SEJAK reaktor nuklir mulai digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik, awal 1960-an, banyak kemajuan diperoleh dalam bidang teknologi nuklir. Berbagai jenis reaktor dibuat di pelbagai negeri. Selain di negara maju, reaktor nuklir juga digunakan di Taiwan, Korea Selatan, India, Pakistan, dan Brazilia. Di Prancis, negeri yang tidak mempunyai sumber daya minyak bumi, listrik yang dibangkitkan tenaga nuklir meliputi 35% dari seluruh produksi listrik. Angka tersebut akan terus meningkat. Dengan demonstrasi antinuklir di banyak tempat, dan semakin ketatnya peraturan, tindakan pengamanan di dalam reaktor itu sendiri makin disempurnakan. Namun, ada satu segi yang hingga kini belum dipecahkan dengan memuaskan, yakni sampah nuklir. Ke mana sampah nuklir yang masih aktif itu harus dibuang, atau disimpan? Sekalipun sedikit, jumlahnya dari tahun ke tahun semakin menumpuk. Di Amerika Serikat, sampah nuklir dimasukkan ke dalam drum yang ditutup rapi dan ketat, lalu dipendam di rongga-rongga bawah tanah. Biasanya di terowongan-terowongan besar bekas tambang garam. Di sanalah drum-drum berbahaya itu disimpan, dan dijaga dengan ketat. Ada yang mengusulkan agar drum-drum tersebut dimasukkan ke dalam palung-palung laut dalam, seperti palung di selatan Jawa. Drum tersebut diharapkan ditelan oleh proses penekunan kerak samudra yang bergerak menyusup ke dalam bumi. Dengan demikian, ia akan ditelan ke dalam bumi secara alamiah. Ada pula yang mengusulkan agar sampah itu dimuatkan ke kapal dirgantara, dan diluncurkan ke angkasa luar. Dalam mencari berbagai alternatif tersebut, sekonyong-konyong RRC datang dengan usul yang mengejutkan. "Kirimkan saja kepada kami," kata mereka, "asal dengan imbalan." Jerman Barat dan Swiss sudah berniat memenuhi permintaan ini. Dari Jerman Barat, RRC diperkirakan akan menerima US$ 5 milyar untuk " jasa" menampung sampah nuklir tersebut. Agaknya, RRC mengandalkan keluasan wilayahnya yang tidak berpenduduk, antara lain Gurun Gobl yang lengang itu. Tetapi, tampaknya, ada gelagat lain. RRC mungkin saja memanfaatkan sampah yang, sebetulnya, masih mengandung bahan bakar nuklir plutonium itu. Bahan ini bisa digunakan untuk senjata nuklir, atau untuk bahan bakar reaktor nuklir. RRC mungkin saja tidak mengolahnya sekarang, tetapi kelak, siapa tahu, ketika bahan tersebut mulai sulit diperoleh. Baru-baru ini, RRC menandatangani perjanjian yang sekaligus membuka diri bagi pemeriksaan komisi nuklir internasional: Tetapi, seperti halnya Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet, mereka mengecualikan inspeksi itu bagi instalasi militer. RRC memang cerdik. Dengan menampung sampah nuklir, mereka memperoleh uang, sekaligus bahan nuklir cuma-cuma. Hanya saja, kita patut mempertanyakan tindakan ini dalam hubungannya dengan keselamatan rakyat, terutama dalam jangka panjang. M.T. Zen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini