Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kampung sang karuhun

Potret kampung naga di desa neglasari, kecamatan salamun, kabupaten tasikmalaya. penduduknya masih berpegang adat, gotong royongnya sangat kuat, menolak bantuan pemerintah.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Kampung sang karuhun
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEMUA rumah di kampung itu sama berbentuk panggung, berdinding gedek, beratap ijuk. Menghadap ke utara atau selatan, jumlahnya hanya 90 buah, ukurannya hampir semua sama. Tak ada meja kursi di dalamnya. Perabotan yang ada hanya satu dua helai tikar. Pintunya tak pernah dikunci, biarpun hampir semua penduduk seharian di sawah bila musim panen tiba. Untuk mencapai kampung itu, dari jalan raya harus menuruni jalan bertangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat berkelok-kelok sejauh 500 meter, Kampung itu, terletak di sebuah lembah di pinggir Kali Ciwulan yang berair keruh, diapit dua perbukitan. Dari Tasikmalaya sekitar 30 km. Itulah sekilas potret Kampung Naga di Desa Neglasari , Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasik Malaya (Ja-Bar). Jumlah penduduknya hanya 383 jiwa atau sekitar sepersepuluh dari seluruh penduduk Desa Neglasari. Namun semuanya dikenal kuat memegang tradisi. Itu tak berarti mereka menolak pengaruh luar sama sekali--sepanjang dianggap tidak merusak adat. Di sana ada, misalnya, lapangan bulutangkis, masjid dan sebuah museum, Bumi Ageung (rumah besar), tempa menyimpan benda, peninggalan kuno. Di beberapa rumah juga nampak radio dan televisi--walaupun listrik belum masuk. Penerangan rumah masih menggunakan lampu tempel atau petromaks. Gadis-gadisnya ayu: berkulit kuning langsat, dan hampir semuanya berambut hitam panjang teurai. Dan sudah pada mengenakan rok warna-warni pula. Tapi tanpa gincu dan cat bibir. Para pemudanya dilarang berambut gondrong, harus berbaju kurung dan menyandang sarung ke mana pun pergi. Dalam hal pendidikan, orang Naga tak jauh beda dari penduduk kampung lain Ada yang sudah tamat STM dan kini bekerja di Dinas PJ Tasikmalaya. Ia adalah anak Sutija, 48 tahun, sesepuh yang biasa memimpin upacara adat. Setiap 27 Muharam masih ada upacara yang disebut sasihan. Sedang pada setiap 12 Maulud mereka membersihkan sisa benda-benda keramat, baik yang tersimpan di Bumi Ageung maupun yang masih dimiliki secara pribadi. Benda pusaka tersebut dibawa dalam bakul beralas daun pisang Di bawah daun pisang ada beras. Menurut Ahmad Badil, Kepala Binawisata Tasikmalaya, sejarah kampung ini tertulis dalam lembaran-lembaran daun lontar kuno dalam bahasa Sanskerta. Namun menurut Sutija, pada 1920 buku tersebut pernah dipinjam oleh seorang pembesar dari Jakarta (ketika itu Batavia), tapi kemudian hanya duplikatnya yang dikembalikan. "Mungkin buku kuno itu masih ada di museum di Jakarta atau di Negeri Belanda," ujar Sutija lagi Dan yang duplikat itu pun musnah 1956, ketika gerombolan Di Kartosuwiryo membakar Kampung Naga. Meski begitu beberapa sesepuh kampung, termasuk Sutija sendiri, konon masih hal-hal urutan sejarah kampungnya. Cuma untuk mngungkapkannya kembali, tanpa berdasarkan lontar tersebut, dianggap tabu. "Itu merupakan pelanggaran terhadap karuhun," tambah Sutija Karuhun adalah cikal-bakal alias pendiri Kampung Naga yang juga disebut Sembah Dalem Singaparana. Mereka juga pantang menebang kayu di hutan sekeliling kampung. Dan kepercayaan itu sampai kini tak pernah dilanggar. Itulah sebabnya Kampung Naga selalu hijau. Penduduk umumnya hidup dari bertani, selain membuat anyaman dari bambu. "Gotong-royong di sini kuat sekali," kata Ada Kanda, kepala desanya. Bertani maupun mendirikan rumah, dilakukan gotong-royong. Mereka begitu percaya pada kemampuan diri sendiri -sampai-sampai bantuan pemerintah pun ditolak. Pemda Tasikmalaya pernah hendak membantu Rp 15 juta untuk perbaikan kampung. Ditolak. "Sebab kami anggal perbaikan itu justru akan merusak adat," kata Sutija. Bantuan Dinas Museum dan Kepurbakalaan, Rp 22 juta, untuk memugar rumah-rumah kuno juga tidak diterima. "Rumah-rumah kami masih kuat," ujar mereka. Orang asing diam-diam nongol ke sana Dalam buku tamu di rumah Sutija tercantum beberapa nama turis dari AS Jerman, Swedia, Belanda, Malaysia, Singapura, Jepang dan Filipina. Kebanyakan mereka itu peneliti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus