PAMERAN lukisan pelukis wanita sudah jamak. Tapi pameran patung
pematung wanita? Konon inilah yang pertama kalinya. Dolorosa
Sinaga dith Ratna, Wasilah dan Hildawati Siddharta
bersama-sama menyuguhkan karya patung di galeri di Mitra Budaya,
Jakarta akhir Juni ini.
Kaum Wanita seakan bergotong-royong untuk itu. Sebab tak cuma
patung. Gagasan pameran ini Juga muncul dan seorang pematung
wanita California. Francine Granau, yang berkunjung ke Indonesia
beberapa waktu lalu. Sambutan dan pembukaan pameran dilakukan
oleh Ny. Haryati Subadio, Dirjen Kebudayaan. Pengantar ditulis
oleh Dr. Tuti Nurhadi, dosen filsafat di Fakultas Sastra UI. Ada
juga sebuah sajak karya Ny Bibsy Soenharjo, dalam bahasa
Inggris, dan dia ini juga yang menginggriskan segala sesuatu
dalam katalogus.
Tapi adakah sesuatu yang memang khas wanita pada pameran ini?
Susah dijawab.
Karya-karya Dolorosa misalnya, yang sebagian besar adalah patung
kayu, terlalu dicari-cari bila orang mencoba menemukan sesuatu
yang khas wanita di situ. Meski dia mengerjakan patungnya
seringkali tanpa bantuan tukang. Dari mencari kayu sampai
sentuhan terakhirnya tangannya sendirilah yang bekerja. Nona
berusia 28 tahun ini rupanya merasa cukup kuat mengayun kapak
membentuk patung. Toh, di situ bagi penonton tak cukup bukti
kuat, bahwa memang ada perbedaan pahatan lelaki dan wanita.
Lagi Wasilah, 34 tahun, sarjana muda Sekolah Tinggi Seni rupa
Asri, Yogya, memang ada suka-duka sebagai pematung wanita. Tak
mempunyai studio khusus, dalam berkarya ia selalu diganggu tiga
anaknya (yang tertua masih duduk di kelas I SD). Bekerja
sebagai guru di Sekolah Seni rupa, dia tak banyak berani
bereksperimen. "Tak ada uang untuk itu," bisiknya.
Lima patung semennya yang dipamerkan ini dibuatnya dengan
tergesa hanya dalam waktu sekitar sebulan. Itu pun pengecorannya
diserahkan kepada tukang. Memang terasa potensinya sebagai
pematung monumental: bentuk yang sederhana dengan komposisi
menjulang. Tapi juga terasa kurang ada pengendapan. Di sana-sini
ada tonjolan bentuk yang kurang pas. Mungkin karena gangguan
anak-anak, mungkin karena tergea-gesa tadi.
Wasilah dulu bersekolah di SKKP jurusan kerajinan tangan.
Gurunyalah yang menyarankannya masuk seni patung Asri. Tak
sia-sia. Kemudian ia masuk anggota Sanggarbambu dan ternyata
dipercaya untuk mengerjakan pesanan patung dan boneka. Salah
satu karyanya: patung boneka di Taman Mini.
Dalam soal kerja keras, istri wartaw,in ini tak berbeda dengan
laki-laki. lalah ketika mengandung anak pertama, 1974 (waktu
itu suaminya lagi menganggur, karena korannya, di Surabaya,
ditutup setelah peristiwa 15 Januari 1974) ia terpaksa ikut
menggarap patung di Taman Mini Jakarta. Untunglah, tahun
berikutnya ia ditarik mengajar di Sekolah Seni rupa, Yogya.
Ny. Edith tak banyak punya cerita. Seperti lazimnya lulusan Seni
rupa ITB ia berdisiplin dalam soal kerja dan pemilihan
material. Juga ia lebih menonjolkan segi fisik patungnya. Terasa
bahwa karyanya merupakan usaha pengisi ruang dengan sesuatu
bentuk yang unik. Kasa ham tipis, meskipun ia ingin memadukan
emosi dan rasio.
Satu karyanya, Dialog III, memang lain. Sebentuk kayu mahoni,
diwarna coklat tua, tergolek melengkung berbentuk pipa Pada sisi
dalam lengkungan ada goresan. Terasa lucu. Mungkin karena itu
kayu tapi mengesankan satu benda lunak. Edith, 34 tahun,
nampaknya lebih berhasil dengan kayu daripada material yang
lain.
Adapun Hilda, 35 tahun, berangkat dari pijakan yang lain. Yang
dipelajarinya ialah seni keramik. Setelah belajar beberapa tahun
di Amerika Serikat, akhirnya istri seorang arsitek ini paham
keramik memiliki berbagai kemungkinan pula. Dan garapannya
ternyata tak janggal bila dipamerkan bersama karya-karya patung.
Boleh disebut karya Hilda adalah patung keramik.
Perbedaannya yang nyata dengan karya pematung, keramik Hilda
biasanya terdiri dari himpunan, bukan sesuatu yang tunggal.
Dengan begitu, sesungguhnya ia lebih menggarap ruang secara
konkrit dibanding pematung. Dan dengan begitu pula karyanya akan
lebih saling pengaruh-mempengaruhi dengan ruang tempat karya itu
ditaruh. Satu contoh, karyanya yang dulu terdiri dari 15 bola
keramik pada pameran tunggalnya di Taman Ismail Maruki dulu,
kini menjadi 21 bola keramik. Mungkin karena kebutuhan untuk
mengisi ruang yang lebih luas, mungkin pula ada sesuatu yang
lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini