Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Orang Jawa Dan Batak

Nilai budaya tradisional masih kuat. lewat kerangka acuan kuesioner, riset telah dilakukan bagi batak toba dan jawa tengah. merupakan makalah dari pradjarto d.s dan b.a simanjuntak. (ilt)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA orang Jawa? Dengarkan pendapat Pradjarto D.S. yang menulis makalah Vanasi Orientasi Nilai Buda)a Jawa (Tengah) bersama Ariel Heryanto di depan seminar Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan di Widya Graha, Jakarta. Penyelenggara seminar (13-15 September) itu adalah LRKN (Lembaga Research Kebudayaan Nasional), yang bersama Leknas (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional) LIPI, akan membuat rumusan mengenai strategi pembangunan kebudayaan. Makalah lain, yaitu tentang suku Batak di Kota Pematangsiantar, telah ditulis oleh B.A. Simanjuntak dari IKIP Medan. Pandangan orang Batak Toba tentang hamoraorf (kekayaan), hagabeon (banyaknya keturunan) dan hasangapon (kehormatan, "sikap progresivitas mereka yang menunang pembangunan masih bergerak ambat," kata Simanjuntak. Artinya masih di atas skor dasar (62.5) untuk kategorisasi statis. Kesimpulannya itu ditarik berdasarkan 300 sampel lewat kerangka acuan kuesioner dari kelompok sosial tertentu (pelajar, pegawai, pedagang dan buruh). Dan seperti juga penelitian (Jawa) di Salatiga, usia responden Batak berkisar 18-35 tahun. Tentang sikap tradisional, Simanjuntak berkesimpulan "masih ada, meskipun ada gejala bergerak mendekati sikap modern." Kedatangan suku Batak Toba di Pematangsiantar dimulai tahun 1907, ketika perkebunan dibuka. Memang sifat eksklusif Batak Toba telah pudar karena banyaknya suku lain, tetapi dalam integritas sosialnya, suku Batak Toba di sana cukup menonjol. Misalnya bahasa Batak Toba dipakai sebagai bahasa pengantar kedua setelah bahasa Indonesia. Selanjutnya, dari perbandingan beberapa hal yang sama berdasarkan teori Kluckhohn dan Mahol (ahli antropologi-kultural), kedua suku tersebut mempunyai beberapa perbedaan. Bukan berarti keduanya tidak merpunyai persamaan. Misalnya pandangan mereka terhadap hakikat hidup. Bagi orang Batak Toba ada folklore yang bertema ketuhanan. Di Debata na diginjang do, suhat ni hita jolma--demikian salah satu folklore bahasa tutur bebas. Artinya pada Tuhan yang Maha Tinggi, terletak nasib kita manusia. Sedangkan bagi orang Jawa, Pradjarto berkesimpulan bahwa pasrah kepada Tuhan adalah sikap penghayatan religius orang Jawa. "Tetapi pasrah bukan berarti sikap nrimo yang negatif," kilahnya. Lebih dalam lagi tentang hakikat hidup ini, orang Jawa sering berpendapat bahwa "hidup itu sesingkat orang yang mampir minum." Jadi kesejahteraan yang sejati tercapai dalam kehidupan yang abadi, nanti sesudah kematian. Sedangkan sikap kedua suku tentang dimensi waktu, sama. Di Batak ada sebutan tinatap tu jolo tinailihon tu pudi yaitu menatap ke depan dan juga melihat ke belakang. Orang Jawa bahkan menghayati hidup ini dalam 3 dimensi waktu. Masa lampau menghidupi masa kini, bersama apa yang bakal terjadi. Dalam hal orang Jawa dan Batak sebagai makhluk sosial, orang Jawa tampaknya lebih ruwet, atau kalau memakai istilah Pradjarto, "condong ke statis. " Orang Jawa akan cepat menilai si A itu ora njawani (tidak Jawa) kalau tingkah lakunya dianggap murang tata (tidak sopan). Untuk menilai seseorang, orang Jawa biasanya melihat bobot, bibit, bebet (status, asal-usul, kekayaan). Dalam hubungan vertikal, bawahan sebaiknya tidak melawan atasannya secara langsung, apalagi terbuka. Sebab selain ora njawani, percuma seperti halnya orang yang memandang matahari (kaya mandeng srengenge). Apalagi kalau bawahan itu lebih muda usia. Akibatnya nanti sellerti cengkir ketindhihan kiring, pentil kelapa yang hancur luluh tertimpa kelapa tua. Sayang, Simanjuntak kurang melukiskan hubungan kolateral dari orang Batak secara terperinci. Cuma dalam tematema folklore Batak Toba banyak diungkapkan tentang hubungan tolong menolong, hubungan kompetitif (bagi mereka yang sederajat). Dalam hubungan vertikal, ada semacam sukarela patuh (patuh paksaan). Tetapi pandangan mereka tentang raja adalah wakil Tuhan di dulia, dan segala tingkah raja harus diikuti dan diteladani. Sedangkan pandangan orang Batak Toba tentang orang non-Batak cukup baik (skor 70). Metode penelitian kedua makalah tersebut bersandarkan pada metode kualitatif dan kuantitatif. Sembilan makalah lainnya dalam seminar tersebut cenderung mengajukan berbagai teori atau pandangan pribadi tentan persepsi kebudayaan. Ketua Steering Commitee dan juga Ketua Koordinator penelitian suku, Proi Koentjaraningrat menandaskan bahwa yang dimaksud "variasi nilai budaya adalah mentalitas. Diakuinya, penelitiau yang pertama kali di Indonesia (dan oleh orang Indonesia) ini masih lemah datanya, meskipun bukan berarti bias. Misalnya dalam integrasi data folklore, data kualitatif dicampur dengan data kuantitatif. Mengkaitkan keduanya demikian kritik beberapa peserta seminar--berbahaya. Koentjaraningrat mengakui hal itu, bahkan peranan fantasi dan intuisi digabungkan dalam menginterpretasi data, terutama dalam indikator folklore. Sedangkan sistem skoring yang hanya sekedar soal teknis, tidak menjadi soal benar. "Tetapi saya berjanji akan mencar, konsultan statistik yang lebih ulung," kata Koentjaraningrat, untuk penelitian lebih lanjut nanti. Memang penelitian tipe ini baru pertama kali diadakan. Sampel yang ditarik masih kecil jumlahnya dan instrumen statistiknya juga masih sederhana. "Kami tertubruk dalam masalah uang," kata Koentjaraningrat lagi, "tapi dropping baru sudah ada sekarang." Menurut rencana, tahapan penelitian yang lebih sinkron dan mendalam akan dilanjutkan. Untuk sementara ini, batu tiga suku Jawa, Batak dan Minangkabau. Suku lain akan menyusul. "Khususnya, akan diarahkan ke mentalitas metropolitan," kata Koentjaraningrat lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus