Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Saat mati masih barangkali

Para dokter minta jaminan hukum agar tak dianggap pembunuhan & melanggar sumpah dalam menetapkan orang mati serta mencangkokan tubuhnya kepada orang yang hidup. sulit menentukan orang itu sudah mati.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEORANG hanja sekali -- alhamdulillah -- lahir dan hanja sekali pula -- innalillahi -- mati. Tak ada sulitnja memastikan bahwa seseorang memang sudah lahir, tapi rupanja tidak boleh terlalu mudah mengatakan bahwa seseorang memang betul sudah mati. Definisi umum jang dikenal dikalangan kedokteran dan hukum jang disebut "saat mati" kira-kira adalah sedjak "detik terachir berhentinja fungsi vital". Tapi bagaimanakah tahunja bahwa detik terachir itu sudah terdjadi, kira-kira tanja Profesor Keith Simpson, penulis buku Forinsic Medicine dari RS Guy? Universitas London, dalam tulisannja mempersoalkan "Saat Mati" dalam brosur jang diterbitkan oleh Abbot Universal Ltd. Selama berabad-abad gambaran tentang saat mati dilukiskan oleh para sastrawan dengan berbagai tjara seperti djantung tak lagi berdetak, pandangan mata tak lagi berkutik, degupan terkulai. Tapi lukisan-lukisan literer sematjam itu agaknja tidak bisa dipertanggung djawabkan buat dipakai sebagai pegangan untuk mengatakan bahwa seseorang itu memang sudah mati. Dikampung-kampung, orang biasanja meletakan tjermin didepan hidung dan mulut orang jang dikira telah mati itu: djika permukaan tjermin tidak berembun berarti sudah matilah orang iiu. Tjara tersebut rupanja memenuhi kebutuhan praktis. Akan tetapi jang memenuhi kebutuhan praktis itupun tidak dengan sendirinja memenuhi kepastian. Mengapa? Karena sudah lama dibuktikan bahwa orang jang tidak lagi bernafas belum mendjamin bahwa ia sudah mati. Tanda-tanda fisik. Juliet jang minum tjairan pembius ramuan pendeta Loreno dalam lakon Shakespeare jang kesohor itu, adalah "bukti" hajali tentang prasangka mati. Sjahdan dalam 42 djam obat bius Lorenzo telah membuat Juliet -- seperti dilukiskan pendeta Lorenzo: ** ..........Gerak nadi berhenti Tak ada suhu atau malas bagai alumat hajat Merah pipi dan bibir djadi abu-abu dan putjat Matamu terkalap seolah tjahaja hidup Ditolak maut. Tiap anggota badan Hilang lemasnja dan djadi kaki tegang dingin Dalam keadaan beku Dan seolah mati......... ** Tapi kalau kasus Juliet "bukti" hajali, tidak kurang kasus orang jang diduga sudah mati ternjata belum. Misalnja tjerita jang dikutip Prof.Simpson bahwa ditahun 1957 seorang djanda berusia 78 tahun di Inggeris kedapatan mati bunuh diri dengan menelan obat tidur melebihi dosis. Sang djanda kemudian diangkut kerumah sakit. Enam djam kemudian polisi datang kesana, mengadakan pemeriksaan dan mendapatkan bahwa sang djanda tiba-tiba bernafas lagi. Persoalan sekarang, berapa lamakah orang harus menunggu sebelum menjatakan bahwa jang malang itu memang sudah mati. Dan kemudian tanda-tanda20apakah jang bisa dipertjaja? Hilangnja denjut nadi'? Djelas tak bisa dipegang sebagai bukti. Detak djantung jang berhenti? Terlalu sukar diketahui karena teramat lemah -- disamping mungkin sadja detak djantung itu hanja terhenti sementara. Reaksi anak mata? Djuga djelas tidak bisa dipertjaja, sebab dalam keadaan lemah reaksi-reaksi anak mata tak lagi kentara. Atau barangkali dengan melihat apakah terdjadi perubahan pada pembuluh darah dimatanja? Ketjuali mereka jang memang ahli dengan ophthalnloscope, tanda-tanda pada mata itu tidak bisa dianggap pasti. Atau katakanlah barangkali dengan metode electroardiographl atau electrelcephalography? O, belum tentu satu diantara 100 dokter membawa alat-alat jang ruwet itu bersamanja kemana-mana. Lalu bagaimana'? Toch, harus segera diputuskan apakah orang jang sudah tergeletak tak berkutik itu sudah mati atau belum. Sebab hal ini bukan sadja menjangkut masalah kaum akan tetapi djuga masalah hukum. Andjuran para dokter biasanja tentu sadja supaja memasang telinga terhadap kegiatan di dalam tubuh sang tertuduh mati dengan stethoscope. Akan tetapi diatas semua itu, rupanja jang lebih penting adalah pengalaman. Ditjeritakannja, waktu perang dunia kedua dulu adalah seorang Tionghoa dikota London menggantung diri. Dokter jang datang ketempat itu bersama-sama ambulance segera membuatkan pernafasan buatan dan terus melakukan hal demikian, sampai tiba pula seorang dokter jang lebih senior jang kemudian kira-kira berkata: "Sudah nak, tak ada gunanja. Tjina ini sudah mati sedikitnja 6 minggu!" Sebaliknja jang terdjadi dengan seorang wanita jang kedapatan tak sadar diri di tempat tidur -- djuga pengalaman ini di tjeritakan terdjadi di London. Djuga oleh petugas kesehatan wanita itu diberi pernafasan tiruan -- sampai sekian kali tanpa henti. Sampai kemudian tiba seorang dokter muda -- akan tetapi telah banjak pengalaman djuga dengan20soal-soal begini dan berkata: Tak ada gunanja kerdja kalian, djika handuk jang melilit dileher wanita itu tidak di lepaskan. Dan benar djuga. Begitu handuk dileher tadi dilepaskan, wanita itu menggelepas meskipun hanja sebentar. Donor. Soal menentukan "saat mati" ini mendjadi makin penting sekaran terutama dengan kemadjuan operasi pentjangkokan dan pemindahan onderdil tubuh orang mati kepada jang belum kena giliran dibungkus katan. Karena dalam prakteknja, dari sedjuta manusia mungkin tidak satu jang sedia mendjadi donor mata, atau buah gindjal, atau djantung kepada manusia lain jang memerlukan, maka operasi pentjangkokan atau pemindahan sangat tergantung dari donor jang sudah mati. Dan disini soalnja kian tidak mudah karena disamping harus diketahui bahwa sang donor betul sudah mati dengan tak disangsikan lagi, djuga pekerdjaan ini terikat pada waktu jang terbatas. Apa jang akan diambil dari simati, hanja bisa dipakai lagi bagi jang memerlukan djika belum liwat sekian djam. Liwat dari masa itu, seluruh tubuh almarhum -- tak ada ketjualinja -- statusnja bangkai semata. Pada suatu operasi pemindahan, jang dilakukan sesungguhnja dua operasi jang dilakukan sekaligus: jang pertama mengoperasi simajat, dan kedua mengoperasi sipasien antara kedua operasi sekaligus ini sesungguhnja para ahli bedah berpatju dengan waktu untuk menjelamatkan alat dari jang satu agar dapat dipakai untuk nmenolong hidup jang lain. Nah, apakah para dokter jang akan melakukan operasi harus menunggununggu sampai berdjam-djam dulu, sampai ada keputusan bahwa betul jang di sangka mati itu positip mati? Itupun mungkin tidak apa-apa djika ternjata saat mati jang ditunggu itu memang tepat. Tapi sekiranja tidak, artinja sesungguhnja ia telah lebih lama menanti telah lebih lama mati bukankah itu memberi kemung-kinan bahwa mata atau gindjal atau djantung dari jang mati akan kadaluwarsa sebelum sempat dipondokkan ditubuh jang baru. Sementara itu, djika pernjataan mati seseorang itu diberikan terlalu tergesa-gesa artinja mungkin ia belum mati tapi sudah dianggap sudah mati, tidakkah itu berarti pembunuhan dengan sengadja? Dan pembunuhan dengan sengadja. itulah perbuatan kriminil jang tak ada tjaranja! Djaminan hukum. Dihadapkan kepada soal rumit ini, tidak heran djika para dokter berusaha meminta djaminan hukum dalam soal penentuan mati belum ini. Dalam suatu konperensi internasional di Kopenhagen tahun 1966 misalnja diambil satu prakarsa untuk mendiskusikan masalah ini. Misalnja sudah diambil satu patokan untuk membedakan antara jang hidup dalam arti masih mungkin ada njawanja tanpa diberikan "njawa bantuan" dengan tubuh jang dapat hidup tapi dengan diberi "njawa bantuan". Jang pertama dianggap sebagai ,"masih hidup", sedang jang kedua dianggap koid. Dan karena dianggap koid, maka pala dokter itu menganggap mentjopot onderdil-onderdil jang diperlukan dari tubuh orang itu tidak lagi di anggap sebaai "pembunuhan" dan tidak melanggar "Sumpah Dokter". Tentu sadja apa jang dianggap pembunuhan oleh dokter, tidak dengan sendirinja diterima oleh mereka jang memegang patokan-patokan hukum. Karena itu meskipun untuk mendjaga kesehatannja mendjalankan hukum para pemegang hukum memerlukan pertolongan dokter, tapi pekerdjaan dokter mungkin belum bisa sepenuhnja bisa dihalalkan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus