Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Penemuan Kelenjar Air Liur Baru Diragukan

Penemuan baru ihwal anatomi manusia jarang terjadi.

15 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto: Tempo/Bintari Rahmanita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Penemuan baru ihwal anatomi manusia jarang terjadi.

  • Keberadaan struktur yang sesuai dengan gambaran kelenjar tubarial telah ada sejak abad ke-19.

  • Kurang tepat untuk mengklasifikasikan kelenjar tubarial sebagai kelenjar ludah.

Tahun lalu, sebuah makalah melaporkan penemuan sepasang kelenjar air liur baru. Temuan itu pun menjadi berita utama ilmiah. Naskah yang diterbitkan di jurnal Radioterapi & Onkologi ini menerima kritik dari beberapa ilmuwan yang meragukan klaim tersebut.

“Makalah itu tak perlu ditarik,” kata Daniel Cohen Goldemberg, ahli patologi mulut di Institut Kanker Nasional Brasil dan salah satu pengkritik. “Ini merupakan makalah yang bagus, hanya tidak berfokus pada apa yang seharusnya.”

Dalam makalah tersebut, peneliti dari Belanda mendeskripsikan sepasang kelenjar air liur yang dijuluki “kelenjar tubarial” karena lokasinya di torus tubarius, bagian di nasofaring—bagian atas tenggorokan.

Temuan itu didasarkan pada pemeriksaan terhadap 100 pasien kanker, dua mayat manusia, dan pencitraan pada seorang relawan sehat. Mereka menemukan bahwa paparan radioterapi membuat mulut kering dan sulit menelan.

Data dikumpulkan dari lebih dari 700 pasien kanker kepala dan leher. Mereka mencatat bahwa kelenjar ini mungkin berisiko mengalami kerusakan akibat teknik pengobatan tersebut.

Sejak makalah itu diterbitkan, delapan surat bernada kritik telah dilayangkan kepada editor Radioterapi & Onkologi. Berbagai masalah diangkat, salah satu yang paling umum ditanyakan adalah ihwal kebaruan temuan itu.

Misalnya, sebuah surat menunjukkan bahwa keberadaan struktur yang sesuai dengan gambaran kelenjar tubarial telah ada sejak abad ke-19. Pertanyaan lain, apakah tepat untuk mengklasifikasikan struktur ini sebagai kelenjar ludah?

Organ yang Tersembunyi

Para ilmuwan mencatat lokasi kelenjar tidak mencapai mulut. Karena itu, kelenjar tersebut tidak terlibat dalam produksi air liur. Kelenjar juga kekurangan amilase, protein kunci—yang ditemukan dalam air liur. Dengan demikian, kurang tepat untuk mengklasifikasikan kelenjar tubarial sebagai kelenjar air liur.

“Penelitian ini akan lebih baik jika difokuskan pada pentingnya radioterapi daripada mencoba mendefinisikan kelenjar baru ini karena tidak ada kelenjar baru,” kata Goldemberg.

Penemuan baru ihwal anatomi manusia jarang terjadi. Klaim terbaru lainnya, seperti mesenterium—lembaran jaringan seperti kipas yang menyatukan usus—dan interstitium—jaringan ruang berisi cairan antarsel—juga dipertanyakan.

Albert Mudry, spesialis otorhinolaringologi di Universitas Stanford yang ikut menulis salah satu surat itu, mengatakan dirinya skeptis terhadap makalah apa pun yang mengklaim menemukan sesuatu yang benar-benar baru, terutama organ baru.

Alasannya, penulis sering lupa melakukan pemindaian menyeluruh atas literatur masa lalu untuk memverifikasi kebaruan. “Penulis makalah kelenjar tubarial menggunakan istilah anatomi yang berbeda, tapi strukturnya sudah dijelaskan bertahun-tahun sebelumnya dan berkali-kali,” kata Mudry.

Menurut Mudry, pada abad ke-19, ahli anatomi Jean Cruveilhier dan Jakob Henle serta ahli otologi Adam Politzer telah mendeskripsikan secara jelas kelenjar di wilayah tenggorokan ini.

Berbagai kritik itu pun ditanggapi tim penulis. Menurut mereka, bukti dari penelitian ini tidak menutup kemungkinan bahwa cairan dari kelenjar tubarial mencapai mulut atau adanya amilase.

Mereka juga mencatat bahwa meskipun ada deskripsi tentang struktur seperti itu di masa lalu, studi mereka memberikan perspektif baru tentang pengamatan sebelumnya.

“Kami telah melakukan penelitian ekstensif, tapi jelas ada banyak cara Anda dapat melihatnya, atau hal-hal yang kami lewatkan,” kata Matthijs Valstar, ahli bedah mulut dan maksilofasial di Institut Kanker Belanda (NKI) dan salah satu penulis studi.

Wouter Vogel, ahli onkologi radiasi di NKI dan rekan penulis lain dari studi kelenjar tubarial, mengatakan dia dan rekan-rekannya menyambut baik komentar tersebut, “Karena ini berarti membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut,” katanya.

THE SCIENTIST | SCIENCE DAILY | FIRMAN ATMAKUSUMA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus