Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Empat Wanita Dan Sejumlah Patung

Pameran 4 pematung wanita dari yogya dan jakarta: wasilah, dolorosa, edith dan hildawati. tapi tak ada bedanya dengan karya pematung pria.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMERAN lukisan pelukis wanita sudah jamak. Tapi pameran patung pematung wanita? Konon inilah yang pertama kalinya. Dolorosa Sinaga dith Ratna, Wasilah dan Hildawati Siddharta bersama-sama menyuguhkan karya patung di galeri di Mitra Budaya, Jakarta akhir Juni ini. Kaum Wanita seakan bergotong-royong untuk itu. Sebab tak cuma patung. Gagasan pameran ini Juga muncul dan seorang pematung wanita California. Francine Granau, yang berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu. Sambutan dan pembukaan pameran dilakukan oleh Ny. Haryati Subadio, Dirjen Kebudayaan. Pengantar ditulis oleh Dr. Tuti Nurhadi, dosen filsafat di Fakultas Sastra UI. Ada juga sebuah sajak karya Ny Bibsy Soenharjo, dalam bahasa Inggris, dan dia ini juga yang menginggriskan segala sesuatu dalam katalogus. Tapi adakah sesuatu yang memang khas wanita pada pameran ini? Susah dijawab. Karya-karya Dolorosa misalnya, yang sebagian besar adalah patung kayu, terlalu dicari-cari bila orang mencoba menemukan sesuatu yang khas wanita di situ. Meski dia mengerjakan patungnya seringkali tanpa bantuan tukang. Dari mencari kayu sampai sentuhan terakhirnya tangannya sendirilah yang bekerja. Nona berusia 28 tahun ini rupanya merasa cukup kuat mengayun kapak membentuk patung. Toh, di situ bagi penonton tak cukup bukti kuat, bahwa memang ada perbedaan pahatan lelaki dan wanita. Lagi Wasilah, 34 tahun, sarjana muda Sekolah Tinggi Seni rupa Asri, Yogya, memang ada suka-duka sebagai pematung wanita. Tak mempunyai studio khusus, dalam berkarya ia selalu diganggu tiga anaknya (yang tertua masih duduk di kelas I SD). Bekerja sebagai guru di Sekolah Seni rupa, dia tak banyak berani bereksperimen. "Tak ada uang untuk itu," bisiknya. Lima patung semennya yang dipamerkan ini dibuatnya dengan tergesa hanya dalam waktu sekitar sebulan. Itu pun pengecorannya diserahkan kepada tukang. Memang terasa potensinya sebagai pematung monumental: bentuk yang sederhana dengan komposisi menjulang. Tapi juga terasa kurang ada pengendapan. Di sana-sini ada tonjolan bentuk yang kurang pas. Mungkin karena gangguan anak-anak, mungkin karena tergea-gesa tadi. Wasilah dulu bersekolah di SKKP jurusan kerajinan tangan. Gurunyalah yang menyarankannya masuk seni patung Asri. Tak sia-sia. Kemudian ia masuk anggota Sanggarbambu dan ternyata dipercaya untuk mengerjakan pesanan patung dan boneka. Salah satu karyanya: patung boneka di Taman Mini. Dalam soal kerja keras, istri wartaw,in ini tak berbeda dengan laki-laki. lalah ketika mengandung anak pertama, 1974 (waktu itu suaminya lagi menganggur, karena korannya, di Surabaya, ditutup setelah peristiwa 15 Januari 1974) ia terpaksa ikut menggarap patung di Taman Mini Jakarta. Untunglah, tahun berikutnya ia ditarik mengajar di Sekolah Seni rupa, Yogya. Ny. Edith tak banyak punya cerita. Seperti lazimnya lulusan Seni rupa ITB ia berdisiplin dalam soal kerja dan pemilihan material. Juga ia lebih menonjolkan segi fisik patungnya. Terasa bahwa karyanya merupakan usaha pengisi ruang dengan sesuatu bentuk yang unik. Kasa ham tipis, meskipun ia ingin memadukan emosi dan rasio. Satu karyanya, Dialog III, memang lain. Sebentuk kayu mahoni, diwarna coklat tua, tergolek melengkung berbentuk pipa Pada sisi dalam lengkungan ada goresan. Terasa lucu. Mungkin karena itu kayu tapi mengesankan satu benda lunak. Edith, 34 tahun, nampaknya lebih berhasil dengan kayu daripada material yang lain. Adapun Hilda, 35 tahun, berangkat dari pijakan yang lain. Yang dipelajarinya ialah seni keramik. Setelah belajar beberapa tahun di Amerika Serikat, akhirnya istri seorang arsitek ini paham keramik memiliki berbagai kemungkinan pula. Dan garapannya ternyata tak janggal bila dipamerkan bersama karya-karya patung. Boleh disebut karya Hilda adalah patung keramik. Perbedaannya yang nyata dengan karya pematung, keramik Hilda biasanya terdiri dari himpunan, bukan sesuatu yang tunggal. Dengan begitu, sesungguhnya ia lebih menggarap ruang secara konkrit dibanding pematung. Dan dengan begitu pula karyanya akan lebih saling pengaruh-mempengaruhi dengan ruang tempat karya itu ditaruh. Satu contoh, karyanya yang dulu terdiri dari 15 bola keramik pada pameran tunggalnya di Taman Ismail Maruki dulu, kini menjadi 21 bola keramik. Mungkin karena kebutuhan untuk mengisi ruang yang lebih luas, mungkin pula ada sesuatu yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus