Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu masalah di daerah yang terkena bencana adalah ketersediaan air bersih. Warga Desa Meunasah Jurong, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang mengalami gempa bumi pada Desember tahun lalu, misalnya, hingga kini masih kesulitan mendapatkan air bersih.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, dosen dan mahasiswa Fakultas Teknik Mesin Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, menciptakan alat pengolah air bertenaga surya yang diberi nama Ie Dhiet 1.0. Pada Kamis dua pekan lalu, alat ini diboyong ke Desa Meunasah Jurong, berjarak sekitar 120 kilometer dari Banda Aceh.
Ukuran Ie Dhiet 1.0 cukup besar, tingginya 120 sentimeter dan berat sekitar 100 kilogram. Pada bagian bawah dipasangi roda agar mudah dipindahkan. Di atasnya terpasang panel surya dengan kapasitas 400 watt peak. "Alat ini cocok ditempatkan di wilayah bencana," kata Ketua Tim Laboratorium Desain dan Manufaktur Fakultas Teknik Unsyiah, Muhammad Tadjuddin, di Desa Meunasah Jurong.
Di bagian dalam terpasang tiga tabung penyaring air ditambah satu di bagian luar yang mampu menyulap air keruh menjadi jernih. "Sumur warga di Desa Meunasah Jurong memang masih keruh. Setelah dicoba memakai alat tersebut, airnya menjadi jernih," ujar Tadjuddin.
Tabung pertama berisi filter karbon untuk menghilangkan zat besi dalam air. Tabung kedua diisi filter 3 mikron untuk menyaring air dari partikel debu dan lainnya. Tabung ketiga berfungsi sama dengan tabung kedua tapi dengan ukuran filter 1 mikron. Adapun tabung keempat, berada di bagian luar, merupakan penyaring terakhir. Di dalamnya berisi filter karbon untuk menghilangkan bau air keruh ataupun air payau.
Untuk menghidupkan pompa air, sumber energi yang digunakan berasal dari panel surya. Listrik yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk penerangan dan kebutuhan lain. Arus listrik lantas disimpan dalam dua baterai berkapasitas total 200 ampere, yang dapat digunakan selama tiga hari. "Alat ini juga dirancang bisa memakai arus listrik biasa," katanya.
Kapasitas air yang dapat disaring adalah 700 liter dalam 20 menit. Air tersebut sangat layak digunakan mandi dan mencuci. Namun, untuk air minum, harus dimasak dulu. "Sebenarnya tidak ada persoalan dengan air minum karena warga di sana biasa membeli air kemasan," ujar Tadjuddin.
Dalam merancang Ie Dhiet 1.0, tim Fakultas Teknik Mesin mendapatkan dana bantuan dari masyarakat Kalimantan Utara untuk korban gempa Pidie Jaya sebesar Rp 10 juta. Selebihnya dibantu oleh universitas. Total biaya produksinya Rp 35 juta. "Waktu untuk membuat alat ini sekitar tiga minggu," kata Mahadir Muhammad, satu dari enam mahasiswa yang terlibat dalam proyek ini.
Ie Dhiet 1.0 dibuat menurut hasil survei jenis air yang ada di kawasan Pidie Jaya. Artinya, belum diketahui apakah alat ini dapat menghasilkan air dengan kualitas yang sama jika tingkat kekeruhan air lebih tinggi daripada di lokasi sekarang. Meski begitu, menurut Tadjuddin, jika ada permintaan untuk diproduksi massal, timnya siap. "Kami tidak tahu berapa harga jual alat ini, mungkin lebih dari Rp 35 juta," ucapnya. Hanya, alat ini belum dipatenkan.
Tim merencanakan membuat dua alat serupa untuk dioperasikan di kawasan Kajhu, Aceh Besar. Kawasan dekat laut yang pernah dihantam tsunami pada Desember 2004 itu juga kesulitan air bersih untuk mandi dan mencuci. "Kami sudah mengusulkan dana ke pihak universitas," kata Tadjuddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo