DI hotel mewah Arya Duta, pertengahan September ini, sebuah
spanduk terbentang bertuliskan Seminar on Computer Assisted
Cartografi. Seminar itu membahas bagaimana teknologi pembuatan
peta (kartografi) bisa ditingkatkan dengan bantuan teknologi
komputer. Diselenggarakan sebagai kerjasama antara BAKOSURTANAL
(Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) dan ICA
(International Cartographic Association).
Pemetaan lingkungan sejak dulu amat penting bagi manusia.
Terutama dalam menetapkan lokasi dirinya terhadap berbagai
sumber daya alam seperti sumber air, ladang yang subur, lokasi
pemukiman lain. Kepentingan ini makin terasa dengan perkembangan
peradaban manusia. Jumlah penduduk yang padat mendesak memenuhi
permukaan bumi, sumber daya alam yang semakin langka, semua
menuntut inventarisasi kekayaan dan potensi yang teliti. Hingga
dibutuhkan peta khusus dalam jumlah banyak yang setiap saat
menunjukkan informasi paling mutakhir.
Dari abad ke abad kartografi berkembang seirama dengan seni
grafis lainnya. Tapi sifatnya yang khas membuatnya bahkan sampai
abad ke-20 masih merupakan suatu teknologi yang lebih banyak
dikendalikan rasa seni dan cekatan tangan seseorang ketimbang
proses produksi yang efisien dan obyektif. Di Indonesia malah
belum lama ditinggalkan teknologi mencetak peta dengan batu
litho, serta beralih pada mesin cetak offset. Dalam prinsip ini
tidak berbeda tapi dalam jangkauan teknologi cukup jauh.
Ekspor Pengetahuan
Keadaan inilah yang membuat para ahli kartografi mengarahkan
perhatiannya kepada otomatisasi. Iklim ini sangat dibantu oleh
kemajuan yang pesat di bidang elektronika dan terdapatnya
komputer digital yang amat cepat, terutama sejak tahun 60-an.
Baru 16 tahun lalu peralatan pemetaan otomatis pertama
diperkenalkan David Bickmore dan Ray Boyle dari Experimental
Cartographic Unit di London, pada kesempatan konperensi ICA di
kota itu. Prof. Dr. F.J. Ormeling, Ketua Umum ICA menyebut bahwa
sejak saat itu berlangsung perkembangan otomatisasi yang pesat
di bidang kartografi. "Di berbagai negeri bantuan komputer dalam
proses produksi peta menjadi prosedur yang lazim," tegasnya.
Sejak 1976, ICA memutuskan untuk menempuh sikap agresif
menghadapi negara "dunia keriga". Daripada menunggu minat mereka
menghadiri berbagai konperensi yang diselenggarakan ICA,
diputuskan mereka untuk mengekspor "Pengetahuan Barat" dalam
bentuk seminar. Tahun 1978 forum pertama semacam itu diadakan di
Nairobi, Kenya. Sukses dari konsepsi itu cukup meyakinkan dan
untuk kesempatan berikutnya sudah tiga negara menawarkan diri
sebagai penyelenggara. Termasuh Indonesia, yang kemudian
terpilih sebagai penyelenggara seminar yang kedua "Tidak
mengherankan bila Indonesia sebagai negara yang berada di ambang
pintu era baru di bidang kartografi, menunjukkan perhatian yang
sangat mendalam," ujar Prof. Ormeling.
Sejak tahun lalu proses pembuatan peta di BAKOSURTANAL sudah
dibantu dengan komputer dalam berbagai tahap proses pembuatan
peta dan pengolahan data. Terutama dalam pengolahan data yang
diperoleh dari foto udara dan satelit. Tapi dalam hal ini masih
sangat perlu menukar pengalaman, dengan pemakai di seluruh
dunia. Bahkan problematik yang dihadapi Indonesia masih cukup
banyak.
Berbagai segi problematik ini dikemukakan Letjen Ir. Pranoto
Asmoro, Kepala BAKOSURTANAL dalam kata sambutannya.
Kebijaksanaan pemerintah sebetulnya untuk merangsang teknologi
padat karya, sedang otomatisasi biasanya merupakan teknologi
padat modal. Seolah-olah terdapat kontradiksi bila sebuah badan
instansi pem-rintah seperti BAKOSURTANAL mempromosikan
penggunaan teknologi padat modal. Tapi agaknya bagi kartografi
dalam hal ini tidak ada jalan lain.
"Hal ini sehubungan dengan Program Nasional Inventarisasi dan
Evaluasi Sumber Daya Alam," jelas Pranoto Asmoro. Pelaksallaan
program ini adalah tugas BAKOSURTANAL bersama beberapa instansi
pemerintah lainnya. Bagian pemetaan topografi dari program ini
harus selesai dalam jangka waktu dua atau tiga Repelita dan
mencakup penyediaan peta dasar yang baru.
Antusias
Data untuk ini tidak bisa diperoleh dari yang sudah ada,
melainkan harus digali langsung melalui survei, pengukuran dan
berbagai penghitungan. Untuk mcncapai sasaran waktu itu dan
sekaligus memenuhi syarat ketelitian yang tinggi, tidak ada
jalan lain kecuali mengintroduksikan metode dan teknologi tinggi
serta padat modal seperti penggunaan teknologi komputer.
Kepincangan akibat menggunakan teknologi padat modal tertebus
oleh kenyataan tersedianya peta-peta yang sangat teliti pada
saatnya dibutuhkan dengan data yang sedini mungkin. Ini menurut
Pranoto Asmoro memungkinkan inventarisasi sumber daya alam vang
memang sangat dibutuhkan dalam perencanaan manajemen dan
pengembangan sumber daya alam itu. Khususnva untuk proyek padat
karya seperti transmigrasi, ekstensifikasi pertanian dan
penghutanan kembali.
Seminar ini dipimpin oleh Prof. Ir. Luke van Zuylen dari ICA
berlangsung lancar dan menarik. Berbagai ahli pembuat peta
mengemukakan pengalaman mereka menggunakan komputer dalam proses
pembuatan peta. Tapi dalam kata penutupannya Luke van Zuylen
juga mengingatkan bahwa teknologi dan metodenya baru dan
kontroversial. "Satu waktu para penceramah menyatakan dengan
antusias bahwa teknologi itu bisa berbuat segalanya, lain kali
mereka mengatakan bahwa metode itu lebih mahal dan memakan waktu
lebih banyak," ujarnya.
Satu segi yang menarik yang dikemukakan dalam seminar ini adalah
berbagai cara dan metode pendidikan dan penataran yang ditempuh
di berbagai negeri dalam soal komputerisasi pembuaran peta. Di
Negeri Belanda, misalnya, terdapat suatu lembaga kartografi
bernama International Tehnical Centre (ITC). Pada lembaga ini
kini belajar sekitar 15 mahasiswa Indonesia. Lulusan selama ini
sudah lebih 100 orang yang sekarang bekerja di berbagai instansi
pemerintah, terutama di BAKORSURTANAL.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini