BERKACA kepada sukses yang telah dicapai ASEAN, dewasa ini sedang berkembang suatu isu untuk membentuk MAP. Itulah Masyarakat Asia-Pasifik, Asia-Pacific Community. Berbagai seminar dan konperensi telah berlangsung di Jakarta, Tokyo, Bangkok, dan Australia. Tujuannya dipusatkan pada pembentukan suatu daerah perdagangan bebas dan berbagai kerja sama antarnegara dalam lapangan-lapangan ilmu, teknologi, komunikasi, dan perkembangan ekonomi. Reaksi negara-negara Asia-Pasifik terhadap isu itu campur baur. Ada yang mendukung, ada pula yang menolak. Dan sebegitu jauh sikap Cina masih samar-samar. Tapi, berdasarkan dugaan, reaksi itu terdiri dari tiga aspek: perhitungan-perhitungan strategis, diplomasi, dan ekonomn Seperti negara-negara Asia lain, Cina melihat konsep MAP sebagai ciptaan Jepang. Dengan demikian, pada pandangan Cina, tak lain dari upaya Jepang untuk melindungi pertumbuhan ekonommya. Di satu pihak barangkali Cina bisa mentolerir suatu keadaan di Asia-Pasifik yang di dalamnya Jepang memegang peranan politik utama. Barangkali Beijing juga berharap, dengan kedudukan itu Jepang akan dapat menyaingi pengaruh dan ekspansi Uni Soviet yang dari hari ke hari meningkat. Namun, di pihak lain Beijing melihat dengan penuh kecurigaan pengaruh ekonomi dan politik Tokyo yang makin kuat: kecenderungan yang bisa membawa Jepang ke militerisme dan persenjataan kembali. Usul Jepang buat membentuk MAP dianggap Cina (dan negara-negara Asia lainnya) sebagai penjelmaan baru Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Raya pada zaman Perang Dunia II. Reaksi keras Cina terhadap isu buku sejarah Jepang pada tahun 1982, misalnya, menunjukkan kekhawatirannya atas usaha para penguasa di Tokyo mencuci tangan terhadap kejahatan perangnya dan menegakkan kembali militerisme. MAP, kalau dibentuk, akan terdiri dari negara-negara komunis dan bukan komunis. Cina mungkin saja merasa kikuk - sebagai satu-satunya negara komunis dalam organisasi. Kemungkinan masuknya Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan akan merupakan masalah serius. Tapi absennya negara-negara itu justru akan melemahkannya: ketiganya tulang punggung perkembangan ekonomi Asia-Pasifik. Kemungkinan hajat Uni Soviet dan Vietnam menjadi anggota akan merupakan problem paling besar yang harus dihadapi Cina. Dilihat dari perspektif perkembangan ekonominya, kehadiran Cina dalam MAP pasti menguntungkan: memberinya kesempatan mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara kawasan itu. Walau demikian, akan ada beberapa rintangan yang harus didobrak. Buat Cina, mempertalikan ekonomi dengan suatu sistem perdagangan bebas akan mendatangkan problem besar: seluruh sistem ekonominya (perencanaan, mekanisme pengendalian harga, cara pembayaran) akan mendapat pengaruh dari luar. Di samping itu, sampai hari ini di kalangan para pemimpin Cina belum ada kata sepakat dalam masalah pembangunan. Kebijaksanaan ekonomi "liberal" Deng Xiaoping masih tetap dikecam para ideolog. Bahkan, kenyataannya, perdebatan golongan "pragmatis" dengan "kaum fundamentalis" dalam masalah arah perkembangan ekonomi politik, sosial, dan kebudayaan, sepeninggal Mao Zedong dan setelah tergulungnya "Komplotan Empat", masih tetap berlangsung. Biarpun begitu, ada sedikit perbedaan dalam persepsi Cina terhadap regionalisme di Asia. Dulu, dalam menghadapi SEATO, ASA Maphilindo, dan Aspac, faktor sekuriti merupakan unsur utama reaksi Cina. Sekarang, walau faktor di atas masih hadir, perhitungan ekonomis turut berperan. Itu mungkin disebabkan oleh para pemimpin Beijing sekarang yang memberikan prioritas lebih besar pada perkembangan ekonomi dan modernisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini