Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Memeta laut dengan chauvenet

Jawatan hidro oseanografis kerjasama dengan usns chauvenet (a.s) mengadakan pemetaan laut (program amindo jaya). diantaranya meneliti kedalaman laut.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JURUMUDI zaman dulu hafal perairan secara emperis lanpa peta laut, ia mengemudikan kapalnya dari pulau ke pulau atau menyusur pantai. Pohon, gunung, bukit atau ciri lain di darat selalu menuntunnya mencapai tujuan. Dalam zaman modern ini jurumudi harus berpegang pada peta laut. Dan tidak sembarangan orang boleh membuatnya. Indonesia, umpamanya, punya satu instansi khusus yang menyediakan informasi navigasi seperti peta laut, buku data tentang pasang surut, arus, gelombang dan kondisi laut lainnya. Yang berwenang itu ialah Jawatan Hidro-Oseanografis (Janh idros), suatu instan ini Angkatan Laut. Janhidros kini bekerjasama dengan U.S. Naval Oceanographic Office dari AL Amerika Serikat dalam suatu program yang dinamakan Amindo Jaya. Pihak AS menugaskan suatu kapalnya, USNS Chauvenet, dalam melaksanakan program itu. Seluruhnya berwarna putih, USNS Chauvenet sejak April 1978 menjelajahi Selat Makassar. Baru-baru ini ia bersandar di suatu dermaga Tanjung Priok. Wartawan TEMPO T. Manyaka Thayeb sempat menjadi tamunya, dan melaporkan: Di atas jembatan Chauvenet yang membentang selebar 17 m, terdapat berbagai alat navigasi modern. Seperti radar dan pesawat navigasi yang berhubungan dengan satelit. "Sextan hanya kami gunakan bila semua alat lain ternyata gagal," ujar Ludgendorf, nakoda kapal itu. Selain peralatan navigasi itu terdapar Juga suatu sistem penepatan posisi yang terbaru, yang disebut argosystem. Sistem ini meliputi beberapa unsur pemancar yang dapat ditempatkan pada beberapa titik berjarak ratusan km. Dalam survei di Selat Makassar 3 pemancar ditempatkannya di beberapa pulau sekitar wilayah survei. Isyarat dari ketiga pemancar itu diterima di peralatan induk kapal Chauvenet dan secara terperinci menepatkan posisi kapal itu setiap di kehendaki dengan ketelitian 1/1000 detik. Ia mengukur kedalaman pada posisi tertentu dengan peralatan pemantul bunyi atau sonar. Mirip dengan prinsip peralatan sonar yang dikembangkan dalarn Perang Dunia II untuk mendeteksi kapal selamanya kini itu sudah dikembangkan hingga memenuhi kebutuhan pemetaan seteliti mungkin. Prinsipnya adalah mengukur waktu yang dibutuhkan bunyi mencapai dasar laut dan kembali ke badan kapal. Dengan kecepatan suara merambat dalam air yang dianggap 1.500 m per detik, bisa diperhitungkan jarak kedalamannya. Semua data secara otomatis diolah dalam komputer yang menggerakkan alat tulis di meja koordinat. Sekaligus semua data direkam pad pita magnetis, hingga sewaktu-waktu bisa diputar kembali. Hasil dari meja ko ordinat diolah menjadi peta laut di ruang gambar. Kemudian bagian reproduksi yang dipimpin perwira wanita, Letnan I Sue Friess, mencetaknya dengan mesin offset plano "Harris". Untuk melaya|ni para awak yang menjaga stasiun ago di berbagai pulau, sebuah helikopter jmengangkut perbekalan dan keperluan lain. Di samping itu Chauvenet dilengkapi dengan 4 kapal motor kecil yang masing-masing memiliki peralatan argo dan sonar Keempatnya terutama dipergunakan untuk mengumpulkan data dari perairan dangkal. Di Selat Makassar, Chauvenet melayari sejumlah jalur. Jarak antara jalur itu berkisar 100 sampai 8.000 m, tergantung dari kedalaman laut. Dalam setiap jalur kapal itu dikemudikan demikin rupa hingga hampir merupakan garis lurus. Kedalaman setiap jarak tertentu diukurnya dengan sonar. Untuk mengecek ketepatan pengukuran, kapal itu mengulang beberapa jalur, tapi sekarang secara diagonal. Ada pembagian kerja dalam program pemetaan Selat Makassar. Bagian Barat ditanggulangi pihak Indonesia, sedang bagian Timur oleh pihak AS. Dua tahap dalam program Amindo Jaya sudah selesai, meliputi 776 ribu km2. Pekan lalu tahap ketiga dimulai. Seluruh program itu, termasuk perencanaan pemetaan wilayah perairan Indonesia Timur, diharapkan berlangsung selama 5 tahun. Chauvenet setiap 3 bulan kembali ke pangkalannya di Subic Bay, Filipina, untuk mengganti personel militernya dan mengambil perbekalan baru. Kapal itu dilayani 55 awak yang dipimpin 14 perwira pelayaran sipil, termasuk nakodanya. Mereka adalah pegawai sipil dari U.S. Navy Military Sealift Command (Komando Lintas Laut Militer AL s atuan militer di kapal itu berjumlah 60 orang, termasuk beberapa wanita. Indonesia sendiri memiliki 2 kapal hidro-oseanografi: KRI Burujurasad (2.165 ton) yang dibangun tahun 1965 dan KRI Yalanidhi (985 ton) yang dibangun tahun 1962. Sebuah lagi, KRI Aries (50 ton) digunakan untuk keperluan latihan. KRI Burjamhal (1.100 ton) sejak tahun 1978 dibebastugaskan karena sudah terlalu tua. Janhidros dalam waktu dekat akan membangun sebuah kapal hidrografi baru. "Yang mahal justru peralatannya," ujar Kolonel TNI-AL E. Katoppo, Wakil Kepala Janhidros. Tidak mengherankan mengingat satu kapal hidrooseanografi dilengkapi puluhan alat besar kecil. Komputer untuk sistem argo di kapal Chauvenet misalnya seharga US$ 60.000 (Rp. 378 juta).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus