JURUMUDI zaman dulu hafal perairan secara emperis lanpa peta
laut, ia mengemudikan kapalnya dari pulau ke pulau atau menyusur
pantai. Pohon, gunung, bukit atau ciri lain di darat selalu
menuntunnya mencapai tujuan. Dalam zaman modern ini jurumudi
harus berpegang pada peta laut. Dan tidak sembarangan orang
boleh membuatnya.
Indonesia, umpamanya, punya satu instansi khusus yang
menyediakan informasi navigasi seperti peta laut, buku data
tentang pasang surut, arus, gelombang dan kondisi laut lainnya.
Yang berwenang itu ialah Jawatan Hidro-Oseanografis (Janh
idros), suatu instan ini Angkatan Laut.
Janhidros kini bekerjasama dengan U.S. Naval Oceanographic
Office dari AL Amerika Serikat dalam suatu program yang
dinamakan Amindo Jaya. Pihak AS menugaskan suatu kapalnya, USNS
Chauvenet, dalam melaksanakan program itu.
Seluruhnya berwarna putih, USNS Chauvenet sejak April 1978
menjelajahi Selat Makassar. Baru-baru ini ia bersandar di suatu
dermaga Tanjung Priok.
Wartawan TEMPO T. Manyaka Thayeb sempat menjadi tamunya, dan
melaporkan: Di atas jembatan Chauvenet yang membentang selebar
17 m, terdapat berbagai alat navigasi modern. Seperti radar dan
pesawat navigasi yang berhubungan dengan satelit. "Sextan hanya
kami gunakan bila semua alat lain ternyata gagal," ujar
Ludgendorf, nakoda kapal itu.
Selain peralatan navigasi itu terdapar Juga suatu sistem
penepatan posisi yang terbaru, yang disebut argosystem. Sistem
ini meliputi beberapa unsur pemancar yang dapat ditempatkan pada
beberapa titik berjarak ratusan km. Dalam survei di Selat
Makassar 3 pemancar ditempatkannya di beberapa pulau sekitar
wilayah survei. Isyarat dari ketiga pemancar itu diterima di
peralatan induk kapal Chauvenet dan secara terperinci menepatkan
posisi kapal itu setiap di kehendaki dengan ketelitian 1/1000
detik.
Ia mengukur kedalaman pada posisi tertentu dengan peralatan
pemantul bunyi atau sonar. Mirip dengan prinsip peralatan sonar
yang dikembangkan dalarn Perang Dunia II untuk mendeteksi kapal
selamanya kini itu sudah dikembangkan hingga memenuhi kebutuhan
pemetaan seteliti mungkin. Prinsipnya adalah mengukur waktu yang
dibutuhkan bunyi mencapai dasar laut dan kembali ke badan kapal.
Dengan kecepatan suara merambat dalam air yang dianggap 1.500 m
per detik, bisa diperhitungkan jarak kedalamannya.
Semua data secara otomatis diolah dalam komputer yang
menggerakkan alat tulis di meja koordinat. Sekaligus semua data
direkam pad pita magnetis, hingga sewaktu-waktu bisa diputar
kembali. Hasil dari meja ko ordinat diolah menjadi peta laut di
ruang gambar. Kemudian bagian reproduksi yang dipimpin perwira
wanita, Letnan I Sue Friess, mencetaknya dengan mesin offset
plano "Harris".
Untuk melaya|ni para awak yang menjaga stasiun ago di berbagai
pulau, sebuah helikopter jmengangkut perbekalan dan keperluan
lain. Di samping itu Chauvenet dilengkapi dengan 4 kapal motor
kecil yang masing-masing memiliki peralatan argo dan sonar
Keempatnya terutama dipergunakan untuk mengumpulkan data dari
perairan dangkal.
Di Selat Makassar, Chauvenet melayari sejumlah jalur. Jarak
antara jalur itu berkisar 100 sampai 8.000 m, tergantung dari
kedalaman laut. Dalam setiap jalur kapal itu dikemudikan
demikin rupa hingga hampir merupakan garis lurus. Kedalaman
setiap jarak tertentu diukurnya dengan sonar. Untuk mengecek
ketepatan pengukuran, kapal itu mengulang beberapa jalur, tapi
sekarang secara diagonal.
Ada pembagian kerja dalam program pemetaan Selat Makassar.
Bagian Barat ditanggulangi pihak Indonesia, sedang bagian Timur
oleh pihak AS.
Dua tahap dalam program Amindo Jaya sudah selesai, meliputi 776
ribu km2. Pekan lalu tahap ketiga dimulai. Seluruh program itu,
termasuk perencanaan pemetaan wilayah perairan Indonesia Timur,
diharapkan berlangsung selama 5 tahun.
Chauvenet setiap 3 bulan kembali ke pangkalannya di Subic Bay,
Filipina, untuk mengganti personel militernya dan mengambil
perbekalan baru. Kapal itu dilayani 55 awak yang dipimpin 14
perwira pelayaran sipil, termasuk nakodanya. Mereka adalah
pegawai sipil dari U.S. Navy Military Sealift Command (Komando
Lintas Laut Militer AL s atuan militer di kapal itu berjumlah
60 orang, termasuk beberapa wanita.
Indonesia sendiri memiliki 2 kapal hidro-oseanografi: KRI
Burujurasad (2.165 ton) yang dibangun tahun 1965 dan KRI
Yalanidhi (985 ton) yang dibangun tahun 1962. Sebuah lagi, KRI
Aries (50 ton) digunakan untuk keperluan latihan. KRI Burjamhal
(1.100 ton) sejak tahun 1978 dibebastugaskan karena sudah
terlalu tua.
Janhidros dalam waktu dekat akan membangun sebuah kapal
hidrografi baru. "Yang mahal justru peralatannya," ujar Kolonel
TNI-AL E. Katoppo, Wakil Kepala Janhidros. Tidak mengherankan
mengingat satu kapal hidrooseanografi dilengkapi puluhan alat
besar kecil. Komputer untuk sistem argo di kapal Chauvenet
misalnya seharga US$ 60.000 (Rp. 378 juta).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini