Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH HASIL survei beberapa tahun terakhir kian membuat Kementerian Kesehatan cemas. Angka prevalensi diabetes melitus pada penduduk kelompok usia produktif di Indonesia cenderung meningkat. Belakangan, tren serupa terjadi pada anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyebutkan banyak faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah kasus pasien kencing manis. Salah satunya adalah pola makan tak seimbang, seperti ketergantungan terhadap nasi. “Penggunaan gula, yang salah satunya berasal dari nasi, memang harus dibatasi,” kata Nadia kepada Tempo pada Senin, 22 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nadia menjelaskan, nasi merupakan karbohidrat dan mengandung gula. Dengan demikian, penggunaannya harus dibatasi.
Upaya membatasi itu telah dimulai sejak sedekade lalu. Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan pada Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Peraturan ini menyebutkan anjuran konsumsi gula per orang per hari hanya 10 persen dari total energi (200 kilokalori)—setara dengan empat sendok makan gula atau sekitar 50 gram.
Regulasi ini muncul sebagai upaya kementerian mencegah peningkatan jumlah kasus pasien diabetes. Juga terhadap munculnya penyakit kronis lain, seperti tekanan darah tinggi, penyakit kardiovaskular, jantung, stroke, ginjal, dan gangguan saraf.
Warga berkonsultasi kesehatan dengan tenaga medis dalam kegiatan Hari Kesehatan Nasional ke-58 tingkat Provinsi Jawa Barat di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 2022. ANTARA/Novrian Arbi
Prevalensi Diabetes Melitus Meroket
Hasil survei beberapa tahun terakhir menunjukkan kondisi yang makin mengkhawatirkan. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter pada kelompok umur 15-64 tahun mencapai 2,14 persen. Angka prevalensi diabetes melitus penduduk usia produktif tersebut lebih tinggi dibanding hasil survei Riset Kesehatan Dasar 2013 yang hanya 1,92 persen.
Pada 2021, Federasi Diabetes Internasional (IDF) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah kasus pasien diabetes terbanyak kelima di dunia, yakni 19,5 juta orang. Jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia diprediksi terus meroket menjadi 28,6 juta jiwa pada 2045. IDF memperkirakan penyakit kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah ini makin banyak menyasar kelompok usia 20-79 tahun.
Adapun hasil penelitian Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun lalu menambah kencang alarm bahaya diabetes melitus. Kasus diabetes pada anak usia di bawah 18 tahun juga terus meroket. Pada 2000, merujuk pada laporan IDAI, prevalensi diabetes melitus pada anak hanya 0,004 per 100 ribu anak. Angkanya meningkat menjadi 0,028 per 100 ribu anak pada 2010. Sedangkan pada Januari 2023, IDAI mencatat, prevalensi diabetes melitus pada anak telah mencapai 2 per 100 ribu anak.
IDAI, masih dari laporan tersebut, mengidentifikasi sejumlah penyebab meningkatnya prevalensi kasus diabetes pada anak. Selain dipengaruhi faktor genetik dan keturunan, lonjakan jumlah penderita diabetes dipicu gaya hidup dan pola makan anak atau remaja yang tak sehat. Anak yang mengalami diabetes diawali dengan metabolic syndrome atau kelebihan berat badan yang mengakibatkan resistansi insulin.
Warga antre dalam Operasi Pasar Beras Stabilitas Pasokan Harga Pangan di kantor Kelurahan Kayuringin Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Jawa Barat, 23 Februari 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Mencegah Konsumsi Gula Berlebihan
Data-data yang makin mengkhawatirkan tersebut memaksa pemerintah kian getol menggalakkan kampanye program bertajuk "Isi Piringku". Program ini menganjurkan porsi makan yang tepat: terdiri atas 50 persen buah dan sayuran serta 50 persen sisanya berupa karbohidrat dan protein.
Sebagai panduan makan gizi seimbang, setiap orang disarankan mengkonsumsi makanan sekitar 150 gram nasi atau setara tiga centong saja dalam satu piring. "Sumber karbohidrat juga dapat diganti dengan kentang seberat 300 gram atau umbi-umbian, jagung, dan sagu," kata Nadia. Dia mengingatkan agar pola makan dengan gizi seimbang itu disertai gaya hidup sehat, seperti minum air putih cukup, melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit per hari, serta rutin mengukur tinggi badan dan berat badan sesuai dengan kondisi tubuh masing-masing.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menyebut diabetes melitus sebagai ibu segala penyakit. Sebab, diabetes dapat melahirkan berbagai penyakit lain bagi pasien. “Kalau tidak terkontrol, dia bisa terkena penyakit jantung, stroke, ginjal, dan yang pasti akan lebih berat masalah dan biayanya,” ujarnya.
Menurut dia, umumnya seseorang dapat menderita diabetes melitus lantaran gaya hidup, riwayat keluarga, dan aktivitas fisik yang kurang. Terutama juga akibat konsumsi gula berlebihan secara terus-menerus. Biasanya pasien mengkonsumsi gula tanpa mengimbanginya dengan aktivitas fisik. Hal ini menyebabkan terjadinya resistansi insulin sehingga meningkatkan risiko kencing manis.
Eva turut mewanti-wanti ihwal bahaya pola mengkonsumsi makanan cepat saji. Selain tidak tercantum nilai gizi, makanan semacam itu acapkali mengandung gula, garam, dan lemak berlebih. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya obesitas, yakni penumpukan lemak ektopik di dalam otot yang bisa menimbulkan resistansi insulin. "Ujung-ujungnya dapat berakhir dengan terserang penyakit diabetes melitus tipe 2," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo