Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI separuh baya itu berdiri di tengah jalan. Badannya basah penuh peluh ketika siang itu matahari memanggang kota. Ia banyak memberi instruksi kepada orang-orang yang sedang bekerja mengaspal jalan. Sepintas, ia seperti mandor pengaspalan jalan. Tapi bukan. Bambang Prasetya seorang profesor. Lelaki itu terbang jauh dari Jakarta menuju Balikpapan hanya untuk mengaspal secuil jalan, cuma enam meter.
Tiba-tiba sebuah truk tronton membelah jalan, menyelonong tanpa klakson. Para pekerja di jalan itu kaget dan sempat menyelamatkan diri ke pinggir jalan. Kejadian itu membuat Kepala Pusat Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu kesal. Ia khawatir, aspal panas yang baru terhampar tiga meter itu rusak karena dilindas tronton. Maklum, aspal itu fresh from the oven dan belum berumur sehari. Apalagi, sebelumnya jalanan tersebut dibanjiri air yang bocor dari salah satu pipa Pertamina. ”Untunglah, semuanya tak apa-apa,” kata Bambang lega.
Hari itu adalah hari istimewa buat Bambang. Pada sepotong jalan di kawasan Unit Pengolahan V Pertamina Balikpapan, Kalimantan Timur, ia sedang menjajal resep baru adonan aspal. Ramuan itu berbeda dengan aspal campuran panas atau aspal hotmix yang biasa ada di kota-kota. Aspal temuan Bambang memiliki keistimewaan, karena terbuat dari lumpur minyak (oil sludge) yang selama ini selalu menjadi momok di industri perminyakan.
”Jenis lumpur ini masuk dalam kategori limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) karena banyak mengandung logam berat,” katanya. Lumpur minyak itu memiliki sifat asam yang tinggi. Tapi, berkat kepiawaian Bambang, limbah itu dapat disulap menjadi bahan baku aspal campuran panas yang ramah lingkungan. Hasilnya, jalan sepanjang 250 meter pun terbentang pada pertengahan Desember lalu. Lebarnya 5 meter, tebalnya 4 sentimeter.
Lumpur minyak tersebut selama ini selalu merepotkan industri perminyakan. Limbah ini dihasilkan saat penyulingan berlangsung. Lumpur dengan kandungan aneka logam berat ikut tersedot saat minyak dipompa ke permukaan bumi. Kejadian ini persis seperti lumpur yang ada di bak mandi ketika air sumur disedot. Berbentuk seperti pasta berwarna hitam, lumpur minyak itu biasa ditimbun di dalam kolam-kolam penampungan, bahkan dibiarkan menumpuk bertahun-tahun. Sedangkan biaya pengolahannya tak murah, bisa mencapai US$ 1 juta (sekitar Rp 9,3 miliar) per tahun.
Bila dibiarkan, limbah ini berbahaya karena sifat asam lumpur tersebut bisa menyebabkan korosi pada permukaan tanah dan bisa merembes ke mana-mana. Sayangnya, belum ada satu pun pengolahan yang bisa memanfaatkan limbah berbahaya itu menjadi produk lain.
Bambang, yang saat itu masih bernaung di Fisika Terapan LIPI, tergerak untuk memecahkan kebuntuan persoalan limbah itu. Sejak 2002, doktor lulusan Universitas Gottingen, Jerman, ini melakukan berbagai penelitian. Ia pun memutuskan mengolah lumpur minyak menjadi bahan baku aspal hotmix.
Kebetulan, saat studi di Jerman, Bambang banyak meneliti bahan-bahan kimia yang diekstraksi dari berbagai tanaman. Hasil ekstraksi itu digunakannya untuk mengikat logam berat. Pengalaman itulah yang menjadi inspirasi untuk menaklukkan logam berat yang ada di dalam lumpur minyak dan membuat lumpur itu punya daya rekat sekuat aspal asli.
Bambang pun membuat bahan pengikat dari beberapa tanaman. Karena masih dalam proses pengajuan paten, Bambang belum mau menyebutkan jenis tanaman yang dimaksud. Yang pasti, ”jamu” bikinan Bambang ini di laboratorium bisa mengikat logam berat setelah campuran itu dipanaskan pada suhu 100 sampai 150 derajat Celsius dan reaksinya ditunggu selama 30 menit hingga satu jam. Untuk uji tersebut, Bambang memboyong lumpur minyak dari kilang minyak Pertamina di Balongan, Jawa Tengah.
Ramuan itu cukup cespleng. Logam berat yang bisa diikat kadarnya cukup tinggi. Tapi, untuk meningkatkan daya rekat, Bambang menambahi campuran tersebut dengan bahan lain. ”Bisa dengan plastik bekas,” katanya.
Untuk penelitian ini, Bambang mencampur lumpur minyak yang bersih dari logam berat itu dengan bongkahan tanah dan batu yang berasal dari areal pertambangan di Pulau Buton. Seluruh bahan itu dicampur dengan pasir. Hasilnya, sampel aspal kecil berukuran 30 x 30 x 5 sentimeter terbentuk.
Untuk menganalisis sampel-sampel tersebut, Bambang bekerja sama dengan Purwadi Kasino Putro. Peneliti asal Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) itu bertugas menguji seluruh sampel aspal yang dibuat Bambang. Pengujian dilakukan di Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Gunanya untuk melihat apakah aspal ini ramah lingkungan saat terguyur hujan atau air asam.
Hasilnya? Ternyata, ”Kadar racun logam berat melorot drastis, jauh dari ambang batas yang ditetapkan,” kata Purwadi. Hasil ini membuat duet Bambang dan Purwadi yakin akan penemuan mereka. Tapi mereka sadar, aspal dengan bumbu ”jamu” tumbuh-tumbuhan itu harus dibuktikan di lapangan. Presentasi pun dilakukan ke kalangan industri perminyakan.
Gayung bersambut. November 2005, mereka diminta menguji aspal baru ini di kawasan kilang minyak Pertamina di Balikpapan. Duet peneliti itu diminta mengatasi lumpur minyak sebanyak 5.100 ton yang ada di sana. Sebagai tahap awal, Bambang dan Purwadi memboyong bahan kimia hasil ekstraksi sebanyak 3 ton. Bongkahan tanah dari Pulau Buton sebanyak 25 ton juga dikirim. Dua komponen tersebut, yang dicampur dengan pasir dan batu kerikil, dipakai untuk mengolah 60 ton lumpur minyak. Hasilnya, ya, jalan sepanjang 250 meter tadi.
Untuk membuktikan bahwa aspal itu tak merusak lingkungan, Purwadi membawa secuil aspal ke Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan KLH. ”Hasilnya, logam berat yang ada pada limbah terserap oleh bahan pengikat hingga 90 persen,” ucapnya. Bahkan, pengujian yang selesai awal Januari itu menunjukkan ada logam berat yang kandungan racunnya hanya satu per seribu dari batas ambang yang diizinkan. Contohnya merkuri dan perak.
Pengujian di lapangan juga menggembirakan. ”Kualitasnya hampir sama dengan jalan umumnya,” kata Nanang Sofal Jamil, Kepala Bagian Lindungan Lingkungan UP V Pertamina Balikpapan. Bahkan jalan aspal itu tak mengalami masalah, meski dilalui berbagai kendaraan berat yang bobotnya mencapai 15 hingga 150 ton.
Pertamina Balikpapan tentu saja merasa puas. Apalagi, izin untuk meneruskan pengolahan lumpur minyak itu sudah dikantongi dari Kementerian Lingkungan Hidup. ”Izin itu keluar dua pekan lalu,” kata Nanang. Dari sisi biaya, teknologi pengolahan ini jauh lebih irit ketimbang metode pengolahan lumpur minyak lainnya.
Karena itu, mulai Februari nanti Pertamina Balikpapan akan meningkatkan kapasitas pengolahan lumpur minyak, dari lima ton per hari menjadi 20 hingga 25 ton per hari. Semua itu untuk mengubah wajah lumpur minyak menjadi aspal campuran panas. Tak aneh bila Pertamina Balongan dan Cilacap mulai melirik teknologi ini.
Ketertarikan serupa, menurut Nanang, diperlihatkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Balikpapan. ”Mereka siap memakai lumpur minyak dalam proyek-proyeknya,” katanya. Bahkan, pihak Kementerian Lingkungan Hidup mengusulkan agar Pertamina Balikpapan membuat jalan dari lumpur minyak sepanjang enam kilometer. Jalan yang akan dibangun di luar kawasan kilang itu nantinya diperuntukkan bagi pemerintah daerah setempat. Pembangunannya direncanakan tahun ini.
Wahyu Marjaka, Kepala Bidang Pertambangan Batu Bara dan Mineral KLH, membenarkan rencana itu. ”Penelitian ini prospektif,” katanya. Karena itu, menurut dia, KLH mendukung penelitian ini agar limbah berbahaya tersebut dapat diolah seaman mungkin, dan dapat menjadi sumber baru yang bermanfaat.
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo