Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian wilayah Indonesia merupakan daerah yang memiliki seismisitas cukup aktif sehingga rawan gempa. Penyebabnya, wilayah kita merupakan daerah pertemuan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di selatan Pulau Jawa misalnya, dalam kurun dua bulan terakhir yakni Desember 2018 hingga 15 Februari 2019, tercatat 138 aktivitas gempa tersebar dari wilayah barat Jawa hingga Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seluruh gempa tersebut memang hanya bermagnitudo di bawah M 5, namun ada yang cukup dirasakan seperti yang terjadi pada 14 Februari bermagnitudo M 5, berpusat di 123 kilometer barat daya Malang.
Lebih dari 90 persen pusat gempa itu berada di Laut Selatan Jawa dan didominasi oleh kedalaman dangkal.
Sedangkan untuk gempa dirasakan, ada sebanyak tujuh kejadian dan seluruhnya berkedalaman dangkal, sebanyak empat kejadian berlokasi di laut yaitu berpusat di tenggara Pacitan, Malang, Cilacap dan barat daya Malang dengan magnitudo masing-masing 4,6, 4,1, 4,5, dan 5.
Sedangkan tiga kejadian lainnya berlokasi di darat, yakni di sekitar wilayah Wonosobo dengan magnitudo 2,6 - 2,8 dengan skala intensitas (I - II MMI). "Pada umumnya gempa yang terjadi di wilayah ini berpotensi dirasakan dan merusak apabila magnitudonya semakin besar dan memiliki kedalaman dangkal," kata Kepala Stasiun BMKG Banjarnegara, Setyoajie Prayoedhie.
Contohnya adalah kejadian empat gempa di atas dengan magnitudo di bawah M 4,0.
"Sedangkan parameter gempa bumi Wonosobo yang terjadi pada 10, 14 dan 25 Desember 2018 berupa kedalaman dangkal di bawah 11 kilometer dan bermagnitudo kecil di bawah M 2,8 adalah bukti rangkaian gempa diakibatkan oleh aktivitas sesar yang belum teridentifikasi atau belum terangkum dalam Peta Gempa Nasional 2017," katanya.
model rumah tahan gempa (Dok BNPB)
Dari kondisi itu, BMKG menilai perlunya masyarakat mengetahui dan memperkuat upaya mitigasi bencana.
"Dengan memahami sumber gempa dan potensi bencana maka masyarakat bisa memperkuat upaya mitigasi bencana, minimal untuk diri sendiri dan menggali informasi secara mandiri dari sumber yang terpercaya," katanya.
Dosen jurusan teknik sipil Universitas Jenderal Soedirman, Yanuar Haryanto mengatakan, sangat penting bagi masyarakat mendirikan rumah tahan gempa.
Dia menjelaskan tingkat risiko gempa ditentukan oleh dua faktor utama yaitu besarnya tingkat ancaman (hazard) dan besarnya tingkat kerentanan (vulnerability).
Mengingat besarnya tingkat ancaman tidak dapat dikurangi karena merupakan fenomena alam, maka yang bisa dilakukan adalah memperkecil tingkat kerentanan. Salah satu manifestasi paling konkret dari upaya memperkecil tingkat kerentanan itu adalah mendirikan rumah tahan gempa.
Lalu, seperti apakah rumah tahan gempa yang dimaksud? Menurut dia, prinsip utama dalam mendirikan rumah tahan gempa adalah memiliki denah dan struktur bangunan yang simetris.
Dengan denah yang sederhana dan simetris akan memudahkan untuk menentukan letak titik-titik kolom dan pondasi yang akan menjadi rangka struktuk utama pada bangunan.
Misalnya untuk kolom beton bertulang yang ideal untuk rumah tinggal biasanya berjarak 3-4 meter.
Menurut dia, struktur bangunan sederhana dan simetris dapat menahan gaya gempa yang lebih baik dari pada bangunan dengan bentuk yang tidak beraturan, karena gaya gempa yang terjadi dapat terdistribusi secara merata ke semua elemen struktur.
Yang tidak kalah penting dalam mendirikan rumah tahan gempa adalah pemilihan material yang juga ramah terhadap gempa.
Besarnya gaya gempa yang diterima sebuah bangunan berbanding lurus dengan berat bangunan itu sendiri. Itu sebabnya penting untuk membuat bangunan menjadi lebih ringan dengan menggunakan bahan bangunan yang ringan.
"Bahkan hunian tradisional Indonesia ternyata dirancang tahan gempa oleh para nenek moyang kita. Pemakaian struktur kayu dan bambu dengan atap memakai rumbia atau ijuk terbukti dapat bertahan ketika ada goncangan gempa," katanya.
Kendati demikian, masyarakat tidak perlu khawatir karena pada saat ini sudah banyak material di pasaran yang mendukung perencanaan rumah tahan gempa.
Selain itu, pemakaian dinding beton aerasi atau bata ringan juga lebih baik dari bata dan batako. Untuk atap juga sebaiknya dipakai rangka baja ringan dan genteng aspal atau seng gelombang. Dan pemakaian partisi dari gypsum atau GRC juga dapat membuat massa bangunan menjadi lebih ringan.
Selain itu, sistem konstruksi penahan beban pada rumah tahan gempa harus diperhatikan agar struktur pondasi, kolom, balok dan struktur atap menyatu dengan sambungan yang memadai.
Untuk konstruksi kayu selain perlu tambahan struktur menyilang (bracing) harus dilengkapi dengan plat baja pengikat di setiap pertemuan sehingga menjamin fleksibilitas geraknya.
Bangunan dengan struktur beton bertulang harus memakai tulangan yang tepat sesuai dengan perhitungan strukturnya, baik tulangan utama maupun begel atau sengkangnya.
"Sambungan antara kolom, pondasi dan sloof pun harus diperhatikan detailnya agar mempunyai kekuatan yang cukup untuk menahan beban gempa," katanya.
Kesadaran akan bahaya gempa itu penting, mengingat kejadian gempa tidak dapat dihindari namun risiko yang ditimbulkan dapat diminimalisir.
Karena itu mari bersama-sama mempopulerkan rumah tahan gempa. Demi Indonesia yang makin tangguh dalam mitigasi kebencanaan