DEWA Made Suambara mendadak jadi orang penting. Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra, memuji anak itu sebagai seorang yang "berkarya besar" dalam upacara resmi di Desa Batuaji, Tabanan, Senin pekan lalu. "Saya sungguh terharu," ujar Mantra, seraya menyerahkan Tabanas Rp 50.000 kepada Suambara, 16 tahun. Adalah berkat Suambara, desa yang dihuni 374 kepala keluarga itu kini berubah lebih semarak. Dengan dukungan segenap penduduk desa, murid kelas dua SMP Taman Pendidikan (TP) 45 Tabanan itu berhasil merampungkan sebuah pusat listrik tenaga air (PLTA) berkekuatan 8.000 watt. Memang tidak ada yang baru dari teknologi PLTA Batuaji ini. Tapi untuk sebuah desa yang sulit dijangkau pusat listrik tenaga diesel (PLTD), dengan hampir 2.000 penduduk mendiami rumah yang berpencaran, makna jerih payah Suambara tak bisa dipandang enteng. Riwayat Suambara sedikit unik. Pada usia 11 tahun, 1979, anak sulung dari dua bersaudara ini drop out dari kelas lima SD. Ia memang dinyatakan naik ke kelas enam, tapi keruwetan yang melanda rumah tangga orangtuanya membuat Suambara enggan bersekolah. Oleh ayahnva, Dewa Ktut Senorja Suambara dititipkan pada Wayan Rukun, pemilik bengkel sepeda motor di Desa Buahan, masih terbilang Kabupaten Tabanan. "Semula saya suruh dia membersihkan percikan oli," tutur Rukun. "Ternyata, ia tekun dan rajin belajar dari buku petunjuk." Dalam waktu singkat, banyak pekerjaan montir yang sudah dikuasai Suambara. Menyongsong rencana pemerintah memasukkan PLTA ke Desa Buahan, Rukun membuka kursus elektro dengan mengundang guru dan Denpasar. Dari 30 peserta, Suambara ternyata paling tekun. Hasil kursus setahun dikembangkannya sendiri dengan pemanfaatan terjunan air yang banyak terdapat di desa. "Sampai sekarang sudah enam buah kincir air saya selesaikan," tutur Suambara, yang ditemui di rumahnya, di Desa Riang, Tabanan, pekan lalu. "Kincir di Batuaji itu memang yang paling besar." Caranya sederhana. Pada terjunan air dibuat bak, lalu dipasang pipa plastik dengan garis tengah 10 cm. Tujuh meter di bawah bak itu dibuat kincir, yang berputar oleh air yang diteruskan oleh pipa plastik tadi, dengan kecepatan 1.500 putaran/menit. Putaran inilah yang menggerakkan dinamo berkekuatan 10.000 KVA melalui sebuah "roda gila". Berdasarkan pengalaman dari enam kincir terdahulu, Suambara sedang merencanakan PLTA baru dengan kekuatan 15.000 KVA. "Saya yakin, percobaan itu akan berhasil," katanya. Suambara sendiri, setelah dua tahun tak bersekolah, pada 1981 lalu dapat dibujuk Rukun masuk bangku pendidikan. Kini, siswa kelas dua SMP itu malah punya keinginan yang agak "menyimpang". Bila lulus dari SMP, katanya, ia tak bakal melanjutkan ke sekolah teknik, melainkan ke "sekolah umum". Ia mengaku, "Sudah cukup melakukan praktek dilapangan, dan ingin mengetahui pelajaran di sekolah umum." Namun, cita-cita ini bisa.saja menjadi tidak begitu sederhana. Sekarang saja, misalnya, Suambara sibuk memenuhi undangan berbagai desa untuk melakukan survei, meniiai sumber air yang patut dipasangi kincir untuk memancing energi listrik. Untuk pedesaan Bali yang terkenal dengan perbedaan ketinggian tanah persawahan beserta sistem irigasinya yang unik, subak, PLTA mungkin pilihan yang ideal bila dibandingkan dengan PLTD. Untuk PLTA Batuaji itu, 28 km dari Denpasar, Suambara tak dibayar, kecuali sekadar "uang telah" dan "ongkos transpor". Ia juga tak banyak membanting tulang, hanya memberi petunjuk teknis. Perlengkapan kerja dan biaya, yang mencapai Rp 5 juta, dipikul bersama oleh penduduk desa. Namun, baru 29 rumah yang menikmati PLTA Suambara. "Rumah-rumah di sini terpencar dan saling berjauhan," kata Kepala Desa Batuaji, Letnan Dua (pur.) Dewa Putu Wira. Diperlukan biaya agak banyak untuk, misalnya, membeli tiang dan kabel. Karena itu, PLTA Suambara ini dimasukkan ke dalam awig-awig, "undang-undang" tradisional, lengkap dengan sanksinya, yang berlaku di pedesaan Bali. Untuk 29 "pelanggan" pertama PLTA ini dikutip biaya masing-masing Rp 26.000. Setiap "pelanggan" baru harus menyetorkan uang dalam jumlah yang sama, diatur tiga bulan sekali, setiap panen. Inilah untuk pertama kalinya urusan listrik masuk awig-awig. Kini, jumlah pesawat televisi di Desa Batuaji sudah tercatat 37. Anak-anak, yang rumahnya sudah memperoleh listrik, bisa belajar lebih giat malam hari. Desa yang terkenal dengan barang kerajinan ini berniat pun memproduksikan pemarut kelapa dengan tenaga listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini