Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Misteri Glung dari Bumi Mataram

Sudah dua bulan penduduk Bantul dihantui bunyi aneh yang disusul gempa. Mereka mengira Bantul bakal ambles.

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH malam yang tak terlupakan. Dalam kesenyapan malam, tiba-tiba datang suara misterius mengguncang. Glung! Bunyinya terdengar hingga ke seluruh pojok kampung dan membuat Desa Srihardono yang tengah terlelap itu terkesiap. Kampung itu bergetar sejenak. Penduduk setempat kaget, tapi kemudian akhirnya mereka memilih menenangkan diri sendiri di tempat tidur.

Namun, bunyi-bunyi aneh itu datang lagi, malah jadi ”santapan” sehari-hari. Kadang-kadang bunyi itu muncul pada pagi hari atau siang hari, seperti yang terjadi Kamis dua pekan lalu. ”Tiba-tiba muncul suara glung, lalu bumi bergetar,” kata Ngadiyo, warga Desa Srihardono, Bantul, Yogyakarta.

Suara glung itu juga terdengar di De-sa Karangtengah, Kecamatan Imogi-ri, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Desa Srihardono. ”Suaranya se-perti seember penuh air yang jatuh ke sumur,” kata seorang guru SMP berusia 38 tahun. Setelah itu, terdengarlah suara bumi bergemeretak seperti suara orang yang sedang meregangkan badan.

Penduduk bertanya-tanya: Apakah bunyi itu pertanda akan ada lagi gempa besar? Apakah bunyi glung itu menunjukkan adanya rongga besar di bawah bumi Bantul setelah gempa menghajar akhir Mei lalu? Apakah Bantul akan ambles? Bahkan ada yang mengaitkan hal ini dengan dunia mistik: poros Kerajaan Nyi Roro Kidul-Keraton Yogyakarta-Gunung Merapi sedang gundah.

Beribu pertanyaan dan kecemasan terlontar. Tapi nihil jawaban. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Yogyakarta hanya mencatat, Kamis pukul 7.52 WIB itu, saat ada gempa kecil datang bersama suara glung, kekuatan gempa tercatat 3,2 skala Richter.

Untuk menyibak misteri suara aneh itu, Universitas Gadjah Mada mener-jun-kan ahli geologi, geofisika, dan teknik sipil ke Bantul. Ikut serta dalam tim ini, ahli dari BMG Yogyakarta. Dari penelitian sementara, mereka menyimpulkan tiga kemungkinan penyebab suara glung.

Pertama, adanya rongga-rongga pada batuan gamping. ”Jika terjadi getaran seperti gempa, akan ada resonansi di dalam rongga sehingga menimbulkan suara seperti itu,” kata Kepala Laboratorium Geologi dan Tata Lingkungan UGM, Profesor Dwikorita Karnawati.

Kedua, karena posisi rongga-rongga itu ada di bawah permukaan air tanah, rongga itu terisi sedimen, air, dan gas-gas masa lampau. Bunyi glung diduga muncul akibat gempa yang mengguncang sehingga gas yang ada di dalam rongga ikut terlepas.

Kemungkinan ketiga, suara glung dan gemuruh disebabkan blok-blok batuan ber-geser mencari keseimbangan baru. Saat terjadi gempa 27 Mei lalu, gempa mem-buat patahan-patahan mikro di keda-laman hingga lebih dari 20 kilometer. Blok-blok batuan yang ada di atas lem-peng juga ikut berubah posisi. Blok itu berusaha mencari kestabilan sehingga menimbulkan suara gemeretak dan ka-dang suara glung karena adanya rongga tadi.

Namun, ada penjelasan lain dari Irwan Meilano, doktor geofisika dari Universitas Nagoya. Menurut Irwan, saat gempa mengguncang, terjadi pelepasan energi dalam bentuk gelombang yang frekuensinya menyebar ke semua arah. Saat itu biasanya ada gelombang P. Ini gelombang dengan laju 6 sampai 13 kilometer per detik. Gelombang P, atau disebut juga gelombang kompresi, akan menekan dan mengembangkan materi pada arah penjalarannya. Gelombang ini memiliki sifat yang sama dengan gelombang suara.

Dalam gempa, biasanya juga ada ge-lombang S. Ini gelombang frekuensi rendah yang kecepatannya 3,5 sampai 7,5 kilometer per detik. Gelombang ini bergerak maju-mundur, turun-naik tegak lurus terhadap arah penjalarannya. Gelombang permukaan baru muncul sesudah gelombang P dan S datang.

Menurut Irwan, suara yang terde-ngar di Bantul dihasilkan oleh frekuensi tinggi dari gelombang P. Apabila sumber gempa terletak sangat dekat dan sangat dangkal, gelombang P yang datang akan menggetarkan permukaan tanah dalam frekuensi tinggi. Karena amplitudo-nya kecil, mungkin warga tidak merasakan getarannya, tetapi udara yang ada di sekitar akan mengalami kompresi-dekompresi sehingga menghasilkan sua-ra. Getaran baru terasa beberapa saat kemudian saat gelombang S datang.

Kata Irwan, itulah sebabnya warga Bantul mendengar suara glung dulu, baru kemudian merasakan getaran gempa. Perbedaan waktu antara datangnya gelombang suara dan getaran itu dapat digunakan untuk mengukur jarak ke sumber gempa. Sebagai contoh, bila beda waktu antara terdengar dan terasa 1,5 detik, maka 1,5 detik x 8 kilometer/detik (perbedaan rata-rata kecepat-an gelombang P dan S) = 12 km. Maka, sumber gempa kurang-lebih berjarak 12 kilometer dari mereka berdiri.

Menurut Irwan, gempa yang kini masih tersisa di Bantul adalah gempa-gempa susulan. Ia memperkirakan jumlah gempa susulan itu makin lama akan semakin sedikit, kekuatannya juga mengecil, dan akhirnya hilang.

Enam hari setelah gempa mengguncang Yogyakarta, Irwan sempat me-ngunjungi Kota Gudeg. Dia berhasil merekam gelombang gempa pada 8 Juni 2006 pukul 02:35 di Gunung Kidul.

Dengan menggunakan jaringan digital seismometer, Irwan menemukan juga rentetan gempa kecil dengan magnitudo 0,6 hingga 2,5 pada kedalaman 3 sampai 10 kilometer, yang terkonsentrasi pada daerah selatan Bantul sepanjang 20 kilometer. Beberapa gempa yang direkam memiliki frekuensi gelombang P lebih besar dari 30 Hz. ”Sangat mungkin ge-lombang ini menghasilkan suara yang terdengar langsung tanpa mengguna-kan alat bantu,” kata dosen ITB itu.

Menurut Irwan, bunyi aneh di daerah gempa bukan hanya dialami daerah Bantul. Penduduk Alaska, Amerika Serikat, yang tinggal dekat dengar sesar Denali, hampir setiap tahun mendengar suara getaran gelombang P, yaitu suara seperti benda jatuh atau kereta datang, sebelum mereka merasakan getaran gempa. Penduduk Kota Carolina Selatan, Amerika Serikat, juga sering mendengar suara letusan diikuti dengan suara kereta cepat sebelum merasakan getaran gempa bumi.

”Saya pun pernah mendengar suara yang sama saat survei gempa bumi di se-kitar pegunungan Ontake, Jepang, pa-da Oktober 2003,” ujar Irwan. Jadi, bu-nyi glung di Bantul bukanlah fenome-na khas Yogyakarta dan tidak ada kaitannya dengan hal mistik di Bumi Mataram.

Untung Widyanto, Ari Aji H.S., Syaiful Amin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus