ANDA orang Jawa? Dengarkan pendapat Pradjarto D.S. yang menulis
makalah Vanasi Orientasi Nilai Buda)a Jawa (Tengah) bersama
Ariel Heryanto di depan seminar Persepsi Masyarakat Tentang
Kebudayaan di Widya Graha, Jakarta. Penyelenggara seminar (13-15
September) itu adalah LRKN (Lembaga Research Kebudayaan
Nasional), yang bersama Leknas (Lembaga Ekonomi dan
Kemasyarakatan Nasional) LIPI, akan membuat rumusan mengenai
strategi pembangunan kebudayaan.
Makalah lain, yaitu tentang suku Batak di Kota Pematangsiantar,
telah ditulis oleh B.A. Simanjuntak dari IKIP Medan. Pandangan
orang Batak Toba tentang hamoraorf (kekayaan), hagabeon
(banyaknya keturunan) dan hasangapon (kehormatan, "sikap
progresivitas mereka yang menunang pembangunan masih bergerak
ambat," kata Simanjuntak. Artinya masih di atas skor dasar
(62.5) untuk kategorisasi statis.
Kesimpulannya itu ditarik berdasarkan 300 sampel lewat kerangka
acuan kuesioner dari kelompok sosial tertentu (pelajar, pegawai,
pedagang dan buruh). Dan seperti juga penelitian (Jawa) di
Salatiga, usia responden Batak berkisar 18-35 tahun. Tentang
sikap tradisional, Simanjuntak berkesimpulan "masih ada,
meskipun ada gejala bergerak mendekati sikap modern."
Kedatangan suku Batak Toba di Pematangsiantar dimulai tahun
1907, ketika perkebunan dibuka. Memang sifat eksklusif Batak
Toba telah pudar karena banyaknya suku lain, tetapi dalam
integritas sosialnya, suku Batak Toba di sana cukup menonjol.
Misalnya bahasa Batak Toba dipakai sebagai bahasa pengantar
kedua setelah bahasa Indonesia.
Selanjutnya, dari perbandingan beberapa hal yang sama
berdasarkan teori Kluckhohn dan Mahol (ahli
antropologi-kultural), kedua suku tersebut mempunyai beberapa
perbedaan. Bukan berarti keduanya tidak merpunyai persamaan.
Misalnya pandangan mereka terhadap hakikat hidup.
Bagi orang Batak Toba ada folklore yang bertema ketuhanan. Di
Debata na diginjang do, suhat ni hita jolma--demikian salah satu
folklore bahasa tutur bebas. Artinya pada Tuhan yang Maha
Tinggi, terletak nasib kita manusia.
Sedangkan bagi orang Jawa, Pradjarto berkesimpulan bahwa pasrah
kepada Tuhan adalah sikap penghayatan religius orang Jawa.
"Tetapi pasrah bukan berarti sikap nrimo yang negatif,"
kilahnya. Lebih dalam lagi tentang hakikat hidup ini, orang Jawa
sering berpendapat bahwa "hidup itu sesingkat orang yang mampir
minum." Jadi kesejahteraan yang sejati tercapai dalam kehidupan
yang abadi, nanti sesudah kematian.
Sedangkan sikap kedua suku tentang dimensi waktu, sama. Di Batak
ada sebutan tinatap tu jolo tinailihon tu pudi yaitu menatap ke
depan dan juga melihat ke belakang. Orang Jawa bahkan menghayati
hidup ini dalam 3 dimensi waktu. Masa lampau menghidupi masa
kini, bersama apa yang bakal terjadi.
Dalam hal orang Jawa dan Batak sebagai makhluk sosial, orang
Jawa tampaknya lebih ruwet, atau kalau memakai istilah
Pradjarto, "condong ke statis. " Orang Jawa akan cepat menilai
si A itu ora njawani (tidak Jawa) kalau tingkah lakunya dianggap
murang tata (tidak sopan). Untuk menilai seseorang, orang Jawa
biasanya melihat bobot, bibit, bebet (status, asal-usul,
kekayaan). Dalam hubungan vertikal, bawahan sebaiknya tidak
melawan atasannya secara langsung, apalagi terbuka. Sebab selain
ora njawani, percuma seperti halnya orang yang memandang
matahari (kaya mandeng srengenge). Apalagi kalau bawahan itu
lebih muda usia. Akibatnya nanti sellerti cengkir ketindhihan
kiring, pentil kelapa yang hancur luluh tertimpa kelapa tua.
Sayang, Simanjuntak kurang melukiskan hubungan kolateral dari
orang Batak secara terperinci. Cuma dalam tematema folklore
Batak Toba banyak diungkapkan tentang hubungan tolong menolong,
hubungan kompetitif (bagi mereka yang sederajat). Dalam hubungan
vertikal, ada semacam sukarela patuh (patuh paksaan). Tetapi
pandangan mereka tentang raja adalah wakil Tuhan di dulia, dan
segala tingkah raja harus diikuti dan diteladani. Sedangkan
pandangan orang Batak Toba tentang orang non-Batak cukup baik
(skor 70).
Metode penelitian kedua makalah tersebut bersandarkan pada
metode kualitatif dan kuantitatif. Sembilan makalah lainnya
dalam seminar tersebut cenderung mengajukan berbagai teori atau
pandangan pribadi tentan persepsi kebudayaan.
Ketua Steering Commitee dan juga Ketua Koordinator penelitian
suku, Proi Koentjaraningrat menandaskan bahwa yang dimaksud
"variasi nilai budaya adalah mentalitas. Diakuinya, penelitiau
yang pertama kali di Indonesia (dan oleh orang Indonesia) ini
masih lemah datanya, meskipun bukan berarti bias. Misalnya dalam
integrasi data folklore, data kualitatif dicampur dengan data
kuantitatif. Mengkaitkan keduanya demikian kritik beberapa
peserta seminar--berbahaya.
Koentjaraningrat mengakui hal itu, bahkan peranan fantasi dan
intuisi digabungkan dalam menginterpretasi data, terutama dalam
indikator folklore. Sedangkan sistem skoring yang hanya sekedar
soal teknis, tidak menjadi soal benar. "Tetapi saya berjanji
akan mencar, konsultan statistik yang lebih ulung," kata
Koentjaraningrat, untuk penelitian lebih lanjut nanti.
Memang penelitian tipe ini baru pertama kali diadakan. Sampel
yang ditarik masih kecil jumlahnya dan instrumen statistiknya
juga masih sederhana. "Kami tertubruk dalam masalah uang," kata
Koentjaraningrat lagi, "tapi dropping baru sudah ada sekarang."
Menurut rencana, tahapan penelitian yang lebih sinkron dan
mendalam akan dilanjutkan. Untuk sementara ini, batu tiga suku
Jawa, Batak dan Minangkabau. Suku lain akan menyusul.
"Khususnya, akan diarahkan ke mentalitas metropolitan," kata
Koentjaraningrat lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini