Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tim

Dalam sajak yang dibacakan rendra, setiap orang menemukan pengalamannya sendiri. victor shklovsky menilai puisi menghidupkan perasaan kita. teater indonesia, puisi umumnya, tidak dipelihara penguasa.(ctp)

16 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENDRA membaca sajak, dan orang datang mendengarkannya. Apa sebenarnya sebuah sajak untuk Anda, apa arti puisi? Sebuah pernyataan politik? Sebuah pertunjukan? Sebuah kejadian aneh, semacam tontonan tukang sulap ketika kita kecil? Ada seorang penata tari yang menciptakan sebuah tarian bernama Cabang Musim Gugur. Koreografi itu dipertunjukkannya ke banyak kota di dunia. Yang menarik ialah tafsiran para penontonnya. Di Swedia mereka mengatakan bahwa di pentas itu tengah disajikan sebuah kisah kerusuhan rasial. Di Jerman orang menyangka lain lagi: sebuah lukisan tentang sebuah kamp konsentrasi. Di London: kota-kota yang dihujani bom. Di Tokyo: kehancuran Hiroshima. "Tentu," kata penari itu tentang pelbagai tafsiran yang berbeda-beda itu. "tarian itu mengenai semua hal yang dikatakan tadi dan tak mengenai satu pun dari hal-hal itu. Saya tak pernah mengalami apa yang mereka alami, dan tiap orang menarik kesimpulan dari pengalamannya sendiri. Yang saya bikin hanya sekadar sebuah tarian, yang bercerita tentang tubuh-tubuh yang jatuh." Rendra membaca sajak, dan orang menemukan di dalamnya pengalaman masing-masing yang sering tak kita ketahui. Ada yang datang untuk mendengarkan sebuah statemen yang menggemparkan - tanpa peduli apakah statemen yang menggemparkan itu statemen yang benar. Ada pula yang datang karena keinginan yang lumrah: mengalami sesuatu yang terlarang atau setengah terlarang. Kita toh tahu, meskipun sering lupa, salah satu cara terbaik membuat seorang penyair jadi hal yang dicari-cari ialah dengan membuatnya tabu. Tapi mungkin ada juga yang datang bukan untuk melihat Rendra. Bukan untuk menyaksikan sebuah tontonan yang mudah-mudahan seru dan kemudian harus disetop. Bukan untuk sebuah peristiwa politik, atau sebuah penghormatan bagi seorang pemberani. Mungkin ada yang datang karena ini sebuah pembacaan sajak yang bagus dengan kata lain, untuk mendengarkan puisi itu sendiri. Kita memang jarang bertanya, apa sebenarnya sebuah sajak untuk diri kita, apa arti puisi. Tak mudah memang buat menjawabnya. Tapi saya pernah mendengarkan orang membaca petilan-petilan Gitanjali karya Rabindranath Tagore, dan sajak kerinduan Amir Hamzah pada Tuhan, dan puisi Chairil Anwar yang dimulai dengan kalimat termasyhur itu: "Cemara menderai sampai jauh/Kurasa bari jadi akan malam...." Saya tak tahu, masih adakah sekarang orang yang gemar mendengarkan itu lagi, dan mencoba mengulanginya sendiri diam-diam. Bila tidak ada, betapa rugi. Sebab, mereka tak akan pernah mengalami sebuah dunia pengalaman yang menggetarkan - yang mungkin tak akan membuat kita jadi lebih pintar atau hebat, tapi yang bisa mengukuhkan ikatan batin kita kembali dengan hidup. Puisi bukanlah rangkaian kata-kata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi adalah persentuhan, antara kita dan dunia di luar, antara kita dan kegaiban yang besar, antara kita dan kita sebuah kontak yang, dalam kata-kata seorang penyair, "sederhana, seperti nyanyi." Seorang tokoh sastra Rusia awal abad ini - sebelum realisme-sosialis membungkamnya - mengatakan sesuatu yang saya kira penting tentang puisi. Lebih luas lagi, tentang kesenian. Seni, katanya, mengatasi efek yang mematikan, yang timbul ketika kita hanya merambat dari satu kebiasaan ke kebiasaan lain. "Kebiasaan," kata orang Rusia itu, Victor Shklovsky, "mengganyang obyek-obyek, perabot-perabot, istri kita, dan rasa takut kita akan perang." Senilah yang membantu menghidupkan perasaan kita yang telah terganyang. Ia melawan kebiasaan. Tak heran, bila dari sini datang hal-hal yang aneh, hal-hal yang baru. Tak heran, bila dari kalangan ini - seperti halnya dari Taman Ismail Marzuki - muncul banyak perkara yang tak selamanya mudah dipahami orang banyak. Memang, para seniman tak jarang tampak hanya mau aneh, mau baru, mau kontroversial, dengan ego yang menggelembung mirip punuk planetarium. Tapi yang aneh-aneh itu hanyalah satu babakan, dari suatu proses. Proses itu bisa menghasilkan hal-hal yang menakjubkan. Mari kita ingat apa yang pernah bangun dari Taman Ismail Marzuki. Di sana Rendra memainkan karya-karya klasik Yunani kuno dalam seni peran Indonesia yang tak kalah indahnya dengan yang disaksikan orang di New York. Dari sana Arifin C. Noer menuliskan cerita sandiwaranya, yang dipentaskan orang sampai ke Stockholm. Dan di TIM itu pula Sardono W. Kusumo merintis koreografinya, Dongeng Dari Dirah, yang di Paris disambut para kritikus dari puji ke puji. Kini semua itu tentu sudah tak ada lagi. Teater Indonesia, puisi pada umumnya, memang tak pernah dipelihara para pengusaha dan pejabat seperti halnya sepak bola yang kalah melulu itu. Teater dan puisi sebuah bangsa bisa menyebabkan bangsa itu dikenang lebih horrnat dan lebih lama - tapi ia butuh syarat. Syarat itu ialah kemerdekaan. Saya tak yakin adakah kita benar bisa menyediakannya. Goenawan Mohamad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus