APAKAH petani kita, khususnya petani padi, semakin kaya atau semakin miskin dibandingkan masa sebelum Pelita atau sebelum "Revolusi Hijau"? Jawabnya, pasti, "petani yang mana?" Petani padi bukanlah kelompok homogen penanam komoditi perdagangan yang ditujukan terutama untuk pasar. Padi adalah tanaman subsisten, yang terutama untuk dikonsumsi sendiri. Berbeda dengan tanaman komersial seperti tebu, cengkih, atau kopi, padi tidak pernah menjadikan produsennya kaya atau miskin. Demikian, bila ada petani padi yang tampak bertambah makmur, sumber kemakmurannya biasanya bukan dari padinya, tetapi dari tanaman-tanaman lain yang komersial dan disebut tanaman "jantan" atau dari usaha-usaha ekonomi lain di luar pertanian padi, misalnya pengusahaan huller, usaha transpor, atau usaha-usaha perdagangan. Walaupun, memang, pada saat tercapainya keadaan swasembada pangan dewasa ini, terutama swasembada beras, tidak ada petani yang semakin miskin dengan melimpahnya produksi - baik petani besar, sedang, maupun gurem. Sesungguhnyalah kisah petani padi bukan sejarah yang serba menyenangkan. Pada periode awal Kemerdekaan, pemerintah yang "serba miskin" meminta "pengorbanan" mereka untuk bersedia menjual padi kepada pemerintah dengan harga lebih murah dari harga pasar, rata-rata 20% di bawahnya. Sehingga hakikatnya ia merupakan semacam pajak. Jumlah padi yang wajib dijual kepada pemerintah ini meliputi kira-kira 10% produksi total suatu daerah. Berbagai macam perangsang diadakan misalnya penjualan tekstil murah kepada petani agar pengorbanan tidak dirasakan terlalu berat. Toh aneka cara tetap dilakukan petani agar "kerugian"-nya tidak terlalu besar. Akibatnya, target pembelian padi pemerintah selalu tidak tercapai. Kebijaksanaan wajib jual padi ini akhirnya dihapuskan pada 1964. Pemerintah Orde Baru bertekad mengatasi masalah kekurangan beras. Mula-mula dengan mengimpor sebanyak yang diperlukan, melalui hibah maupun kredit jangka panjang. Selanjutnya dengan mengusahakan peningkatan produksi dalam negeri. Secara kebetulan, melalui IRRI di Filipina, ditemukan padi jenis unggul IR-5 dan IR-8 - yang di Indonesia disebut PB (Peta Baru) 5 dan PB 8. Kedua jenis bibit padi "ajaib" inilah yang amat membantu sukses awal Pelita I (1969-1974), yang sering juga oleh para pengamat disebut "Pelita Beras". Hasilnya tampak sekali. Kalau sebelum Pelita (1960-1969) produksi beras naik hanya rata-rata 2% per tahun, lebih rendah dari pertumbuhan penduduk, maka selama Pelita I naik lebih dari dua kali lipat yaitu 4,7% per tahun kemudian 3,6% selama Pelita II dan 6% selama Pelita III. Laju kenaikan yang amat tinggi selama Pelita III inilah yang telah mengantarkan Indonesia ke tingkat swasembada. Tetapi peningkatan produksi yang amat mengesankan sampai ke tingkat swasembada itu tidak berarti bahwa petani padi menemui "zaman keemasan". Sebabnya jelas: secara makro, kenaikan produksi atau kenaikan persediaan beras akan diikuti penurunan harga, baik relatif maupun, seperti pada 1985 dan periode 1968-1970, absolut. Menanggapi fenomena naik turunnya harga seperti ini, para petani cukup luwes: mengganti tanaman padi dengan tanaman-tanaman lain yang lebih menguntungkan, seperti tebu, jeruk, tembakau, atau sayur-sayuran. Tetapi tidak berarti, petani meninggalkan tanaman padinya sama sekali. Mereka selalu berusaha menanam sebanyak yang diperlukan untuk konsumsinya sekeluarga. Hampir tidak pernah petani memilih membeli beras di pasar bebas. Sebagian besar petani padi kita adalah petani kecil dan petani gurem - yang tidak bisa hidup semata-mata dari bertani padi. Di daerah berpengairan cukup baik pun rata-rata pendapatan petani dari tanaman padi hanya 37%, dan bagi petani gurem yang menguasai tanah kurang dari 0,25 ha hanya 15% dari pendapatan total. Selebihnya adalah dari berburuh tani (37%), bakulan (17%), dan sumber lain. Bahkan bagi petani "besar" yang menguasai tanah lebih dari 0,5 ha, sumber pendapatan dari padi hanya 59%. Demikian bisa disimpulkan bahwa keberhasilan dan kegagalan tanaman padi tidaklah menjadikan petani Indonesia semakin kaya atau semakin miskin. Petani padi bukan petani monokultur seperti petani kopra atau cengkih di Sulawesi Utara atau petani karet di Jambi dan Kalimantan Barat, dan Indonesia tidak akan mempunyai petani padi yang monokultur. Petani hidup dari makan beras, tetapi tidak akan hidup semata-mata dengan bertanam padi. Lebih-lebih tidak mungkin menjadi kaya hanya dari menanam padi. Pencapaian keadaan swasembada beras yang melegakan dan sekaligus membanggakan kita sebagai bangsa memang amat menenteramkan. Tetapi seandainya kita boleh mengelompokkan bangsa kita menjadi tiga kelompok saja - petani produsen padi, petani bukan produsen padi, termasuk buruh tani, dan konsumen - maka urut-urutan "rasa ketenteraman" yang ditimbulkan adalah, berturut-turut: konsumen, petani nonprodusen, dan baru petani padi. Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga dasar gabah tahun ini berarti bahwa sama sekali tidak berbahaya menghapuskan sementara perangsang harga bagi produsen padi. Memang akan ada pengaruh negatif bagi kegairahan petani padi. Namun, penurunan kegairahan ini tidak diharapkan menurunkan produksi padi secara drastis. Yang akan terjadi, seperti biasa, adalah pergeseran atau substitusi dari tanaman padi ke tanaman-tanaman nonpadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini