Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Peraga Gempa ala Yogya

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sering gempa melanda beberapa wilayah Indonesia. Tak terhitung lagi duka yang mesti ditanggung masyarakat. Paling tidak, kerugian akibat hancurnya rumah tinggal. Toh, rentetan bencana gempa tak membuat masyarakat lebih berupaya merancang bangunan rumah yang bisa meminimalkan risiko bila diguncang gempa. Agar masyarakat lebih "melek" sehingga bisa menyadari kerusakan nyata akibat gempa, Sarwidi, dosen di Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, mengubah cara penyuluhannya. Ia tak menggunakan gambar, melainkan alat peraga tiga dimensi, yang didemonstrasikannya dalam sebuah lokakarya di Bali, Jumat dua pekan lalu. Dengan alat ini, "Kerusakan bangunan yang terkena gempa bisa diperkirakan," ujar Sarwidi, doktor lulusan Universitas Rensselner, New York, Amerika Serikat. Satu alat sederhana ini menelan ongkos pembuatan sekitar Rp 4 juta. Alatnya berupa bangunan berukuran 40 x 40 sentimeter di atas alas berukuran 80 x 80 sentimeter. Bahannya dari besi bekas, roda perantara, mesin jahit sebagai penggerak, serta "lacker" untuk dudukannya. Alat ini dibuat empat seri, masing-masing untuk gerakan maju-mundur, menyamping kiri-kanan, atas-bawah, dan berputar. Buat kebanyakan masyarakat, peragaan alat yang bisa menunjukkan langsung kerusakan bangunan ketika terkena gempa itu menjadi penting. Sebab, dari riset Sarwidi bersama koleganya di Lembaga Penelitian Studi Eksakta UII, ternyata kerusakan akibat gempa paling banyak dialami oleh bangunan dan rumah yang dibuat secara tradisional. Riset itu dilakukan sejak tahun 1998, dari kejadian gempa di Bengkulu hingga beberapa waktu lalu di Majalengka. Dengan demikian, diharapkan masyarakat mau mengubah cara tradisional membangun rumah. Supaya bangunan tahan gempa, menurut Sarwidi, sebaiknya bahan bangunan bersifat ringan dan bangunannya kokoh. Bangunan itu pun kalau bisa harus bersifat ulet. Misalnya, menggunakan beton bertulang praktis, seperti bangunan di Banjarnegara, yang ternyata tak mengalami kerusakan parah ketika dihantam gempa. Darmawan Sepriyossa dan Hadriani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus