orang lain," Artidjo menirukan.
Bagir bukan tak sadar akan gejala tak sehat ini. "Logis kalau hakim karier ingin menjadi hakim agung, sama dengan dosen mendambakan jadi guru besar," paparnya. Tapi, menurut dia, keberadaan hakim agung non-karier mutlak diperlukan untuk membenahi dunia peradilan.
Memang tak adil hanya menumpukkan masalah pada hakim non-karier. Dalam setiap rapat pengambilan keputusan penting di MA, kalangan ini adalah minoritas. Dari total 32 hakim agung di MA, mereka cuma punya tujuh suara—minus Benjamin, yang pensiun, dan Muladi, yang mengundurkan diri setelah tak terpilih menjadi Ketua MA.
Hakim non-karier pun bukan tak membawa terobosan sama sekali. Ada suri teladan yang patut dicontoh jajaran hakim karier dari Artidjo, misalnya. Tak lama setelah punya ruang kerja di MA, pengacara sederhana ini segera menempelkan secarik kertas di muka pintu kantornya. Tertulis besar-besar di situ: "Tidak menerima tamu untuk urusan perkara." Sikap yang mestinya amat wajar ini sempat dicibir rekan sejawatnya, "Masa, orang mau datang memberi telur saja kok ditolak?"
Langkah Artidjo juga sempat banyak dipuji saat ia kukuh meminta pencantuman dissenting opinion (perbedaan pendapat) dalam pemutusan setiap perkara. Sebelumnya, mekanisme ini tak pernah bisa diterapkan di MA. Jadi, siapa hakim yang setuju dan siapa yang menolak sebuah vonis yang dijatuhkan majelis tak pernah jelas tergambar. Suara majelis selalu tampak bulat. Padahal, menurut Artidjo, dissenting opinion penting untuk mengedepankan transparansi majelis dalam memutus perkara, sekaligus mempersempit celah patgulipat para hakim. Terobosan ini juga telah dilakukannya. Ketika majelis tempat ia menjadi anggota membebaskan Joko Tjandra, tersangka skandal Bank Bali, dan tuntutan korupsi yayasan Soeharto, ia mencatatkan pendiriannya. Ia tak setuju, tapi apa boleh buat kalah suara karena anggota majelis yang lain berkehendak sebaliknya.
Rommy Fibri
Dari Jalur
Non-Karier |
Nama |
Jabatan
sebelumnya |
Prof. Dr.
Bagir Manan, S.H., M.C.L. |
Rektor
Universitas Islam Bandung |
Artidjo
Alkostar, S.H. |
Advokat |
Abdul Rahman
Saleh, S.H., M.H. |
Notaris |
Benjamin
Mangkoedilaga, S.H.* |
Anggota
Komnas HAM |
Dr. Muchsin,
S.H. |
Akademisi |
Dr. Muhammad
Laica Marzuki, S.H. |
Dosen Fakultas
Hukum Unhas, Makassar |
Prof. Dr.
Muladi, S.H.** |
Mantan
Menteri Kehakiman |
Dr. Rifyal
Ka'bah, M.A. |
Dosen Hukum
Islam UI |
Prof. Dr.
Valerine J.L. Kriekhoff, M.A. |
Guru Besar
Fakultas Hukum UI |
*
Pensiun ** Mengundurkan diri |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini