OOM Pasikom dan Keong bersama yang lain-lain sepakat melepaskan
diri dari harian Kompas dan Sinar Harapan, untuk bersama
nampang di Galeri Baru, Taman Ismail Marzuki. Selama 7
hari--terakhir Selasa pekan ini--kedua tokoh kartun dari dua
harian terkemuka di Indonesia itu banyak mengundanK perhatian
khalayak.
Sekitar 140 karya karikatur G.M. Sudarta dan Pramono, sebagian
besar mclnang cerita lama, artinya telah pernah nongol di harian
masing-masing antara tahun 1970-80. Maklum, kalau kemudian Si
Oom atau Si Keong sudah agak melempem raganya kini. Karikatur,
goresan yang menggambarkan orang atau peristiwa secara
berlebihan, agaknya senasib dengan berita. Daya sentaknya pendek
umur.
Tapi tak berarti sebuah karikatur dengan sendirinya tak bisa
dikenang dengan segar. Kadar kesegaran karikatur erat berkait
dengan masalahnya. Sebuah karikatur tentang Menteri Ristek
(Riset dan Teknologi) Habibi oleh Pramono, misalnya, bisa
berumur lumayan panjang. Apalagi deskripsi wajah Habibi kena
betul. Paling tidak selama Habibi masih menjadi Menteri Ristek,
gambar orang berwajah bulat sedang mengisi bensin ethanol ke
mobil-mobilannya itu akan tetap segar.
Sejarah karikatur, kata orang, erat bergandeng dengan sejarah
cara satu klas yang lain dalam masyarakat. Tapi karikatur yang
baik biasanya yang datang dari klas yang di bawah ditujukan
kepada yang di atas. Semakin tinggi jabatan yang menjadi sasaran
karikatur, seolah semakin gampang populer karikatur itu. Tapi
dengan risiko di Galeri Baru ini misalnya, bisa ditemukan gambar
PM Uni Soviet Brezhnev sedang menyiangi umput Afghanistan,
!tapi Sudarta maupun Pram tak ada membuat karikatur yang
menggigit tentang pemimpin Indonesia sendiri.
Tentu saja kita tahu apa sebabnya. Pernah seorang karih aturis
profesional dari sebuah negara Eropa Timur bercerita: di Amerika
Serikat seorang karikaturis ibarat berjalan meniti tambang yang
kuat. Bila mereka jatuh pun telah ada jaring penyelarnat di
bawahnya. Tapi di Eropa Timur ia seperti meniti pada sehelai
benang. Dan kalau jatuh, itu berarti tutup riwayat.
Mungkin karena itulah Sudarta, 38 tahun, dari Kompas mesti
membuat karikatur sejak 1969, baru beberapa tahun belakangan ini
bisa bekerja lancar. "Saya dulu sering ditolak editor. Susah
untuk menyesuaikan karikatur saya dengan gaya Kompas, " katanya
ia mengaku tak pernah mendapat teguran dari pihak manapun. Cuma,
sehabis peristiwa 15 Januari 1974, ketika sejumlah koran
dibreidel, hampir setahun penuh, Kompas terbit tanpa karikatur.
Waktu itu media massa memang mendapat pengawasan istimewa.
Mungkin karena takut, tak secuil ide pun muncul di kepala
saya," tutur Darta mengingat masa lalu. Setelah itu Oom Pasikom
biasa muncul di Sabtu, sementara hari-hari lain kadang-kadang
muncul satu karikatur tentang masalah internasional.
Tak sebaik nasib Darta, Pramono, 38 tahun, lebih sering ditolak
karikaturnya oleh editor di Sinar Harapan. "Kalau kurang lucu
mesti ditolak," kata Pram, lulusan Sekolah Tinggi Senirupa
Indonesia Asri, Yogya itu. Dan karikaturnya beberapa kali kena
tegur dari pemerintah.
Membandingkan karya kedua mereka ini, Darta terasa lebih halus,
baik dalam ide maupun garis. Kritiknya seringkali kabur. Yang
menonjol kemudian keartistikan gambar. Tentang tingginya
rekening listrik, misalnya, Pram langsung menggambar orang yang
kena setrum rekening listrik dengan latar bidang gambar hitam
sepenuhnya. Sementara Darta menggambar orang terkena setrum
karena orang itu menyentuh instalasi listrik. Meski di tangannya
ada juga selembar kertas bertuliskan rekening.
Memang, tak selamanya yang halus berarti kurang menjotos.
Tentang perdamaian Presiden Mesir dan PM Israel Darta bisa
sangat lucu dan tajam. Kedua tokoh itu masing-masing melepas
merpati perdamaian Cuma, merpati Begin diikat benang pada
kakinya, sementara guung benang yang lain diikat pada empat
jari tangannya.
Jelas karikatur tidak netral. Ia memihak. Ia mewakili sikap dan
pandangan pembuatnya. Namun dalam memihak pun ada bedanya.
Karikatur yang membela yang tak berkuasa biasanya terasa hidup.
Sebaliknya, karikatur yang membela penguasa dan mengritik mereka
yang di bawah bisa terasa sewenang-wenang -- khususnya di
negara-negara yang tak mempunyai golongan oposisi yang kuat.
Sebab karikatur bersikap mencemooh, dan merupakan sesuatu yang
berlebihan bila si kuat mencemooh si lemah.
Kecuali isi kritiknya, karikatur itu sendiri berupa suatu
penunjuk, bahwa yang di atas pun manusia biasa, yang bisa pula
mencang-mencong.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini