Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Apa yang menyebabkan seorang penyandang tunanetra sepertinya memiliki pendengaran yang lebih baik? Rahasianya ada pada kemampuan memproses informasi sensorik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita merasakan sensasi suara ketika getaran dari suara masuk ke dalam telinga kita dan menyebabkan sel-sel rambut dalam telinga kita bergerak bolak-balik. Sel-sel rambut itu mengubah gerakan ini jadi sinyal listrik yang diteruskan ke otak.
Kemampuan seseorang untuk mendengar sangat tergantung pada seberapa utuh sel-sel rambut ini. Ketika sel-sel ini hilang, mereka tidak tumbuh kembali. Ini berlaku bagi semua orang, termasuk orang tunanetra. Jadi secara fisik, orang buta tampaknya kemampuan mendengarnya tidak di atas orang yang dapat melihat.
Namun orang tunanetra sering mengungguli orang yang dapat melihat dalam tugas pendengaran, misalnya dalam menemukan sumber suara. Hal ini bukan disebabkan organ sensorik, tapi pada proses informasi sensorik di otak.
Kita mengalami persepsi ketika otak menafsirkan sinyal yang diberikan oleh organ indra kita, dan berbagai bagian otak merespons informasi yang datang dari organ indra yang berbeda. Ada area yang memproses informasi visual (korteks visual) dan area yang memproses informasi suara (korteks auditori). Tetapi ketika indra seperti penglihatan hilang, otak melakukan suatu hal yang luar biasa: otak mengatur ulang fungsi-fungsi area tersebut.
Pada orang tunanetra, korteks visual menjadi sedikit “bosan” tanpa adanya input visual dan mulai menyusun kembali dirinya sendiri sehingga menjadi lebih responsif terhadap informasi dari indra lain yang tersisa. Jadi, meski orang tunanetra mungkin telah kehilangan penglihatan mereka, hal ini menyisakan kapasitas otak yang lebih besar untuk memproses informasi dari indra lain.
Tingkat reorganisasi dalam otak tergantung pada waktu ketika seseorang kehilangan penglihatan mereka. Otak dapat mengatur ulang dirinya sendiri di setiap titik dalam kehidupan, termasuk dewasa, tetapi selama masa kanak-kanak, otak lebih mampu beradaptasi dengan perubahan. Ini karena selama masa kanak-kanak, otak masih berkembang dan reorganisasi otak yang baru tidak harus bersaing dengan yang sudah ada. Akibatnya, orang yang kehilangan penglihatan sejak usia sangat dini menunjukkan tingkat reorganisasi yang jauh lebih besar di otaknya.
Orang-orang yang menjadi tunanetra sejak kecil cenderung mengungguli orang-orang yang dapat melihat dan yang menjadi buta setelah dewasa, dalam tugas persepsi yang mengandalkan pendengaran dan sentuhan.
Ekolokasi
Reorganisasi dalam otak juga berarti bahwa orang tunanetra kadang-kadang dapat belajar bagaimana menggunakan indra mereka yang tersisa dengan cara-cara yang menarik. Sebagai contoh, beberapa orang tunanetra belajar untuk merasakan lokasi dan ukuran objek di sekitar mereka menggunakan ekolokasi atau menggunakan gelombang suara untuk menentukan lokasi suatu objek di sekitarnya.
Dengan menghasilkan decakan dengan mulut mereka dan mendengarkan gema yang muncul, orang tunanetra dapat menemukan objek di sekitar mereka. Kemampuan ini terkait erat dengan aktivitas otak di korteks visual. Faktanya, korteks visual pada ekolokator orang tunanetra merespons informasi suara dengan cara yang hampir sama dengan informasi visual pada penglihatan. Dengan kata lain, pada ekolokator orang buta, fungsi pendengaran sebagian besar telah menggantikan fungsi penglihatan di otak.
Namun tidak setiap orang tunanetra secara otomatis menjadi ahli ekolokasi. Pengembangan keterampilan seperti ekolokasi bergantung pada waktu yang dihabiskan untuk mempelajari tugas ini–bahkan orang yang melihat dapat mempelajari keterampilan ini dengan pelatihan yang cukup, tetapi orang-orang tunanetra mungkin akan mendapat manfaat dari otak mereka yang lebih diatur kembali untuk lebih peka pada indra selain penglihatan.
Orang tunanetra akan lebih mengandalkan indra mereka yang tersisa untuk melakukan tugas sehari-hari, yang berarti mereka melatih indra mereka yang tersisa setiap harinya. Pengaturan ulang otak, disertai dengan pengalaman lebih dalam menggunakan indra mereka yang tersisa, diyakini sebagai faktor penting yang membuat orang tunanetra memiliki keunggulan dalam hal pendengaran dan sentuhan dibandingkan dengan orang yang dapat melihat.