RAKJAT di Sumatera Barat jang sudah "muno" (bahasa Minang jang
artinja lesu, lojo) sedjak 1958, sekarang sudah tidak mau lagi.
Gairah hidup dikampung-kampung bangkit kembali rasa takut
berangsur hilang, demikian menurut laporan koresponden di Padang
Chairul Harun. Lebih dari itu, perampokan perkosaan dan
perampasan hak-hak sipil setjara terang-terangan makin
berkurang. Orang tidak ketakutan lagi untuk menjimpan uang, emas
atau benda-benda berharga dirumahnja. Walau pun ketika Presiden
Soeharto berkundjung kedaerah itu (tahun 1968) rakjat jang
menjambut masih kclihatan kurang bersemangat tapi suasana djiwa
mereka dapat dikatakan sudah djauh lebih baik dari waktu-waktu
sebelumnja. Negeri jang seperti baru dikalahkan garuda itu
berusaha mengumpulkan kekuatan kembali. Sementara daerah-daerah
lain mulai membangun ketjil-ketjilan kiranja salah sekali kalau
Sumatera Barat masih terus memperturutkan ketjenderungan untuk
berketjil hati.
Tidak mempan. Menanggapi situasi jang tidak terlalu
menguntungkan ini. Gubernur Drs Harun Zain pada tahun '67
mentjanangkan strategi pembangunan daerah jang diberi nama
strategi membangkitkan harga diri rakjat. Pada tahun berikutnja
ia merasa perlu memuntjulkan strategi lain dengan sembojan
"menambah ketjakapan usaha rakjat". Ternjata sembojan tckad
sadja tidak tjukup untuk membuat rakjat mendjadi lebih
bergairah, apalagi kalau rakjat itu urang awak jang terkenal
kenes dan kritis.
Tatkala kata-kata bersajap tidak mempan lagi, pemerintah pusat
sekonjong-konjong mendjatuhkan bantuan sebesar Rp 100.000 untuk
tiap negari. Djumlah sebegini belum apa-apa terutama kalau
mengingat bahwa negari itu meliputi beberapa kampung. Tapi tentu
sadja masih lebih berarti dari strategi ini dan sembojan itu.
Kelesuan jang mulai terasa dipenghudjung tahun 69
berangsur-angsur lenjap. Uang telah menjebabkan strategi
"membangkitkan harga diri rakjat" bukan sadja tidak di
sebut-sebut, tapi malah dilangkahi begitu sadja.
Uang. Bila dibagian lain dari republik ini uang bantuan Rp
100.000 menumbuhkan swadaja rakjat dan mendorong mereka
berprestasi lebih baik maka hal seperti itu tidak akan ditemukan
dikaki gunung Merapi dan Singgalang. Mengapa? Begitu terdengar
bakal ada bantuan uang, rakjat mengambil sikap menunggu. Sesudah
itu entah bagaimana timbul sadja pendapat bahwa sekarang swadaja
ditukar sadja dengan uang. Bukankah uang sudah disediakan'?
"Setiap kerdja harus mendapat upah", kata mereka. Tidak sampai
disitu sadja. Pernah terlontar suara di DPRD Sumatera Barat
supaja gotong-rojong dihapuskan lalu diganti dengan iuran
pembangunan negeri. Gagasan jang berani ini lenjap seketika.
Tapi walaupun tidak sempat hidup, gagasan itu djelas
menundjukkan betapa uang dihargai lebih tinggi dari
kesedjahteraan bersama.
Bidang kehidupan jang lain tidak bergerak djauh dari garis itu.
Misalnja sadja mengenai koperasi dan lembaga sosial desa jang
ternjata tidak punja hak hidup lagi dikalangan masjarakat urang
awak. Ketika hal ini ditanjakan pada bupati tjamat atau kepala
negari, mereka djustru terheran-heran. Sudah tertanam dibenak
semua orang bahwa pembangunan identik dengan uang, dan urusannja
bisa bulat-bulat diserahkan dinas Pekerdjaan umum atau Dinai
Pertanian Rakjat. Dan kalaupun ada partisipasi rakjat
didalamnja, maka haruslah dinilai dengan uang. Dengan demikian
pada achirnja masalah pembangunan desa mendjadi masalah
kalkulasi dan tukang-tukang. Setidak-tidaknja itulah kesan jang
diperoleh koresponden Chairul Harun. Rupa-rupanja kebanggaan
kampung atau kerelaan kerdja-bakti bukan di Sumatera Barat 6
lagi tempatnja.
Kali-kalian. Sementara rakjat bersikap hampir-hampir sebagai
hewan-ekonomi (economic-animal), pemerintah-daerah dilain pihak
bersikap tidak djauh berbeda. Berkali-kali Gubenlur Harun Zain
menandaskan bahwa swadaja rakjat melebihi kemampuan pemerintan
daerah. Ini mungkin benar bila djelas disebutkan golongan rakjat
jang mana.
Sajang sekali bahwa gubemur hanja sampai pada perhitungan pukul
rata. Dikatakannja bahwa dengan penghasilan tjengkeh 2.500 ton
sadja pada musim panen besar, rakjat sudah bisa berbuat banjak
Rakjat jang mana'? Jang memiliki kebun tjengkeh atau jang
memburul disana? Itulah soalnja. Tapi bagi Harun Zain bukan itu
soalnja. Ia malah seperti menjeskan mengapa uang jang ada di
hamburkan untuk membeli Honda, transistor,
casette/tape-recorder- dan camera. Dalam keadaan saling mengukur
kekuatan antara pemerintah dan rakjat, tokoh-tokoh menjibukkan
diri menghitung-hitung berapa perbandingan jang tepat antara
kemampuan rakjat dan pemerintah. Seorang bupati sampai pada
kesimpulan bahwa kemampuan rakjat 7 x kemampuan pemerintah
daerah. Ada jang mengatakan 5 tapi rata-rata mengatakan 2 x
kemampuan pemerintah daerah.
Prioritas. Saling ukur kemampuan ini tidak begitu banjak artinja
bila antara kedua pihak tidak tertjipta kerdjasama jang baik,
setidak-tidaknja dalam memanfaatkan uang bantuan Rp 100.000 tiap
negari. Apa jang terdjadi tjukup memadai dibandingkan dengan
djumlah uang tersebut. Bahkan memurut Harun Zain nilai kerdja
rakjat dalam menggunakan uang tersebut sangat tinggi. Pada tahun
69/70 dengan Rp 70 djuta sudah dapat diselesaikan 1.396 projek
negari. Seluruh projek ini menghabiskan Rp 157.272.248,50 dan
kedalamnja termasuk swadaja rakjat sebesar Rp 92.364. 988,50.
Tentu sadja uang rakjat lebih banjak dari bantuan pusat. Adapun
jang mendapat prioritas utama untuk dibangun adalah
djalan-djalan kampung, pengairan, djembatan dan pasar. Dengan
prioritas jang sama pada tahun '70/71 telah dihabiskan Rp 90
djuta subsidi pusat tambah Rp 125.164.540 uang rakjat tambah
lagi bantuan pemerintah propinsi sebanjak hanja Rp 3.792.231.
Seluruh dana itu digunakan untuk membiajai 1.461 projek. Untuk
tahun '71/72 Sumatera Barat mengharapkan dapat bantuan pusat
sebanjak Rp 100 djuta.
Tidak sesuai. Kerdja membangun walaupun ketjil-ketjilan adalah
kerdja jang menggembirakan, apalagi kalau hasil-hasil jang
ditjapai sesuai dengan djumlah dana jang dikeluarkan. Tapi
banjak projek jang djadi tidak menundjukkan kesesuaian. Apa jang
dilihat dikabupaten Padang Pariaman, Agam, Tanah Datar, Pasaman
dan Pesisir Selatan menundjukkan bahwa mutu projek tidak sesuai
dengan biaja. Nilai rata-rata hanja mentjapai 60 s/d 75%, sedang
sebagian besar bangunan jang sudah berdiri kelihatan
atjak-atjakan. Ini djelas diakibatkan oleh perbuatan jang
tergesa-gesa.
Disamping itu perbaikan djalan tanpa pengaspalan djuga tidak
akan banjak menolong. Djalan itu akan hantjur segera baik karena
tonase kendaraan djang liwat maupun karena berlumpur bila musim
hudjan tiba. Dalam pada itu perbaikan pasar negari belum
merupakan djaminan bahwa volume perdagangan disana akan
meningkat. Tenaga kerdja hanja tertampung sementara oleh
projek-projek Rp 100.000. Ini suatu hal jang sangat dimaklumi
karena pemanfaatan uang itu tidak untuk sektor produksi.
Bagaimanapun djuga dengan banjak tjatjat disana-sini, tapi
dihati rakjat setidak-tidaknja terbetik tentang adanja suatu
pemerintah pusat direpublik ini jang menaruh perhatian pada
kampung-kampung nan djauh dimato.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini