AUSTRALIA konon pembuat film cerita pertama, Soldier of the
Cross. Joseph Perry membuatnya untuk Bala Keselamatan tahun
1899. Industri film negeri itu pun berkembang dalam tahun
1930-an. Tapi kemudian padam. Baru tahun 1970-an mereka bangkit
kembali.
Suatu badan pemerintah, yang kini bernama Australian Film
Commision, banyak sekali mendorong perkembangan industri ini.
Buktinya ialah sejak 1970 hampir 100 film telah dihasilkan
negara kanguru itu, dibanding hanya sekitar 370 dalam enam
dasawarsa sebelumnya. Badan resmi itu semula bertolak dengan
modal A$ 1 juta (Rp 1,5 juta) dalam kegiatannya. Berkat
bantuannya produksi Australia kini disegani dunia industri film.
Sidang para produser film Asia dan Pasifik --salah satu acara
Festival Film Asia di Yogyakarta dan Denpasar awal Juli ini --
menetapkan Australia sebagai tempat sekretariat tetap Federasi
Produser Film Asia dan Pasifik. Konon sejumlah produser film
beberapa negara Asia merasa was-was: Australia akan mendapat
kesempatan merebut pasaran di Asia.
Kekhawatiran itu memang beralasan. Dengan Komisi Film tersebut,
bagaikan loncatan seekor kanguru, film Australia bahkan mampu
menerobos ke Amerika Serikat--pasaran film terbesar yang sangat
menguntungkan. Memang belum banyak, bila dibandingkan dengan
jumlah film Amerika yang masuk ke Australia.
Australia sendiri merupakan pasaran terbesar bagi film Amerika
setelah di ,merika sendiri dan Prancis. Dalam scrahun sekitar
A$ 50 juta (Rp 75 milyar) uang orang Australia terkumpul di
gedung bioskop seluruh Australia. Melihat bcsar belanja bioskop
itu, para produser Australia sendiri berpendapat semestinya film
Australia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Caranya:
film Australia harus diberi prioritas pertama untuk dilihat
orang Australia sendiri.
Peter Weir, Fred Schepisi, Brian Trenchard-Smith. Bruce
Beresford, Henry Safran dan Karl Schultz -- semua itu sutradara
Australia yang berhasil. Terutama Peter Weir, yang melahirkan
film laris Picnic at Hanging Rock (1975), telah dipuji karena
menyuguhkan tema dan gambar yang kuat bau Australianya Putaran
pertama 1975. Film itu mengalahkan dunia film box office,
Chinatown dan Godfatber 2, yang kebetulan juga sedang diputar
di Australia.
Tiga tahun kemudian, 1978, ketika picnic diputar di Pekan Film
Australia di Taman Ismail Marzuki, Peter Weir (ketika masih
berusia 34 tahun) baru saja menyelesaikan The Last Wave.
Langsung saja distributor film Amerika, United Artists,
membeli hak edarnya.
Seperti bisa dilihat dalam Pekan Film Australia II (Juni lalu)
di TIM, film tersebut memang menyuguhkan tema yang jarang
digarap. Sleorang advokat yang mencoba membea beberapa aborigin
(pribumi) yang dituduh membunuh, menghadapi hal yang rumit.
Ternyata itu adalah pembunuhan adat. Kaum Aborigin saja boleh
mengetahui mengapa dan bagaimana cara membunuhnya. Akhirnya,
advokat itu menemui ajalnya karena ia berusaha mengetahui
pembunuhan secara adat itu. David Burton, nama adokat itu,
ketika berada di pinggir lalu tiba-tiba seperti melihat
gelombang pasang setinggi gunung menuju ke arahnya. Ia tak
sempat lari. Dan film The Last Wave pun selesai.
Film Peter Weir mengingatkan gaya Michelangelo Antonioni dengan
The Passengernya -- telah beredar di sini dan tak laku. Bdanya:
sesuatu yang misterius mengeni kematian sang tokoh dalam film
Antonioni tetap tak menunjukkan satu indikasi pun, sedang dalam
film Peter Weir indikasi itu jelas. Yaitu sisa-sisa kekuatan
sihir kaum aborigin --kalau anda percaya ini.
Tak berarti kebangkitan film Australia sedasawarsa terakhir
ini tanpa problem. Beberapa pengamat film Australia sendiri
berpendapat bahwa "terlalu banyak film Australia dibuat kini,
tapi hanya empat atau lima saja yang bagus."
Barangkali kebijaksanaan resmi Australia pertama-tama memang
begitu. Komisinya prioritaskan pengembangan kualitas film
sebagai industri daripada sebagai film seni." Tapi bagi
sutradara berbakat, mungkin itu tak penting, seperti dibuktikan
oleh Peter Weir, dan Henri Safran, sutradara Storm Boy (1977),
yang konon putaran pertamanya mengalahkan film laris King Kong.
Hollywood
Perpajakan film mendapat keringanan di Australia. Dengan
keringanan pajak itu, seorang investor akan kembali mendapatkan
modalnya dalam waktu dua tahun. Itu suatu dorongan luar biaa.
Konon sebelum ada-keringanan pajak, modal itu baru bisa kembali
setelah lebih 10 tahun.
Tapi Australia terdorong menjual filmnya ke luar, menurut
seorang produser di sana, karena ongkos produksi naik, dan sulit
dalam waktu singkat mengumpulkan keuntungan hanya dari dalam
negeri serldiri Dan ternyata dari sejumlah film yang tiap tahun
ditawarkan di Festival Film Cannes, duatiga mesti laku. Bahkan
tak hanya negeri berbahasa Inggris saja kini tertarik film
Australia. Tahun 1977, Storm Boy pun dibeli Jepang. Sebuah film
kanak-kanak yang lain, film kartun Dot and the Kangaroo,
tahun itu pula di Cannes upcsan 14 negara Eropa dan Amerika.
Salah satu kunci sukses itu, menurut aktor Michael Pate, film
Australia kini benar-benar bergaya Australia tapi bertema
universal. Tak begitu jelas yang dimaksud si Pate--aktor yang
kembali ke negerinya dari Hollywood, karena melihat prospek
cerah industri film Australia. Adapun contohnya, memang jelas
Picnic at Hanging Rock, The last Wave atau Storm Boy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini