DALAM lekukan selat yang memisahkan Pulau Rupat dengan Riau
daratan, terletak Dumai, pelabuhan minyak Indonesia yang
penting. Di daerah itu terdapat tujuh makam putri, yang konon
pernah mengharumkan sejarah negeri itu. Kini kilang minyak di
Dumai yang mampu mengolah 100 ribu barrel (1 barrel = lebih
kurang 159 liter) sehari--terbesar setelah kilang minyak
Plaju-diberi nama Kilang Minyak Putri Tujuh.
Untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi kilang minyak di
Indonesia, Pertamina bermaksud memperluas Kilang Minyak Putri
Tujuh di Dumai dengan satu unit hydrocracker yang mampu mengolah
85 ribu barrel sehari (b/h). Pekan lalu Menteri Pertambangan dan
Energi, Prof. Dr. Subroto menjelaskan bahwa dua kontraktor
Spanyol--"Centunion" dan "Technidas Unidas"--terpilih sebagai
pelaksana pembangunan hydrocracker itu.
Baru Bahan Baku
Teknologi kilang minyak Indonesia belum mampu mengolah komponen
berat minyak mentah seperti LSWR (Low Sulphur Waxy Residue)
secara sempurna. Sebelumnya LSWR itu diekspor, namun kemelut
yang meliputi pasaran minyak internasional -- terutama setelah
revolusi kan--menyebabkan kebijaksanaan ini makin sukar
ditempuh. Karena itu, di samping berbagai pertimbangan lain,
diputuskan untuk membangun sebuah unit hydrocracking di Dumai.
Tujuannya, tentu, agar LSWR dan komponen minyak mentah lainnya
dapat diolah menjadi, terutama, minyak tanah, bensin dan solar.
Meskipun namanya terdengar seperti kuweh renyah yang tawar,
hydrocracker adalah benda rumit. Sebagai unit pengolahan minyak
mentah yang paling mutakhir, ia dapat menghasilkan minyak tanah,
bensin dan solar, secara sempurna dari komponen berat minyak
mentah. Ia juga bisa mengubah berbagai gas nafta menjadi LPG dan
menghasilkan bermacam bahan baku untuk industri petrokimia.
Minyak mentah, atau minyak bumi, adalah campuran kompleks
berbagai zat yang terbentuk dari atom hidrogen dan atom karbon.
Maka sering juga disebut zat hidrokarbon. Karena perbandingan
jumlah dan susunan kedua jenis atom itu berbeda-beda, terdapat
ratusan jenis zat hidrokarbon. Komposisi berbagai zat itu dalam
minyak mentah tidak konstan, hingga wujud dan sifat minyak
mentah pun saling berbeda.
Minyak dalam berbentuk ini tak dapat dipakai. Ia hanya merupakan
bahan baku, seperti halnya tnaman tebu yang baru ditebang
merupakan bahan baku bagi industri gula. Agar jadi ribuan macam
produk, minyak mentah itu harus diolah melalui serangkaian
proses yang dikenal sebagai "pengilangan". Nama ini sebetulnya
kurang tepat, karena minyak mentah itu tidak "dikilang"
(diperas) seperti halnya tebu, melainkan "disuling".
Tahap pertama dalam proses "pengilangan" itu adalah penyulingan.
Proscs ini -- sering juga disebut topping (menyadap "kepala")
--memisahkan komponen ringan seperti gas nafta dan bensin dari
komponen berat lainnya.
Dalam proses itu rninyak mentah dipanaskan dalam pipa sampai
300øC lalu disalurkan ke dalam menara pengulai. Menara ini
adalah sebuah tabung raksasa terbuat dari baja. Dalam tabung
itu--terkadang mencapai ketinggian 45 m--terdapat sejumlah besar
sekat berlubang. Minyak panas itu segera menguap dan naik ke
puncak (top) tabung itu. Makin tinggi uap itu naik, makin turun
suhunya dan secara bertahap mengembun di atas berbagai sekat
itu, sesuai titik didih masing-masing zat.
Bensin, misalnya, mengembun pada sekat-sekat paling atas. Minyak
tanah dan solar pada sekat yang lebih rendah. Pada sekat-sekat
paling bawah mengalir residu dan aspal. Melalui saluran pada
masing-masing sekat, berbagai produk itu bisa disadap untuk
pengolahan lebih lanjut.
Prestasi Gemilang
Proses penyulingan menguraikan minyak mentah menjadi berbagai
komponen, namun mutunya masih amat kasar. Setiap komponen masih
terdiri dari ratusan jenis zat hidrokarbon yang berbeda dan
belum memenuhi syarat kebutuhan teknologi dunia modern sekarang.
Selain itu efisiensinya juga rendah. Misalnya bensin yang
diperoleh hanya 20%, padahal dari komponen berat minyak mentah
masih bisa diperoleh hampir sebanyak itu lagi. Karena itu
berbagai komponen itu diolah lebih lanjut.
Tahap pengolahan selanjutnya disebut cracking (merekah). Molekul
hidrokarbon yang besar dipecah jadi molekul kecil. Caranya
dengan memanaskan komponen berat minyak mentah dan kemudian
diembunkan dalam tabung pengurai di bawah tekanan kini.
Proses ini dinamakan thermal cracking dan mulai dipakai sejak
tahun 1913. Penyempurnaan proses ini ditemukan tahun 1937.
Karena menggunakan katalis ia disebut cataltic cracking.
Katalis adalah zat yang mampu memancing reaksi kimia antara
berbagai zat, tanpa ia kemudian menjadi bagian dari senyawa baru
itu. Merekah molekul besar dengan bantuan katalis menghasilkan
produk lebih sempurna, karena prosesnya lebih mudah terkontrol.
Secara ringkas proses hydrocracking mirip catalytic cracking,
hanya prosesnya berlangsung dalam suasana kehadiran zat hidrogen
di bawah tekanan tinggi Karena tekanan ini (yang berkisar antara
70 sampai 140 kg/cmÿFD) perlatan berupa tangki reaksi harus
berdinding tebal. Karena besarnya, disain sebuah unit
hydrocracker merupakan suatu pencapaian gemilang teknologi.
Karenanya peralatan itu sangat mahal. Meskipun demikian
prosesnya sangat luwes dan dapat digunakan untuk mengolah
ratusan jenis produk minyak bermutu tinggi, guna memenuhi setiap
tuntutan teknologi modern.
Sangat Mahal
Setiap hari jutaan barrel minyak mentah dikilang di seluruh
dunia, menjadi ratusan produk minyak, terutama bahan bakar
minyak (BBM). Indonesia memiliki 9 buah kilang minyak. Meskipun
kapasitas totalnya 526 ribu b/h, hasil nyata baru mencapai 400
ribu b/h. Dari jumlah ini 225 ribu b/h terolah menjadi BBM.
Perinciannya: 13% bensin dan gas nafta, 43% minyak tanah dan
solar serta 44% residu dan aspal.
Tahun 1980 kebutuhan BBM di Indonesia akan mencapai 420 ribu
b/h. Kekurangan 195 b/h harus diimpor, yang tentunya makin sulit
dalam kekisruhan pasaran minyak internasional dan pasti sangat
mahal. Di sini tampak jelas perlunya memperluas kapasitas dan
meningkatkan efisiensi kilang minyak Indonesia.
Program Pertamina sudah menjawab tantangan ini. Selain kilang
Dumai diperluas dengan hydrocracker, kilang minyak di Cilacap
dan Balikpapan juga akan diperbesar kapasitasnya. Bahkan di
Pulau Batam akan dibangun sebuah kilang minyak raksasa dengan
kapasitas 200 ribu b/h, yang kelak mengolah minyak dari Lapangan
Minas di Riau dan dari Kuwait. Juga dua buah kilang minyak
direncanakan pembangunannya di Indonesia Timur kelak.
Semuanya diharapkan sudah dapat beroperasi menjelang akhir
Pelita III. Apalagi diperkirakan menjelang tahun 1985,
kebutuhan BBM di Indonesia akan mencapai 600 ribu b/h.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini