KAMAR tidur Asya, gadis kecil berumur 1,5 tahun, biasa berbau wangi melati. Harum itu bukan bersumber dari rangkaian bunga segar, melainkan dari produk antinyamuk yang disemprotkan Nia, ibu Asya, setiap malam tiba. ”Untuk mengusir nyamuk supaya Asya tidur nyenyak dan enggak digigit nyamuk,” kata Nia, yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Namun, sepekan terakhir, Nia dilanda gelisah setelah muncul kabar santer bahwa obat antinyamuk yang beredar di Indonesia mengandung racun berbahaya. Walhasil, demi kesehatan si upik yang masih balita, Nia me-mutuskan meninggalkan obat antinyamuk.
Perbincangan mengenai produk antinyamuk memang meluas di kalangan ibu rumah tangga dalam beberapa hari terakhir. Pemicunya adalah pernyataan Indonesian Pharmaceutical Watch (IPhW) yang dilansir dua pekan lalu. Ernawati Sinaga, ahli biologi molekuler yang aktif di IPhW, menyatakan bahwa sebagian besar antinyamuk mengandung zat beracun propoksur dan diklorvos. Menurut pantauan IphW, salah satu atau kedua zat itu terdapat pada produk antinyamuk cair dan semprot yang populer: Hit, Raid, Baygon, Mafu, dan Tiga Roda.
Nah, apa gerangan propoksur dan diklorvos? Menurut Pesticide Action Network (PAN), organisasi internasional mengenai pestisida yang bermarkas di Amerika, kedua zat itu termasuk kategori highly toxic material. Keduanya bisa memicu keracunan akut, menggenjot risiko kanker, dan juga mengundang kematian. ”Simbolnya empat tengkorak bersilang tulang,” kata Erna, yang juga menjadi peng-ajar di Universitas Nasional, Jakarta. Erna menambahkan, bahaya propoksur dan diklorvos hanya sedikit lebih ringan dari racun DDT (dikloro difenil trikloroetan), yang sudah resmi dilarang beredar di negeri ini.
Dampak kedua racun itu terhadap kesehatan pun bukan main-main. Mekanismenya begini. Propoksur dan diklorvos yang terbawa melalui saluran pernapasan dan kulit bakal memacetkan proses penguraian asetilkolin. Padahal, penguraian asetilkolin sangat penting untuk meneruskan rangsangan di antara sel-sel saraf. Bila asetilkolin menumpuk tak terurai, otomatis metabolisme sel-sel saraf pun macet. Akibatnya, muncul kejang-kejang, kram perut, diare, sesak napas, pusing, dan pingsan. Dalam jangka panjang, propoksur dan diklorvos juga berisiko mengundang kanker, merusak sistem saraf, dan mengacaukan kerja hati. Rangkaian efek negatif ini bakal lebih gawat bagi anak balita, yang sistem pertahanan tubuhnya belum sempurna.
Guna menjaga keamanan konsumen, negara-negara maju hanya mengizinkan penggunaan obat antinyamuk yang lebih aman, antara lain terbuat dari tiruan sari bunga krisan (Chrysanthemum sp). Sementara itu, propoksur dan diklorvos sama sekali diharamkan untuk pestisida rumah tangga. Kedua zat ini hanya diperbolehkan untuk membasmi kecoa, belalang, dan nyamuk di lahan pertanian dan perkebunan. Itu pun disertai catatan, si penyemprot harus menggunakan masker dan baju pengaman khusus.
Tapi, Indonesia punya cerita berbeda. Propoksur dan diklorvos yang beracun itu masih diperbolehkan untuk keperluan pestisida rumah tangga. Apakah pemerintah dan produsen antinyamuk di sini tidak tahu bahayanya?
Beberapa produsen yang dihubungi TEMPO, yakni PT Bayer Indonesia (produsen Baygon) dan PT Globina Karya (penghasil Hit), enggan berkomentar apa pun. Namun, Tri Atmadja, Manajer Produk Raid, PT S.C. Johnson and Son Indonesia, mengakui bahwa semua bahan kimia dalam obat antinyamuk pasti beracun. Hanya, komposisi dan kadar senyawa kimianya telah dirancang seaman mungkin sehingga layak digunakan di dalam rumah. Untuk pemakaian yang wajar dan sesuai dengan petunjuk pada kemasan, Tri menjamin bahan antinyamuk yang terdapat dalam Raid tidak menimbulkan keracunan.
Sementara itu, Kasumbogo Untung, Ketua Komisi Pestisida Departemen Pertanian, membenarkan bahwa pemerintah memang tidak melarang penggunaan propoksur dan diklorvos untuk pestisida rumah tangga. Alasannya, kedua senyawa ini masih termasuk pestisida golongan 2 (dari skala 1 sampai 4—yang pa-ling beracun adalah golongan 1, yang diwakili DDT). ”Golongan 2 masih boleh digunakan pada kadar rendah sehingga dampaknya bisa ditekan sangat minimal,” katanya.
Untuk memastikan keamanan konsumen, menurut Kasumbogo, produk antinyamuk harus melalui dua jenis saringan sebelum beredar. Pertama, Komisi Pestisida memeriksa komposisi, formula, dan kadar bahan kimia produk antinyamuk. Kedua, uji lanjutan di-lakukan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Saringan meliputi kejelasan label, petunjuk penggunaan, serta peringatan gejala dini keracunan. ”Hal-hal yang penting untuk keamanan konsumen harus tercantum pada label,” kata Lucky S. Slamet, Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik Badan POM. Bila lolos kedua uji tersebut, produk anti-nyamuk dipersilakan melenggang ke pasaran.
Namun, menurut Ernawati Sinaga, kedua saringan tersebut belum memadai. Alasannya, biarpun termasuk golongan 2, diklorvos dan propoksur tetap masuk kategori sangat berbahaya. Pembatasan kadar rendah tidak banyak berarti karena produk antinyamuk digunakan terus-menerus. Racun yang menempel di sarung bantal, seprai, ataupun kursi tak mungkin menguap tuntas tanpa jejak. Secara perlahan, racun akan terisap oleh tubuh dan pasti memicu dampak jangka panjang. Karena itu, IPhW menuntut agar peraturan pemerintah lebih diperketat dan berpihak pada keselamatan konsumen. Yang boleh beredar hanya pestisida yang relatif aman, semisal aletrin, praletrin, dan transflutrin (golongan 3 dan 4), yang merupakan sintesis tumbuhan antinyamuk. ”Sudah waktunya kita menyingkirkan propoksur dan diklorvos,” kata Erna.
Nah, akankah tuntutan IPhW terkabul? Pemerintah, menurut Kasumbogo, sebetulnya tidak menutup diri dari perubahan. ”Aturan bukanlah harga mati. Kami bersedia mengubah sesuai dengan kebutuhan dan keamanan konsumen,” katanya. Namun, Kasumbogo mengingatkan, semua pestisida pasti punya dampak samping. Senyawa kimia tiruan tumbuhan antinyamuk, misalnya, cenderung tidak ke-lewat galak sehingga nyamuk cepat menjadi kebal dan lebih sakti. Akibatnya, penyakit-penyakit dengan perantaraan nyamuk, seperti malaria dan demam berdarah, juga berpeluang meningkat.
Langkah yang lebih layak disorot, menurut Kasumbogo, adalah merintis pengembangan tanaman antinyamuk. Beberapa tanaman seperti daun nimba dan daun ligundi (Vitextrifolia sp.) sudah lama dikenal berkhasiat antinyamuk. Sudah pasti, tanaman semacam ini lebih aman serta tidak mencemari lingkungan. Tapi, sayangnya, pengembangan antinyamuk alami butuh riset yang berbiaya tinggi.
Nah, sementara produk alami yang aman belum dikembangkan secara massal, tampaknya kita harus kembali ke cara kuno menangkal nyamuk: pakai saja kelambu.
Mardiyah Chamim, Iwan Setiawan, Rommy Fibri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini