Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti University of Cambridge, Inggris, menemukan tiga tipe virus SARS-CoV-2 yang memicu pandemi Covid-19.
Tipe A berkerabat dekat dengan virus yang ada di kelelawar sehingga dianggap sebagai akar dari wabah ini. Dominan di Amerika Serikat dan Australia.
Tipe B dominan di Wuhan, Cina; dan jazirah Asia Timur, sementara tipe C ditemukan di Eropa serta di Korea Selatan dan Singapura.
PETER Forster, ahli genetika pada McDonald Institute for Archaeological Research, University of Cambridge, Inggris, hakulyakin pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) tidak berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Ia percaya virus itu sudah ada dua bulan sebelum kasus infeksi pada manusia pertama ditemukan di Wuhan pada 17 November 2019. “Hampir semua sampel virus di Wuhan bertipe B. Tapi di Provinsi Guangdong ada 7 dari 11 sampel virus bertipe A,” kata Forster kepada Newsweek, Jumat, 17 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A, B, dan C adalah tiga tipe SARS-CoV-2—virus penyebab Covid-19—yang ditemukan Forster dan koleganya dari Inggris dan Jerman saat melakukan riset untuk memahami proses sejarah yang memicu pandemi Covid-19. Para peneliti itu berharap dapat mengidentifikasi orang pertama yang terinfeksi virus dan yang menjadi sumber pagebluk tersebut. Sejauh ini, para peneliti mengklaim telah berhasil memetakan penyebaran virus, termasuk mutasi genetik saat virus berpindah dari Cina ke Australia, lalu ke Eropa, dan akhirnya ke seluruh dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tipe A, menurut Forster, adalah virus corona yang memiliki kekerabatan dekat dengan virus yang ada pada kelelawar dan tenggiling sehingga peneliti menyimpulkan varian ini sebagai akar dari wabah Covid-19. Virus tipe A tidak dominan di Wuhan, yang menjadi lokasi pertama teridentifikasinya kasus Covid-19 di Cina. Tapi tipe ini banyak ditemukan pada orang Amerika Serikat yang tinggal di sana. Tipe A juga banyak ditemukan pada pasien di Australia dan Amerika Serikat.
Tipe yang dominan di Wuhan dan juga di jazirah Asia Timur adalah B, yang merupakan turunan dari virus tipe A. Para peneliti menduga tipe B di Wuhan merupakan hasil “founder event” atau pembentukan populasi baru tipe A. “Tipe B beradaptasi secara imunologi dan lingkungan terhadap bagian besar populasi Asia Timur,” ujar Forster. “Tipe ini membutuhkan mutasi untuk menjadi resistan di luar Asia Timur. Laju mutasi di Asia Timur lebih lambat ketimbang di tempat lain pada fase awal ini,” dia menambahkan.
Tipe ketiga adalah C, yang merupakan “anak perempuan” tipe B karena berbeda satu mutasi dari variasi orang tuanya. Tipe ini, Forster menjelaskan, teridentifikasi dalam kasus-kasus awal di Eropa, seperti di Prancis, Italia, Swedia, dan Inggris. Varian ini juga terdapat di Korea Selatan, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, tapi tidak ditemukan di kawasan Cina daratan. Forster mempublikasikan laporan tentang tiga varian sentral dari virus SARS-CoV-2 ini dalam Proceedings of the National Academy of Sciences pada 8 April lalu.
Metode yang dipakai para peneliti adalah phylogenetic network analysis menggunakan 160 genom lengkap virus SARS-CoV-2 yang dikumpulkan dari pasien di seluruh dunia. Peneliti juga menggunakan virus dari tenggiling dan kelelawar Rhinolophus affinis. Dengan teknik itu, mereka menciptakan peta sebaran virus berdasarkan mutasinya. “Kami menggunakan algoritma jaringan matematika untuk memvisualkan semua pohon yang mungkin,” tutur Forster.
Menurut Herawati Sudoyo, Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, apa yang dilakukan Forster dan kawan-kawan dengan menggunakan jejaring filogenetik bukan hal baru. “Pendekatan tersebut telah membantu kami mendalami evolusi, terutama dalam melihat kekerabatan dari makhluk hidup, dalam hal ini bisa tentang inang (manusia dan satwa) ataupun patogen (virus, parasit, bakteri, dan vektor),” ucap Herawati melalui surat elektronik menjawab Tempo, Kamis, 23 April lalu.
Jumlah data yang dipakai Forster dalam penelitian, kata Herawati, terlalu sedikit untuk mengambil kesimpulan yang definitif. Herawati membandingkan penelitian itu dengan studinya tentang migrasi prasejarah dan struktur populasi menggunakan pemeriksaan kromosom Y yang memakai total data 2.680 individu. Adapun total data untuk tes asam deoksiribonukleat (DNA) mitokondria sebanyak 5.711 individu. “Memang dibutuhkan banyak koleksi data untuk mencegah bias,” ujar doktor biologi molekuler Monash University, Australia, itu.
Ahli virologi dari Surya University, Tangerang, Banten, Sidrotun Naim, ragu terhadap kevalidan penelitian Forster begitu melihat pohon filogenetik yang memiliki garis panjang ke virus kelelawar RaTG13. “Ini mengindikasikan pemilihan outgroup yang tidak tepat,“ kata Sidrotun. Ia tak menampik info bahwa virus kelelawar RaTG13 dan virus SARS-CoV-2 memiliki kemiripan 96 persen. “Genom SARS-Cov-2 hampir 30 ribu nukleotida. Perbedaan 4 persen setara dengan 1.200 nukleotida. Itu bisa bermasalah dan akan terlihat di pohonnya,” tutur doktor mikrobiologi lingkungan University of Arizona, Amerika Serikat, itu.
Menurut Sidrotun, penggunaan outgroup dimaksudkan untuk menentukan leluhur, khususnya terhadap sesuatu yang baru seperti SARS-CoV-2. Namun, Sidrotun menambahkan, tidak perlu memaksakannya. “Kalau tidak ada yang dapat diambil sebagai outgroup, lebih baik menggunakan pohon unrotted (tanpa asumsi leluhur) seperti yang dilakukan Nextstrain.org,” ucapnya. Dia menyarankan penelitian Forster dibandingkan dengan riset University School of Medicine, Cina, dan studi University of Iceland, Islandia, yang juga mengkaji keberagaman virus penyebab Covid-19.
Forster menyatakan teknik yang ia gunakan sudah sangat terkenal untuk memetakan pergerakan populasi manusia prasejarah melalui pengujian DNA. “Kami pikir ini salah satu penggunaan pertama teknik ini untuk melacak rute penularan virus corona seperti Covid-19,” kata Forster. Tidak hanya mengetahui tipe virus yang menginfeksi pasien, penelitian juga mendapatkan data kapan pasien tertular virus tersebut.
Berdasarkan data yang dihasilkan itu, Forster memperkirakan wabah virus corona mulai muncul antara 13 September dan 7 Desember 2019. “Ini mengasumsikan tingkat mutasi yang konstan. Karena itu, perkiraan waktu ini bisa salah,” ucapnya. “Tapi itu asumsi terbaik yang dapat kita buat saat ini, sambil menunggu analisis sampel pasien yang disimpan di rumah sakit selama 2019.”
Sayangnya, tidak ada data mengenai tipe SARS-CoV-2 di Indonesia. Menurut Herawati, lembaganya masih dalam proses mengkaji genetika SARS-CoV-2 yang ada di Indonesia. Ia menekankan pentingnya kajian genom virus itu. Sebab, selain dapat melacak sejarah penyebaran guna mencegah makin luasnya jangkauan virus, kajian bisa digunakan untuk mendesain vaksin, membuat tes diagnosis tepat, dan mempelajari mekanisme patologi.
DODY HIDAYAT (PROCEEDING OF THE NATIONAL ACADEMY OF SCIENCES, CAM.AC.UK, NEWSWEEK, SCIENCETIMES, METRO.CO.UK, SOUTH CHINA MORNING POST)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo