Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Adik ipar pak kepda

Adik ipar seorang kepda didudukkan pada jabatan tinggi di suatu pn. sang direktur tak suka karena sang adik ipar tak cakap. lebih runyam lagi, ternyata si kepda terpilih lagi memimpin daerahnya.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG saya maksud dengan Kepda di sini bisa berarti camat, atau bupati, atau bisa juga gubernur. Itu tak penting benar. Yang menjadi pokok soal di sini hanyalah bahwa Pak Kepda yang hendak saya bicarakan ini punya seorang adik ipar, laki-laki. Seorang pria yang masih muda, dan sudah punya keluarga, sudah tentu harus punya pekerjaan tetap yang dapat dijadikan andalan nafkah hidup keluarganya. Kalau bisa pekerjaan itu harus cukup ringan, tapi yang secara finansial harus sekaligus juga cukup berbobot. Bagi seorang lelaki yang kebetulan punya kakak ipar yang jadi Kepda, target semacam ini tidak merupakan hal yang sulit buat mencapainya. Dengan secarik kertas yang oleh orang Belanda disebut kattebelletje, dan yang di pojok kiri atasnya dibubuhi catatan Eyes Only, serta di sudut kanan bawahnya dihiasi dengan tandatangan Kepda, maka kehendak sang adik ipar pun terwujudlah. Ia berhasil didudukkan pada sebuah kursi yang cukup tinggi di satu perusahaan yang disebut PN, sebuah maskapai milik gupernemen yang kebetulan juga menjadi salah satu sumber penghasilan devisa bagi republik kita. Kursi yang cukup tinggi di sebuah perusahaan yang cukup basah, yang bisa diperoleh dalam tempo yang sedemikian cepat, tentulah merupakan suatu anugerah yang tak dapat diperoleh oleh sembarang orang (dengan cara yang wajar). Demikianlah maka sang adik ipar pun bercokol di situ dengan segala kenyamanannya. Nyaman bagi dirinya sendiri. tapi ternyata tidak bagi dir-ut perusahaan tersebut. Sebab ternyata si adik ipar itu tidak becus apa-apa. Artinya, kedudukan yang dinikmatinya itu jauh terlalu tinggi dibandingkan dengan kemampuan tempurung kepalanya. Tentu saja Pak Dirut merasa ketiban abu anget. Dan bukan dia saja yang kebingungan, malahan para rekan dan bawahan si adik ipar itu sendiri pun juga merasa jengkel. Bayangkan saja. Banyak pekerjaan yang tak dapat diselesaikan dengan baik olehnya, yang terpaksa harus diulang-kerjakan atau dibenahi kembali oleh rekan-rekan atau petugas rendahannya. Tapi apa mau dikata. Secara zakelijk dan businesslike wewenang Pak Dirut mestinya lebih tinggi dari kedudukan sang adik ipar. Tapi secara situasional dan kondisional, dipandang dari sudut politik praktis, kekebalan adik ipar Kepda itu ternyata lebih kokoh ketimbang wewenang yang ada di tangan Bapak Dirut. Demikianlah sang waktu pun berjalan dengan gontainya, sampai pada suatu hari termuat berita yang menyebutkan bahwa masa jabatan Pak Kepda kita itu sudah hampir mencapai ujungnya. Malahan beberapa nama sudah disebut-sebut sebagai calon penggantinya, yang harus digodok lebih dulu di DPRL (DPR Lokal). Biasanya dirut PN kita tidak pernah ambil peduli terhadap soal-soal politik semacam itu. Siapa pun yang jadi Kepda di wilayahnya tak menjadi soal benar baginya, sebab ia termasuk seorang karyawan yang monoloyalitas kekaryawanannya cukup tebal. Tapi kali ini lain. Pak Dirut tiba-tiba menaruh pe atiall atas pergantian Kepda. Yang menjadi masalah baginya bukan Pak Kepdanya itu, tapi adik iparnya. Kalau Kepda itu diganti, pekerjaan pertama yang akan dilakukan olehnya ialah .... memberhentikan sang adik ipar dengan uang pesangon yang cukup tebal sebagai tanda "ganti-rugi". Ketika ia mendengar kabar bahwa masa jabatan Pak Kepda kita mungkin tidak akan diperpanjang, artinya tipis kemungkinan ia akan turut dicalonkan kembali, Pak Dirut tampak lebih gembira lagi. Sikapnya terhadap sang adik ipar pun mulai berubah. Ia tampak lebih berwibawa. Sebaliknya kelihatan pula perubahan sikap pada pihak si adik ipar. Ia kini menunjukkan perangai yang lebih low-profiled. Lebih tahu diri. Namun, ketika terbetik berita baru yang menyebutkan bahwa masih ada kemungkinan yang Kepda kita itu bisa diealonkan sekali lagi, gerak angin pun balik kembali ke arah semula. Pak Dirut tampak mengerut, sedangkan wajah dan lagak gaya sang adik ipar pun kembali memperlihatkan helangnya seperti sediakala. Pak Dirut kita yang dulu-dulunya tidak pernah mengenal seni dan ilmu pemerintahan, kini secara tidak langsung ikut terlibat dengan suatu jenis akrobatik politik dalam ukuran mini. Sebagai seorang karyawan ia tidak punya pengaruh untuk bisa ikut menentukan pemilihan Kepda di wilayahnya. Satu-satunya kegiatan politik praktis yang bisa dilakukannya, sebagai atasan dari seorang adik ipar Kepda, hanyalah .... menghitung jumlah tiang dari pagar besi yang mengelilingi halaman rumahnya. Tentunya bukan menghitung jumlah dengan angka biasa, melainkan dengan cara yang oleh Einstein disebut quantum theory: terpilih-tidak, terpilih tidak, .......dan seterusnya. Tapi ia tidak bisa terus, sebab kepalanya keburu pening dan ia takut kalau-kalau hitungan terakhir jatuh pada kata "terpilih" ..... Demikianlah maka ketika Pak Dirut akhirnya membaca berita di koran yang menyebutkan bahwa Pak Kepda kita itu berhasil terpilih kembali menjadi pembesar tertinggi di wilayah pemukimannya, ia merasa seolah-olah ada orang yang bertenaga raksasa yang telah mendorong kepalanya ke bawah sehingga ia terbenam dalam kursinya. Setelah berkontemplasi untuk waktu yang cukup lama, barulah ia bangkit kembali, buat menyongsong sikon yang toh tak dapat dihindarinya itu. Pekerjaan pertama yang dilakukannya ialah, menyalami sang adik ipar sambil mengucapkan selamat atas terpilihnya kembali kakak iparnya sebagai Kepda. Dan pekerjaan kedua yang dilakukannya: kembali ke tempat duduk semula, sambil mengucapkan kata "sialan" .... di dalam hati. Beberap menit kemudian, ketika seorang anggota staf direksinya masuk ke dalam kamar kerjanya, Pak Dirut kita ini menggumam (dalam bahasa Inggris): "Just ten me, who's in charge here anyway?" Pegawai PN yang pandai berbahasa Inggris itu hanya tersenyum saja. Ia mafhum benar, begitulah sang sikon punya mau . . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus