Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Strategi harga diri

Gubernur sumbar harun zain, tahun 1967 mencanangkan strategi pembangunan dengan nama strategi membangkitkan harga diri. gotong royong di sumbar sudah tak ada lagi. pemerintah menymbang dana pembangunan

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAKJAT di Sumatera Barat jang sudah "muno" (bahasa Minang jang artinja lesu, lojo) sedjak 1958, sekarang sudah tidak mau lagi. Gairah hidup dikampung-kampung bangkit kembali rasa takut berangsur hilang, demikian menurut laporan koresponden di Padang Chairul Harun. Lebih dari itu, perampokan perkosaan dan perampasan hak-hak sipil setjara terang-terangan makin berkurang. Orang tidak ketakutan lagi untuk menjimpan uang, emas atau benda-benda berharga dirumahnja. Walau pun ketika Presiden Soeharto berkundjung kedaerah itu (tahun 1968) rakjat jang menjambut masih kclihatan kurang bersemangat tapi suasana djiwa mereka dapat dikatakan sudah djauh lebih baik dari waktu-waktu sebelumnja. Negeri jang seperti baru dikalahkan garuda itu berusaha mengumpulkan kekuatan kembali. Sementara daerah-daerah lain mulai membangun ketjil-ketjilan kiranja salah sekali kalau Sumatera Barat masih terus memperturutkan ketjenderungan untuk berketjil hati. Tidak mempan. Menanggapi situasi jang tidak terlalu menguntungkan ini. Gubernur Drs Harun Zain pada tahun '67 mentjanangkan strategi pembangunan daerah jang diberi nama strategi membangkitkan harga diri rakjat. Pada tahun berikutnja ia merasa perlu memuntjulkan strategi lain dengan sembojan "menambah ketjakapan usaha rakjat". Ternjata sembojan tckad sadja tidak tjukup untuk membuat rakjat mendjadi lebih bergairah, apalagi kalau rakjat itu urang awak jang terkenal kenes dan kritis. Tatkala kata-kata bersajap tidak mempan lagi, pemerintah pusat sekonjong-konjong mendjatuhkan bantuan sebesar Rp 100.000 untuk tiap negari. Djumlah sebegini belum apa-apa terutama kalau mengingat bahwa negari itu meliputi beberapa kampung. Tapi tentu sadja masih lebih berarti dari strategi ini dan sembojan itu. Kelesuan jang mulai terasa dipenghudjung tahun 69 berangsur-angsur lenjap. Uang telah menjebabkan strategi "membangkitkan harga diri rakjat" bukan sadja tidak di sebut-sebut, tapi malah dilangkahi begitu sadja. Uang. Bila dibagian lain dari republik ini uang bantuan Rp 100.000 menumbuhkan swadaja rakjat dan mendorong mereka berprestasi lebih baik maka hal seperti itu tidak akan ditemukan dikaki gunung Merapi dan Singgalang. Mengapa? Begitu terdengar bakal ada bantuan uang, rakjat mengambil sikap menunggu. Sesudah itu entah bagaimana timbul sadja pendapat bahwa sekarang swadaja ditukar sadja dengan uang. Bukankah uang sudah disediakan'? "Setiap kerdja harus mendapat upah", kata mereka. Tidak sampai disitu sadja. Pernah terlontar suara di DPRD Sumatera Barat supaja gotong-rojong dihapuskan lalu diganti dengan iuran pembangunan negeri. Gagasan jang berani ini lenjap seketika. Tapi walaupun tidak sempat hidup, gagasan itu djelas menundjukkan betapa uang dihargai lebih tinggi dari kesedjahteraan bersama. Bidang kehidupan jang lain tidak bergerak djauh dari garis itu. Misalnja sadja mengenai koperasi dan lembaga sosial desa jang ternjata tidak punja hak hidup lagi dikalangan masjarakat urang awak. Ketika hal ini ditanjakan pada bupati tjamat atau kepala negari, mereka djustru terheran-heran. Sudah tertanam dibenak semua orang bahwa pembangunan identik dengan uang, dan urusannja bisa bulat-bulat diserahkan dinas Pekerdjaan umum atau Dinai Pertanian Rakjat. Dan kalaupun ada partisipasi rakjat didalamnja, maka haruslah dinilai dengan uang. Dengan demikian pada achirnja masalah pembangunan desa mendjadi masalah kalkulasi dan tukang-tukang. Setidak-tidaknja itulah kesan jang diperoleh koresponden Chairul Harun. Rupa-rupanja kebanggaan kampung atau kerelaan kerdja-bakti bukan di Sumatera Barat 6 lagi tempatnja. Kali-kalian. Sementara rakjat bersikap hampir-hampir sebagai hewan-ekonomi (economic-animal), pemerintah-daerah dilain pihak bersikap tidak djauh berbeda. Berkali-kali Gubenlur Harun Zain menandaskan bahwa swadaja rakjat melebihi kemampuan pemerintan daerah. Ini mungkin benar bila djelas disebutkan golongan rakjat jang mana. Sajang sekali bahwa gubemur hanja sampai pada perhitungan pukul rata. Dikatakannja bahwa dengan penghasilan tjengkeh 2.500 ton sadja pada musim panen besar, rakjat sudah bisa berbuat banjak Rakjat jang mana'? Jang memiliki kebun tjengkeh atau jang memburul disana? Itulah soalnja. Tapi bagi Harun Zain bukan itu soalnja. Ia malah seperti menjeskan mengapa uang jang ada di hamburkan untuk membeli Honda, transistor, casette/tape-recorder- dan camera. Dalam keadaan saling mengukur kekuatan antara pemerintah dan rakjat, tokoh-tokoh menjibukkan diri menghitung-hitung berapa perbandingan jang tepat antara kemampuan rakjat dan pemerintah. Seorang bupati sampai pada kesimpulan bahwa kemampuan rakjat 7 x kemampuan pemerintah daerah. Ada jang mengatakan 5 tapi rata-rata mengatakan 2 x kemampuan pemerintah daerah. Prioritas. Saling ukur kemampuan ini tidak begitu banjak artinja bila antara kedua pihak tidak tertjipta kerdjasama jang baik, setidak-tidaknja dalam memanfaatkan uang bantuan Rp 100.000 tiap negari. Apa jang terdjadi tjukup memadai dibandingkan dengan djumlah uang tersebut. Bahkan memurut Harun Zain nilai kerdja rakjat dalam menggunakan uang tersebut sangat tinggi. Pada tahun 69/70 dengan Rp 70 djuta sudah dapat diselesaikan 1.396 projek negari. Seluruh projek ini menghabiskan Rp 157.272.248,50 dan kedalamnja termasuk swadaja rakjat sebesar Rp 92.364. 988,50. Tentu sadja uang rakjat lebih banjak dari bantuan pusat. Adapun jang mendapat prioritas utama untuk dibangun adalah djalan-djalan kampung, pengairan, djembatan dan pasar. Dengan prioritas jang sama pada tahun '70/71 telah dihabiskan Rp 90 djuta subsidi pusat tambah Rp 125.164.540 uang rakjat tambah lagi bantuan pemerintah propinsi sebanjak hanja Rp 3.792.231. Seluruh dana itu digunakan untuk membiajai 1.461 projek. Untuk tahun '71/72 Sumatera Barat mengharapkan dapat bantuan pusat sebanjak Rp 100 djuta. Tidak sesuai. Kerdja membangun walaupun ketjil-ketjilan adalah kerdja jang menggembirakan, apalagi kalau hasil-hasil jang ditjapai sesuai dengan djumlah dana jang dikeluarkan. Tapi banjak projek jang djadi tidak menundjukkan kesesuaian. Apa jang dilihat dikabupaten Padang Pariaman, Agam, Tanah Datar, Pasaman dan Pesisir Selatan menundjukkan bahwa mutu projek tidak sesuai dengan biaja. Nilai rata-rata hanja mentjapai 60 s/d 75%, sedang sebagian besar bangunan jang sudah berdiri kelihatan atjak-atjakan. Ini djelas diakibatkan oleh perbuatan jang tergesa-gesa. Disamping itu perbaikan djalan tanpa pengaspalan djuga tidak akan banjak menolong. Djalan itu akan hantjur segera baik karena tonase kendaraan djang liwat maupun karena berlumpur bila musim hudjan tiba. Dalam pada itu perbaikan pasar negari belum merupakan djaminan bahwa volume perdagangan disana akan meningkat. Tenaga kerdja hanja tertampung sementara oleh projek-projek Rp 100.000. Ini suatu hal jang sangat dimaklumi karena pemanfaatan uang itu tidak untuk sektor produksi. Bagaimanapun djuga dengan banjak tjatjat disana-sini, tapi dihati rakjat setidak-tidaknja terbetik tentang adanja suatu pemerintah pusat direpublik ini jang menaruh perhatian pada kampung-kampung nan djauh dimato.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus