Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANDANGAN Edi Tri Haryantoro terpaku pada parit kuno berdinding bata merah di kedalaman tiga meter dari permukaan tanah itu. Air setinggi paha orang dewasa masih menggenangi parit.
"Tak diragukan lagi, ini struktur irigasi kuno," kata arkeolog senior dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto itu kepada Tempo di lokasi situs di Desa Urangagung, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akhir November lalu. Bangunan berdinding bata merah yang berada di tengah sawah itu ditemukan pada 29 Oktober 2015.
Sugiantono, petani desa setempat, menemukan situs ini saat menggali sumur untuk mengairi tanaman kacang hijaunya. Ketika dia menggali pada kedalaman satu meter, cangkulnya terantuk tumpukan bata merah yang ukurannya jauh lebih besar daripada batu bata biasa.
Sugiantono melaporkan temuannya ke pemerintah desa. "Atas kesepakatan warga, galian diperlebar sampai ukuran 3 x 4 meter," ujarnya. Masyarakat kaget setelah menemukan struktur batu bata merah yang membujur dari utara ke selatan itu masih tergenang air.
Edi mengukur salah satu bata tersebut. Panjangnya mencapai 31,5 sentimeter dengan lebar 21 sentimeter dan ketebalan 6,5 sentimeter. Berdasarkan ukurannya, dia menduga parit itu dibuat pada era Kerajaan Majapahit, abad ke-13. "Karakteristik batu batanya mirip dengan yang ada di Situs Trowulan," katanya.
Sejumlah arkeolog sebelumnya menduga situs itu berasal dari Kerajaan Kediri. Tapi, menurut Edi, ukuran bata dari masa Kerajaan Kediri biasanya lebih kecil.
Situs Trowulan di Mojokerto selama ini kerap disebut-sebut sebagai bekas ibu kota Majapahit. Menurut Edi, di Sidoarjo, yang jarak tempuhnya satu setengah jam bermobil dari Trowulan, situs irigasi semacam ini baru pertama ditemukan.
Ukuran bata yang tak lazim, Edi menjelaskan, adalah bentuk superioritas Majapahit. "Mereka ingin membentuk peradaban yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya," ujar arkeolog 60 tahun itu.
Hipotesis Edi mengenai asal struktur irigasi ini diperkuat oleh keberadaan dua candi peninggalan kerajaan yang berjaya saat diperintah Hayam Wuruk itu, yakni Candi Dermo di Kecamatan Wonoayu, sekitar delapan kilometer ke arah barat laut dari Situs Sidoarjo, dan Candi Pari di Kecamatan Porong, sekitar 14 kilometer ke arah selatan. Dua bangunan itu pun memiliki batu bata berukuran besar.
Menurut Edi, temuan sistem irigasi tersebut punya arti penting. Bekas Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Samarinda ini meyakini ada bangunan petirtaan yang masih terpendam di sekitar Situs Urangagung. "Ini mengingat masih terlihat sambungan di tiap ujung parit," katanya, atau setidaknya ditemukan sistem irigasi ukuran menengah atau madya yang bersambung ke sumber mata air dan sungai terdekat.
Ada tiga ukuran sistem irigasi pada era Majapahit, yakni ukuran besar (utama) atau sungai alami; menengah (madya), yang dibuat orang zaman dulu untuk mengairi persawahan mereka atau jalur bangunan petirtaan; dan yang berukuran kecil (pranala). Tapi Edi belum bisa memastikan apakah parit tersebut berada di permukaan atau di bawah tanah, seperti dugaan sejumlah arkeolog lain.
Proses pembuatan sistem irigasi madya bisa dibilang sederhana, yakni, "Dengan menggali saluran ukuran tertentu yang bermula dari mata air," ujar Agus Aris Munandar, pakar arkeologi klasik dari Universitas Indonesia.
Saluran irigasi tersebut dibuat melewati persawahan, permukiman penduduk, dan berujung pada sungai besar. Namun proses pembuatannya menjadi rumit karena harus berdasarkan pertimbangan para brahmana. Pertimbangan religius semacam ini, Agus menjelaskan, sebetulnya adalah pengetahuan lokal yang dimitoskan, seperti soal dinding saluran irigasi yang diberi bata. "Lokasi yang ada dinding bata merah biasanya dianggap suci dan memiliki energi supernatural," ujarnya. Tapi, secara logis, kata dia, struktur bata berfungsi sebagai penguat agar tanah di titik tersebut tidak longsor.
Saluran air berukuran sedang biasanya akan berujung pada sungai besar. Fungsinya pun bermacam-macam, dari pengairan sawah, sumber air minum rakyat, sampai bentuk pemujaan terhadap Dewa Wisnu. "Karena itulah air amat penting bagi kehidupan saat itu," Edi menambahkan.
Situs Urangagung bisa dibilang bentuk implementasi ibadah para penganut Hindu Wisnuistik. "Bentuk ibadahnya adalah penghargaan terhadap unsur-unsur kehidupan yang disebut panca maha butha. Salah satunya air," ujar Agus. Air atau apah bersifat merekatkan bumi (pertiwi).
Pertiwi digambarkan dengan Dewi Sri dan Laksmi. Di Jawa, keduanya dianggap sebagai dewi penjaga kesuburan dan sakti (energi) dari Wisnu. Keluarnya air dari payudara sistem irigasi, menurut Agus, bermakna bahwa bumi, manifestasi Dewa Wisnu, merupakan bentuk penyatuan keduanya: air dan bumi pertiwi.
Agus mengatakan setidaknya ada tiga bukti arkeologis tertua yang lebih-kurang memiliki makna serupa di Jawa. Bukti pertama adalah Prasasti Tuk Mas yang ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Jawa Tengah. "Prasasti itu berasal dari abad ke-6 sampai ke-7," ujarnya. Prasasti yang beraksara Palawa dan berbahasa Sanskerta ini menyebutkan sungai yang mengalir di dekat tempat ditemukannya prasasti bagaikan Sungai Gangga yang indah di India.
Bukti arkeologis kedua adalah Candi Jalatunda di bagian utara lereng Gunung Penanggungan, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi yang berfungsi sebagai kompleks pemandian keluarga Raja Airlangga ini diperkirakan dibangun pada 977.
Bangunan bercorak Hindu itu dibangun dengan tiga teras. Pada dinding sebelah timur sisi utara di teras kedua terdapat tulisan berbahasa Jawa Kuno berbunyi "Gempeng". Hingga kini, belum ada arkeolog yang bisa menerjemahkan kata itu. Melihat konteks arkeologis yang ada di candi tersebut, Agus berpendapat kata itu merupakan terjemahan dari "proses membuka gunung untuk mendapatkan air jernih".
Bukti ketiga adalah Prasasti Sukci atau Cunggrang. Prasasti ini ditemukan di lereng timur Gunung Penanggungan (disebut "Pawitra" dalam bahasa Jawa Kuno), Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Secara umum, prasasti ini berisi silsilah dari Mpu Sindok, pendiri Kerajaan Medang.
Prasasti itu berisi amanat untuk merawat pancuran air yang ada di lereng Pawitra. Bisa jadi, kata Agus, sumber air yang dimaksud adalah Candi Belahan, yang berupa bangunan petirtaan. Menariknya, pancuran itu keluar dari payudara arca Dewi Sri.
Meskipun beberapa konteks arkeologis di Situs Urangagung sudah menyiratkan makna dan asal-usulnya, menurut Edi dan Agus, masih perlu dilakukan penelitian lebih komprehensif. "Yang paling penting sekarang adalah penelitian mengenai sumber airnya," ujar Edi. Adapun Agus mengatakan, "Struktur situs harus diteliti untuk pembuktian hipotesis yang ada."
Setidaknya ada tiga metode penelitian yang harus dilakukan, yakni ihwal lapisan tanah, geologi, dan geoelektrik. Setelah itu, ditarik kesimpulan mengenai karakter bangunan Situs Urangagung.
Kini bangunan irigasi tersebut ramai didatangi warga dari Sidoarjo. Ada yang mengambil airnya untuk diminum. "Untuk obat sakit pinggang saya, siapa tahu sembuh," ujar Abdul Rosyid, 45 tahun. Beberapa orang melakukan ritual tertentu, seperti Ahmadi, 49 tahun, warga setempat. Semuanya memiliki satu tujuan: mengambil air yang menjadi sumber kehidupan.
Amri Mahbub, Nur Hadi (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo