SEMUA rumah di kampung itu sama berbentuk panggung, berdinding
gedek, beratap ijuk. Menghadap ke utara atau selatan, jumlahnya
hanya 90 buah, ukurannya hampir semua sama. Tak ada meja kursi
di dalamnya. Perabotan yang ada hanya satu dua helai tikar.
Pintunya tak pernah dikunci, biarpun hampir semua penduduk
seharian di sawah bila musim panen tiba.
Untuk mencapai kampung itu, dari jalan raya harus menuruni jalan
bertangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat berkelok-kelok
sejauh 500 meter, Kampung itu, terletak di sebuah lembah di
pinggir Kali Ciwulan yang berair keruh, diapit dua perbukitan.
Dari Tasikmalaya sekitar 30 km.
Itulah sekilas potret Kampung Naga di Desa Neglasari , Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasik Malaya (Ja-Bar). Jumlah penduduknya
hanya 383 jiwa atau sekitar sepersepuluh dari seluruh penduduk
Desa Neglasari. Namun semuanya dikenal kuat memegang tradisi.
Itu tak berarti mereka menolak pengaruh luar sama
sekali--sepanjang dianggap tidak merusak adat.
Di sana ada, misalnya, lapangan bulutangkis, masjid dan sebuah
museum, Bumi Ageung (rumah besar), tempa menyimpan benda,
peninggalan kuno. Di beberapa rumah juga nampak radio dan
televisi--walaupun listrik belum masuk. Penerangan rumah masih
menggunakan lampu tempel atau petromaks.
Gadis-gadisnya ayu: berkulit kuning langsat, dan hampir semuanya
berambut hitam panjang teurai. Dan sudah pada mengenakan rok
warna-warni pula. Tapi tanpa gincu dan cat bibir. Para pemudanya
dilarang berambut gondrong, harus berbaju kurung dan menyandang
sarung ke mana pun pergi.
Dalam hal pendidikan, orang Naga tak jauh beda dari penduduk
kampung lain Ada yang sudah tamat STM dan kini bekerja di Dinas
PJ Tasikmalaya. Ia adalah anak Sutija, 48 tahun, sesepuh yang
biasa memimpin upacara adat. Setiap 27 Muharam masih ada upacara
yang disebut sasihan. Sedang pada setiap 12 Maulud mereka
membersihkan sisa benda-benda keramat, baik yang tersimpan di
Bumi Ageung maupun yang masih dimiliki secara pribadi. Benda
pusaka tersebut dibawa dalam bakul beralas daun pisang Di bawah
daun pisang ada beras.
Menurut Ahmad Badil, Kepala Binawisata Tasikmalaya, sejarah
kampung ini tertulis dalam lembaran-lembaran daun lontar kuno
dalam bahasa Sanskerta. Namun menurut Sutija, pada 1920 buku
tersebut pernah dipinjam oleh seorang pembesar dari Jakarta
(ketika itu Batavia), tapi kemudian hanya duplikatnya yang
dikembalikan.
"Mungkin buku kuno itu masih ada di museum di Jakarta atau di
Negeri Belanda," ujar Sutija lagi Dan yang duplikat itu pun
musnah 1956, ketika gerombolan Di Kartosuwiryo membakar Kampung
Naga. Meski begitu beberapa sesepuh kampung, termasuk Sutija
sendiri, konon masih hal-hal urutan sejarah kampungnya.
Cuma untuk mngungkapkannya kembali, tanpa berdasarkan lontar
tersebut, dianggap tabu. "Itu merupakan pelanggaran terhadap
karuhun," tambah Sutija Karuhun adalah cikal-bakal alias pendiri
Kampung Naga yang juga disebut Sembah Dalem Singaparana.
Mereka juga pantang menebang kayu di hutan sekeliling kampung.
Dan kepercayaan itu sampai kini tak pernah dilanggar. Itulah
sebabnya Kampung Naga selalu hijau. Penduduk umumnya hidup dari
bertani, selain membuat anyaman dari bambu.
"Gotong-royong di sini kuat sekali," kata Ada Kanda, kepala
desanya. Bertani maupun mendirikan rumah, dilakukan
gotong-royong. Mereka begitu percaya pada kemampuan diri sendiri
-sampai-sampai bantuan pemerintah pun ditolak.
Pemda Tasikmalaya pernah hendak membantu Rp 15 juta untuk
perbaikan kampung. Ditolak. "Sebab kami anggal perbaikan itu
justru akan merusak adat," kata Sutija. Bantuan Dinas Museum dan
Kepurbakalaan, Rp 22 juta, untuk memugar rumah-rumah kuno juga
tidak diterima. "Rumah-rumah kami masih kuat," ujar mereka.
Orang asing diam-diam nongol ke sana Dalam buku tamu di rumah
Sutija tercantum beberapa nama turis dari AS Jerman, Swedia,
Belanda, Malaysia, Singapura, Jepang dan Filipina. Kebanyakan
mereka itu peneliti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini