UNTUK mereka yang kelebihan kolesterol kini ada "penawar" alternatif: minyak dedak - yang diproduksikan dari limbah pemrosesan padi. Dalam loka karya regional industri prosesing padi diJakarta, dua pekan lalu, perkara minyak dedak ini muncul sebagai topik menarik di antara makalah yang disampaikan utusan 16 negara, termasuk Indonesia. Loka karya itu sendiri diorganisasikar lembaga pangan dan pertanian dunia (FAO), Departemen Pertanian, Departemen Koperasi, dan Bulog. Adalah Wang Ruiyuan, direktur Biro Industri Minyak dan Biji-Bijian, Departemen Perdagangan RRC, yang mengkaji pemanfaatan limbah itu di Negeri Cina. "Sejak awal 1970-an kami menggalakkan industri minyak dedak secara nasional," kata Wang kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO. Pada tahun-tahun terakhir ini, produksi minyak dedak mereka mencapai 7 ribu--80 ribu ton per tahun. Selain kandungan nutrisinya Yang tinggi, minyak dedak disimpulkan efektif mengurangi kadar kolesterol di dalam darah. Dalam hal ini, "Minyak dedak bahkan lebih unggul dari minyak sayur dan minyak hewan lainnya," Wang menambahkan. Sebagai penghasil beras nomor tiga di dunia, setiap tahun Cina harus memanfaatkan lebih dari 1,5 juta ton dedak. Ada tiga metode yang mereka gunakan untuk mencapai hasil akhir. Yang pertama adalah metode peras hidraulik, yang biaya produksi per unitnya paling rendah, dan karena itu menghasilkan 80% minyak dedak negeri tersebut. Sisanya, yang 20%, menempuh metode expeller dan ekstraksi. Dari segi rendemen, ekstraksi memberikan hasil terbesar, dengan sekitar 16% rendemen. Artinya, dari 100 kg dedak, diperoleh 16 kg minyak. Dari pengolahan bahan limbah ini, ternyata, keluar pula limbah lain yang masih bisa dimanfaatkan. Yaitu bubuk dedak dan limbah yang dinamakan soap stock. Bubuk dedak bisa diolah menjadi minuman keras, phytin (bahan aktif untuk obat neuritis), gula maltosa, dan inosinol. Adapun soap stock diolah menjadi fatty acid (asam lemak), oryzanol (bahan obat penenang), dan sitisterol (bahan obat bengek dan bronkhitis). Tetapi untuk mengolah dedak menjadi minyak, "Teknologi saja tidak cukup," kata Wang. Dibutuhkan penataan sistem kerja agar hasil yang diperoleh menguntungkan secara ekonomis. Terutama, instalasi produksi minyak itu harus berhampiran dengan penggilingan padi. Hal ini dibenarkan Hadi K. Purwadaria, dosen Fakultas Teknologi Pertanian IPB, yang di dalam loka karya membacakan makalahnya tentang program riset pemrosesan padi di Indonesia. "Dedak harus diproses dalam waktu 72 jam," kata Hadi kepada Toriq Hadad dari TEMPO. Kalau tidak, kadar asamnya akan terus meningkat sehingga, pada batas tertentu, dedak itu tidak bisa dipakai. Dengan kata lain, kilang minyak tadi memang harus berdampingan dengan penggilingan. Berbeda dengan di RRC, tempat seluruh penggilingan padi dikuasai pemerintah, di sini penggilingan itu terpencar dalam ukuran menengah ke bawah, sehingga menimbulkan masalah transportasi. Sampai sejauh ini, Cina baru mengekspor minyak dedaknya ke Jepang. "Bukan hanya minyak, tapi bahan bakunya pun kami beli dari mereka," kata Tatsuo Tani, direktur eksekutif Asosiasi Penggilingan Padi Jepang, yang menghadiri loka karya. Kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO, Tani mengungkapkan, "Di Jepang sendiri, riset minyak dedak dimulai di Tsukuba (kini kota ilmu pengetahuan), sekitar 40 tahun silam." Dengan bahan baku impor - 9,5 ribu ton dari AS dan 5 ribu ton dari RRC setiap tahun - Jepang kini memproduksikan hampir 100 ribu ton minyak dedak per tahun. Dari produksi padi domestiknya, negeri itu mendapat sekitar 500 ribu ton dedak setiap tahun. Lebih maju dari RRC, Jepang juga mengolah dedak untuk bahan cat, bahan lilin dan sabun, bahkan bahan konstruksi jalan. Di bidang pangan, Jepang mengolah dedak menjadi bahan permen dan manisan, bahan margarine, serta bahan mayonnaise. Di Jepang kini terdapat 44 pabrik yang terlibat dalam industri minyak dedak. Dari jumlah itu, 11 pabrik menggunakan metode ekstraksi, sisanya memilih cara peras. Kebutuhan yang terus meningkat setiap tahun membuat negeri itu belum berpikir untuk mengekspor minyak dedaknya. Manfaat apa yang ditarik Indonesia dari loka karya ini? "Ya, sudah saatnya kita melakukan studi kelayakan," kata Chrisman Silitonga, kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Bulog, yang mengetuai panitia pelaksana loka karya. Apalagi, menurut perkiraan, tahun ini saja kita bakal mendapat sekitar 2,4 juta ton dedak dan bekatul. Berdasarkan penelitian, susunan kimia dedak Indonesia tidak kalah dengan dedak para tetangga. Paling tidak, dedak kita mengandung protein 9,8%-15,4%, lemak 7,7%-22,4%, ekstrak bebas nitroks 34,2%-46,1%, pentosan 8,7%-11,4%, selulosa 5%-12,3%, dan H2O 8,4%-14,7%. Abu dan serat kasar, masing-masing 7,1%-20,6% dan 5,7%-20,9%. Kandungan minyak pada dedak kita rata-rata sama dengan pada kedelai. Tambahan pula, di Indonesia sendiri, tepatnya di Karawang, Jawa Barat, pernah didirikan industri minyak dedak, akhir 1960-an. Bahkan, ketika itu dua kilang minyak dedak bekerja di kawasan "gudang beras" tersebut. Pabrik pertama bekerja sama dengan pemerintah Jerman Barat, sedangkan pabrik kedua merupakan "hibah" pemerintah Jepang, sebagai bagian dan pampasan perang. "Entah bagaimana, tidak terdengar lagi kelanjutan pabrik itu," kata Chrisman Silitonga. "Ditutup pada 1970," ujar Hadi K. Purwadaria. Kesulitannya, diperkirakan, ya kesinambungan bahan baku dan faktor lokasi penggilingan yang berserakan. Karena itu, tampaknya, dari loka karya ini Indonesia lebih memusatkan perhatian pada diversifikasi penggunaan beras. "Kita juga belum menghimpun data, ke mana semua dedak kita terserap selama ini," kata Chrisman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini