BANYAK bencana alam, menurut para ahli, sebenarnya bisa diramalkan jauh hari sebelum terjadi. Rentetan musibah yang terjadi dua tahun lalu: musim kering terburuk dalam abad ini di Australia, banjir bandang di Equador dan Peru, serta kekeringan hebat di India, semua diduga bersumber dari perubahan cuaca di daerah khatulistiwa. Persisnya hal ini diakibatkan oleh ulah El Nino - gejala menghangatnya suhu samudra di daerah tropis, yang berulang setiap tiga hingga lima tahun sekali. Dalam tata iklim dunia, perubahan digerakkan dari daerah khatulistiwa. Kehangatan samudra di wilayah ini menghasilkan uap air, dan kemudian bercampur dengan uap rimba tropis yang panas, sehingga menjadi sumber energi pergerakan iklim bumi. Karena itu, untuk dapat meramalkan sifat iklim yang akan datang, pengetahuan tentang mekanisme interaksi antara air dan udara di wilayah ini harus dikuasai. Bagaimana terjadinya pemindahan panas dan kelembapan, bagaimana hubungan antara arus laut dan angin, merupakan sebagian pertanyaan yang harus dijawab para ahli sebelum meramal iklim yang akan terjadi. Celakanya, mereka kekurangan data. Stasiun pemantau cuaca yang terdapat di daerah antara 30 derajat Lintang Utara dan 30 derajat Lintang Selatan kurang memadai jumlahnya. Terutama di daerah samudra. Maklum, wilayah ini mencakup lebih dari sepertiga bumi. Dalam kasus inilah penggunaan satelit jadi terasa efektif. Apalagi teknologi telah menghasilkan instrumen yang mampu merekam data dengan dimensi yang memungkinkan untuk dipanggul satelit. Instrumen itu adalah: scatterometer, altimeter, dan radiometer. Scatterometer digunakan untuk mengukur kecepatan dan arah angin di permukaan laut dengan cara mengukur intensitas cahaya yang dipantulkan riak gelombang. Pada saat yang sama, radiometer mengukur suhu permukaan laut, dan altimeter mengukur perbedaan tinggi permukaan untuk mengetahui arah arus. Diharapkan terkumpul data yang memadai untuk meramalkan keadaan iklim suatu daerah untuk 30 hingga 90 hari kemudian. Ini sangat bermanfaat dalam menentukan jenis tanaman apa yang, antara lain, akan ditanam petani agar sukses maupun mempersiapkan penduduk suatu daerah yang akan terkena bencana. Agaknya manfaat inilah yang menyebabkan Badan Ruang Angkasa AS (NASA), Angkatan Laut Amerika, dan pemerintah Eropa Barat berniat meluncurkan beberapa satelit cuaca mutakhir mulai 1989. Bahkan untuk melengkapinya, akan dibangun pula beberapa stasiun pemantau di beberapa pulau maupun yang terapung pada beberapa buoy. Soalnya, para ahli meteorologi dan oseanografi lebih suka memanfaatkan teknologi dirgantara daripada stasiun di darat. "Dari ketinggian Anda bisa melihat struktur arus secara menyeluruh. Tak ada cara lain untuk melakukannya," kata Robert W. Reeve, ahli meteorologi yang terlibat dalam proyek ini. Tak heran jika sebuah penelitian lain di bidang iklim tropis juga menggunakan cara yang sama. Para ahli dari pusat penelitian NASA di Langley, misalnya, menggunakan pesawat terbang dalam proyek mereka. Pesawat ini dilengkapi dengan instrumen pemancar dan penerima laser yang canggih. Berkas sinar laser yang ditembakkan ke bawah akan dipantulkan oleh partikel yang terdapat di udara. Peralatan di pesawat segera mengukur laser yang dipantulkan dan menerjemahkannya menjadi besaran fisik partikel itu dan ketinggiannya. Jika awan partikel cukup besar, maka pesawat diarahkan menembusnya hingga peralatan yang terdapat pada pesawat dapat menangkap sebagian dari partikel untuk dianalisa lebih mendalam. "Kita ingin mengetahui apakah ada senyawa kimia tertentu yang berasal dari lingkungan hutan tropis yang mempengaruhi reaksi kimia iklim bumi," kata Robert C. Harriss, direktur senior proyek Global Tropospheric Experiment NASA. Proyek 10 tahun ini, yang dimulai sejak 1983, sudah dicoba di Brasil. Dari ketinggian 9 hingga 11 km, udara di atas hutan Brasil diambil sebagai contoh, termasuk dari lokasi yang telah mengalami penebangan parah. Berdasarkan data yang terkumpul, kini sebuah teori sedang dikembangkan. "Kita berharap dapat meramalkan apa akibat penggundulan hutan terhadap iklim," kata Harriss. Bukan itu saja yang diteliti di Brasil. Bekerja sama dengan badan angkasa luar Brasil, Instituto Nacional de Pesquisas Espaciais, penelitian tentang reaksi antara gas alamiah dan gas akibat pencemaran buatan manusia juga dilakukan. Salah satu hasil yang ditemukan adalah gas alamiah yang penting, hydroxyl, yang mampu membersihkan udara dari pencemaran yang ternyata semakin berkurang saja tanpa diketahui sebabnya. Harriss berharap proyeknya juga dapat memecahkan misteri ini. Di Indonesia, para ahli juga sudah menyadari pentingnya mempelajari peri laku iklim tropis. Karena itu, Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional (Lapan) sedang menjajaki kemungkinan memiliki satelit TERS. Kelebihan satelit ini, yang direncanakan dibuat bekerja sama dengan Belanda, adalah lingkaran orbitnya yang mengikuti garis khatulistiwa. Karena itu, akan memberikan data paling lengkap tentang wilayah tropis. Sayangnya, keadaan resesi saat ini membuat realisasi TERS mungkin akan tertunda, karena harganya sekitar Rp 350 milyar. Bambang Harymurti Laporan New York Times Service
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini