Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bila Janin Dianggap Benda Asing

Keguguran berkali-kali bisa disebabkan oleh antibodi si ibu yang membuat janin tak bisa berkembang. Dengan deteksi dan terapi dini, keguguran semacam itu bisa dicegah.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU saja semua berjalan lancar, Eni—sebut saja begitu—mestinya sudah menjadi ibu empat orang anak. Namun, ”bayi-bayi” yang dikandungnya tak pernah betah tinggal di rahimnya. Kehamilannya selalu berakhir ketika usia janin baru berjalan sekitar tiga minggu. Keguguran berulang itu tentu saja tak di-kehendaki wanita berusia 35 tahun ini. Namun, tanpa disadarinya, justru tubuhnya sendiri yang telah memaksa janin keluar sebelum waktunya. Ternyata, Eni mempunyai antibodi yang ke-lewat aktif menyensor benda asing—termasuk janin—dalam tubuhnya. Anticardiolipin namanya. Antibodi itulah yang merusak plasenta sehingga bayi kehilangan saluran untuk mengakses makanan dan oksigen yang dibutuhkannya. Tapi kenapa antibodi itu memboikot makanan sumber penghidupan jabang bayi? Itulah yang sampai sekarang masih belum jelas. Meski sudah diketahui sejak 1985, anticardiolipin memang masih termasuk ”benda asing” dalam dunia kedokteran. Masih banyak hal yang belum terungkap. Bagi Karmel L. Tambunan, guru besar penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), antibodi yang bisa menyumbat di mana-mana hingga menyebabkan serangan stroke, gagal jantung, varises, buta, dan tuli itu termasuk pengetahuan yang tergolong baru. Tak mengherankan bila antibodi ini menjadi salah satu bahasan menarik dalam Kongres Nasional Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia IX, di Semarang, awal September lalu. Antibodi anticardiolipin tidak dimiliki se-tiap orang. Menurut dokter kebidanan dan kandungan Hasnah Siregar, ada orang tertentu yang memiliki antibodi itu karena bawaan. Pada perempuan hamil, kandungan antibodi anticardiolipin yang tinggi menyebabkan penggumpalan darah (trombosis) yang akhirnya menyumbat plasenta. Akibatnya, sel darah merah yang membawa pasokan zat gizi dan oksigen tidak tersalur ke bayi. Buntutnya, jika tidak keguguran, biasanya janin tidak berkembang atau mati dalam kandungan. ”Orang yang terserang antibodi anticardiolipin ini secara klinis memang dapat dilihat jika wanita hamil mengalami keguguran berulang-ulang atau wanita berkeluarga tidak hamil-hamil,” ujar Haryanto Reksodiputro, guru besar hematologi (ilmu darah) dan onkologi (ilmu tentang kanker) dari FKUI. Sepanjang pengalaman Haryanto, 60 persen kasus keguguran kandungan berulang disebabkan oleh serangan dari antibodi itu. Memang tidak semua kasus keguguran berulang disebabkan oleh antibodi anticardiolipin. Ada beberapa faktor yang harus dilihat sebelum mencurigai anticardiolipin sebagai biang keladi keguguran berulang-ulang. Menurut Hasnah, ia akan memeriksa apakah si ibu pernah mengalami tiga kali keguguran atau lebih secara berurutan tanpa sebab jelas. Ia juga akan menelisik terjadinya kematian fetus, apakah setelah 10 minggu usia kehamilan atau tidak. Kadang-kadang kelahiran prematur atau kehamilan yang bisa mencapai 34 minggu tapi disertai keracunan (preeklamsia) berat atau kelainan pada plasenta juga bisa menggiring kecurigaan terhadap aktivitas antibodi anticardiolipin. Pendeknya, ”Tidak semua kejadian keguguran langsung bisa dinyatakan sebagai kasus anticardiolipin,” ujar Hasnah. Keguguran, katanya, bisa juga disebabkan oleh penyakit tumor atau infeksi. Meski begitu, bagi wanita yang pernah keguguran, saat hamil lagi, disarankan memeriksakan diri ke ahli kandungan atau ahli darah. Deteksi dini setidaknya memungkinkan terapi segera yang bisa menghalangi aktivitas antibodi anticardiolipin sebelum menggila dan menghabisi hidup jabang bayi. Terapi melawan antibodi ini tampaknya cukup ampuh. Haryanto mencatat, dalam tiga tahun belakangan, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo terjadi 251 kasus keguguran berulang-ulang, tapi 95 persen di antaranya bisa ditangani hingga para ibu itu berhasil mempunyai anak. Bagaimana caranya? Pengobatan dilakukan, antara lain, dengan suntikan obat heparin (antipembekuan) selama kehamilan. Obat ini menjamin bayi mendapat pasokan makanan yang cukup. Lama pengobatannya sendiri bisa bervariasi. Menurut Hasnah, pemakaian obat akan dihentikan pada tiga minggu sebelum waktu kelahiran bayi. Terapi Haryanto dan Karmel agak berbeda. Mereka menyarankan agar obat diberikan terus hingga bayi lahir. Haryanto menyarankan hingga 40 hari setelah kelahiran, sementara Karmel hanya melakukannya hingga tiga hari setelah bayi lahir. Alasan Haryanto, obat akan mencegah ter-jadinya trombosis pada ibu. Bila dihentikan sebelum 40 hari, gumpalan darah yang terjadi di kandungan bisa masuk ke otak, paru-paru, atau tempat lain. Perbedaan lama terapi itu boleh jadi karena pemahaman para dokter terhadap anticardiolipin tidak sama. Bisa jadi pula itu karena misteri antibodi ini memang belum seluruhnya terkuak. Namun, yang penting buat pasien, antibodi itu bukan momok yang tak tertaklukkan. ”Memiliki antibodi anticardiolipin bukan berarti dunia menjadi gelap. Itu bisa dinormalkan dengan terapi,” Hasnah menegaskan. Purwani Diyah Prabandari, Andari Karina Anon, Bandelan Amarudin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus