Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dikutip dari Antara News, pada hari Senin, 22 Agustus 2022 kemarin gempa dengan kekuatan magnitudo 5,8 sempat mengguncang Pulau Bali dan Lombok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walaupun sudah dikonfirmasi oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG bahwa gempa Bali dan Lombok tersebut tidak berpotensi menimbulkan tsunami, masyarakat setempat dan peserta kegiatan G20 sempat dikabarkan panik dan berhamburan keluar dari ruangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, bagaimana sebenarnya para ilmuwan mampu mengetahui kekuatan guncangan gempa dan memprediksikan pergerakan lempeng bumi?
Seismograf, Alat Pengukur Kekuatan Gempa
Dikutip dari Britannica, para ilmuwan menggunakan alat bernama seismograf untuk mendeteksi dan mencatat gelombang gempa bumi.
Secara teknis, alat tersebut memiliki dua bagian, yaitu pendeteksi gerakan tanah atau seismometer dan alat perekaman. Seismometer akan merasakan dan mengukur gelombang pergerakan tanah, sedangkan alat perekaman akan mencatatkan rekam pergerakan tanah dalam waktu tertentu.
Dikutip dari laman resmi BMKG, hasil catatan dari seismograf biasanya dibaca menggunakan skala tertentu, yaitu Magnitudo. Dulu, BMKG masih menggunakan Skala Richter yang dikembangkan oleh peneliti Charles F. Richter untuk membaca kekuatan gempa.
Namun, sejak 2008, BMKG beralih menggunakan skala Magnitudo untuk menggambarkan kekuatan gempa yang sedang terjadi.
Sejarah Singkat Penemuan Seismograf
Sebelum secanggih saat ini, melansir laman Britannica, seismograf pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh insinyur asal Tiongkok bernama Zhang Heng dari Dinasti Han pada kisaran tahun 132 Masehi.
Waktu itu, Heng membuat alat seismograf dengan memanfaatkan guci dari perunggu besar yang dilengkapi dengan delapan kepala naga menghadap ke arah mata angin. Setiap kepala negara dimasuki bola pada bagian mulutnya.
Sementara itu, di bawah guci, terdapat patung katak dengan jumlah yang sama dan posisi mulut terbuka tepat di bawah masing-masing naga.
Konsepnya adalah ketika gempa bumi terjadi, bola-bola dari mulut naga akan terlepas sebab adanya guncangan dan bola-bola tersebut akan ditangkap oleh mulut katak dan menghasilkan suara peringatan.
Secara teknis, seismograf buatan Zhang Heng tidak mampu mengukur kekuatan gempa ataupun memprediksi peristiwa gempa bumi sebab alat bereaksi setelah gempa terjadi. Akan tetapi, pada masa tersebut, alat ini tergolong canggih karena dapat menunjukkan asal titik gempa berdasarkan delapan kepala naga sesuai arah mata angin.
Di era modern, alat seismograf telah dikembangkan dengan memanfaatkan prinsip-prinsip elektromagnetik dan perkembangan teknologi digital. Terkini, seismograf modern mampu menghitung dan memprediksi pergerakan tanah yang tidak biasa sehingga potensi bencana lanjutan dari gempa bumi, seperti tsunamu, dapat diantisipasi lebih awal.
ACHMAD HANIF IMADUDDIN
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.