Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

RUU dan RPP Terkait Energi Dinilai Tidak Mengakomodir Transisi Energi Berkeadilan

Sejumlah organisasi masyarakat sipil berpendapat, seharusnya RUU EBET benar-benar fokus pada akselerasi dan meningkatkan daya saing energi terbarukan.

1 Juli 2024 | 17.37 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja mengecek panel surya di area pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis !5 Februari 2024. Pembangunan PLTS tersebut untuk fase pertama sebesar 10 megawatt (MW) dari total kapasitas 50 MW yang akan menyuplai energi terbarukan untuk IKN dan akan beroperasi pada 29 Pebruari 2024. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyoroti perkembangan arah kebijakan energi terbarukan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Dibandingkan dengan peraturan yang sudah ada, yang memandatkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025, menurut Verena Puspawardani dari Koaksi Indonesia, RPP KEN justru menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 19–22 persen pada tahun 2030.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apabila ketentuan energi terbarukan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) merefleksikan target bauran energi terbarukan dalam RPP KEN terkini, kata dia, transisi ke energi terbarukan dipastikan akan melambat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Penurunan target bauran energi terbarukan dalam RPP KEN sangat perlu merefleksikan
urgensi dan komitmen untuk bertransisi dari energi fosil ke energi terbarukan, apalagi rekomendasi global stocktake menegaskan percepatan pengembangan energi terbarukan hingga tiga kali lipat jika kita ingin selamat dari bencana iklim,” kata Verena dikutip Tempo dari siaran pers, Senin, 1 Juli 2024.

Studi yang dirilis oleh IESR, kata Verena, memperkuat hal tersebut, bahwa untuk mencapai dekarbonisasi menyeluruh di sektor energi, bauran energi terbarukan perlu sudah mencapai 80 persen pada tahun 2040, sedangkan RPP KEN masih menargetkan jauh di bawahnya, yaitu 36–40 persen pada tahun 2040.

Pada tanggal 24 dan 25 Juni 2024, Panitia Kerja (Panja) RUU EBET Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali melakukan pembahasan RUU itu  bersama Panja RUU EBET Unsur Pemerintah dan Unsur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait tiga isu tertunda.

Dari tiga isu yang dibahas, pertemuan tersebut hanya menyepakati dua isu mengenai penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan pemenuhan kebutuhan energi listrik dari EBET berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).  Kesepakatan ini menunjukkan adanya beberapa pembaruan dari pembahasan RUU EBET yang terhenti sejak hampir dua tahun lalu ketika Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah diserahkan pada 29 November 2022.

Sementara pada awal bulan pun, Rapat Kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Komisi VII yang diselenggarakan pada Rabu, 5 Juni 2024, mengungkapkan bahwa  RPP KEN telah selesai diharmonisasi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) per tanggal 4 Juni 2024. 

RPP KEN ini akan disampaikan kepada Komisi VII untuk dibahas lebih lanjut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengamanatkan penetapan KEN dengan persetujuan DPR RI.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil berpendapat, seharusnya RUU EBET benar-benar fokus pada akselerasi dan meningkatkan daya saing energi terbarukan. Menurut Verena, RUU EBET masih sarat kepentingan yang mendorong energi padat karbon dan berisiko tinggi, seperti gas, nuklir, co-firing, hidrogen, coal bed methane, coal liquefaction, dan coal gasification. "RUU EBET dan RPP KEN juga menargetkan pemanfaatan energi berbasis lahan dalam skala besar, khususnya biomassa," kata dia. 

Pengkampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, mengatakan bagi organisasi masyarakat sipil, ketentuan terkait energi baru, seperti hidrogen dan nuklir, sudah seharusnya dikeluarkan dari RUU EBET maupun RPP KEN.

Baik RUU EBET maupun RPP KEN masih memperbolehkan pengembangan energi fosil selama diikuti dengan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Selain itu, kata dia, penambahan porsi gas fosil sebagai bahan bakar transisi dalam RPP KEN justru menghambat transisi energi yang sebenarnya. "Pemberian ruang bagi penggunaan energi fosil akan menyebabkan Indonesia terkunci dengan teknologi tersebut dan makin mempersempit ruang bagi energi terbarukan untuk berkembang," kata dia.

Terakhir, kata dia, ketiadaan aspek keadilan juga ditunjukkan oleh tidak adanya pertimbangan terkait dampak sosial dari pengelolaan energi, termasuk energi terbarukan. Baik RUU EBET dan RPP KEN memberikan kemudahan penyediaan lahan untuk kepentingan energi.

Kemudahan tersebut, menurut Hadi, berpotensi mendorong perampasan lahan untuk proyek energi. Pendekatan pengelolaan energi terbarukan dan transisi energi yang cenderung teknokratis justru memperpanjang ketidakadilan yang selama ini telah dialami oleh masyarakat.

Sudah seharusnya, kata dia, pemerintah lebih ambisius dalam melakukan transisi energi dengan memberikan penekanan pada energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Hadi menyebutkan ruang-ruang yang masih mengakomodasi kepentingan energi fosil atau energi baru akan mempersulit upaya menciptakan level of playing field yang lebih tinggi bagi energi terbarukan dan makin memundurkan pencapaian transisi energi berkeadilan.

"Selain itu, kebijakan transisi energi Indonesia perlu berlandaskan pada keadilan dengan kemampuan memberikan gambaran komitmen terhadap penurunan suhu rata-rata bumi di
bawah 1.5°C seperti yang sudah disepakati di dalam Perjanjian Paris dan menjamin pemenuhan hak masyarakat dan lingkungan dalam prosesnya. Kerusakan alam dan kepunahan manusia di muka bumi tidak dapat dinegosiasi," ungkapnya.

Irsyan Hasyim

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus