DINIHARI akhir Juni 1980. Sebuah fery menembus kabut dingin
Sungai Siak. Kapal penumpang yang punya trayek
Tanjungpinang-Selat panjang Pekanbaru itu, meluncur dengan
lambat.
Pekanbaru masih 2 jam di depan. Tapi puluhan penumpang sudah
hiruk pikuk di bibir geladak. Sebentar kemudian remang-remang
tampak sampan-sampan merapat di tubuh fery. Kesibukan terus
memuncak. Barang-barang dibongkar. Peti susu, kopor pakaian
jadi, pecah-belah dan barang-barang lainnya dioper ke atas
sampan.
"Sudah? Cepat sedikit, cepat sedikit, nanti ada patroli ! "
teriak awak kapal memperingatkan. Dalam tempo singkat,
sampan-sampan dengan muatan yang sarat tadi lenyap ditelan
gelap.
Usaha "menembakkan" barang-barang gelap di malam buta, dengan
risiko jatuh ke sungai dan dilumat arus adalah pemandangan rutin
di tempat itu. Orang Riau menyebutnya "menggaleh " atau
"menggalas", yaitu kucing-kucingan antara pedagang-pedagang
dengan petugas pabean. Pelakunya wanita-wanita yang berani
mengambil risiko. Kalau sempat tertangkap basah, menangis,
merengek, mam mata atau apa saja biasa terjadi asal dapat lolos.
"Sebab kalau tidak begitu, mana lagi dapat untung," kata Nurlela
salah seorang di antara mereka.
Wanita yang dikenal dengan sebutan inang-inang itu umumnya
bermodal kecil tapi bersemangat besar Beberapa inang-inang yang
melayani Tanjungpinang-Pekanbaru 2 kali seminggu mengaku hanya
punya deking Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu. Itu pun sebagian
modal pinjaman, sehingga kalau ada untung harus dibagi dengan
pemilik modal. Tapi Nurlela, 25 tahun, lain. Janda ayu yang
beranak satu ini punya omset jutaan. Ia benar-benar siap
menjalankan profesinya.
Karena faktor-faktor jasmani yang menguntungkan, Nur selalu
sukses dalam pekerjaannya. Dengan para awak kapal dan petugas
bea cukai hubungannya intim. Kalau inang-inang yang sudah
berumur selalu jatuh bangun dan repot mengurus barang-barang,
Nur tidak. Ia malah terang-terangan menumpuk barangnya di dalam
palka. Begitu ada pemeriksaan, Nurlela mempergunakan senjata
ampuhnya. Di tengah suara ancaman petugas untuk menahan dan
membongkar, Nur hanya tersenyum, mengedipkan mata dan darah
petugas pun mendesir. Betes.
Kelabakan
Hari itu Nur berhasil meloloskan 80 lusin piring, sejumlah koper
pakaian jadi dan beberapa peti ssu bubuk. Begitu selesai
berurusan, ia selalu merebahkan tubuhnya, tidur-tiduran di
sembarang tempat. Atau kalau tidak, ia berangin-angin di haluan
kapal sambil merajut topi wol untuk anaknya yang menunggu di
kampung.
"Dia enak, bermodal besar, wajah cantik -- kalau kami,
bertengkar dulu dengan bea cukai baru lolos," kata seorang inang
separuh baya tentang Nurlela.
Di Banda Aceh kerja para inang itu disebut "jengek". Tak
diketahui asal usul kata itu, tapi banyak orang menyalahgunakan
istilah itu dengan merangkaikannya menjadi "jenggo ekonomi".
Yang pasti, setiap hari jumlah jengek alias inang-inang di sana
membengkak. Sedikitnya ada 600 orang. Kalau pemeriksaan petugas
bea cukai kendur, jumlah mereka langsung menggembung. Sebagian
besar terdiri dari wanita. Mereka melayani rute Ulee
Lhueue-Sabang.
Seorang di antara mereka Santhi Butar Butar, sudah operasi sejak
4 tahun yang lalu. Sebelum mengadu untung di Aceh, ia pernah
jadi inang di Tanjungpinang. Juga pernah berdagang ke Belawan
sampai Tanjungpriok. Ketika Banda Aceh terasa empuk, suami dan
anaknya diboyongnya.
Menempuh hidup sebagai jengek dengan tubuh yang sering
diraba-raba petugas pabean -- sudah dianggap biasa. Bahkan
dibugili petugas. "Pokoknya duit bisa masuk," ujar Santhi, 35
tahun, dengan tenang. Seperti juga Nur, Santhi Ini rupawan.
Kerdipan mata dan sesungging senyum di bibirnya dengan mudah
dapat menyebabkan petugas kelabakan. Meskipun tidak selamanya
mempan, memang. Bulan lalu misalnya ia disergap oleh patroli bea
cukai di atas kapal Simeulue di perairan Aceh. "Apa boleh buat,
itu risiko," kata Santhi tenang.
Santhi enggan menyebut penghasilannya. "Itu rahasia," katanya
dengan logat Tapanuli. Yang penting baginya barang-barang yang
lolos dikumpulkan dulu di Banda Aceh. Kemudian, Tigor Panjaitan,
suaminya, membawa barangbarang tadi ke Medan. Biasanya berupa
rokok, barang pecah belah dan barangbarang elektronik.
Santhi tak gentar mendengar desas-desus Sabang akan ditutup
sebagai pelabuhan bebas. Begitu pula kabar-kabar adanya rencana
pembersihan jengek sampai tuntas. "Kami kan cari makan untuk
sejengkal perut. Kalau mau, sikat itu yang memasukkan barang
dengan tong-tong ukuran raksasa," katanya bersemangat.
Pasukan Bodrex
Mardiah janda asal Desa Meraxa, landa Aceh, lebih banyak lagi
makan garam. Ia sudah 12 tahun menjadi inang-inang. Dalam
beroperasi istilahnya membawa barang cangkingan --ia punya cara
sendiri. Tekstil atau baju-baju kaos, ia tempelkan di seluruh
badannya, di lipatan celana dalam atau di dalam kutang. Akal
macam ini memang membuat petugas kewalahan. Petugas umumnya
enggan membuka baju perempuan usia setengah baya itu.
Tapi tak jarang pula ia ketanggor petugas galak yang langsung
membugilinya. Apa kata janda lihai ini? "Aha, itu biasa dalam
cari duit," ungkapnya. Sejak 2 tahun lalu seorang anaknya ikut
membantu. Penghasilannya sehari sekarang bisa mencapai Rp 20
ribu.
Di desanya Mardiah sering ikut karena disebut ibu jengek.
Anak-anaknya juga mengeluh karena sebutan itu. "Orang kampung
menganggap jengek sebagai pencuri biasa, padahal kami lakukan
dengan kerja keras, bahkan sangat keras sekali," katanya membela
diri.
Sepanjang karirnya sebagai jengek, Mardiah sudah berhasil
membeli rumah petak dan kebun cengkih yang kini sudah berbunga.
Anak gadisnya pun ada yang duduk di perguruan tinggi. "Insya
Allah tahun ini ia sarjana muda," katanya dengan wajah
berseri-seri.
Tidak semua jengek berwajah berseri-seri. Seorang jengek
laki-laki bernama Ridwan menjelaskan penderitaannya. Ia sudah
8 tahun menjengek dengan badan yang tidak sempurna--berjalan
dengan telapak tangan dan kaki. Satu kali 5 lusin piring
Duralex-nya yang berharga Rp 40 ribu kena sita. Sebenarnya
barang itu bisa ditebus, tapi tebusannya sama dengan harga
piring di Sabang. Lagipula terusannya merepotkan. terpaksa
dibiarkan saja. Kalau mau bayar bea penuh tak usah jadi jengek,"
katanya dengan tegas.
Sudah puluhan kali barang cangkingan Ridan disita. Tapi ia
tidak jera. Ia selalu putar otak, untuk mencari upaya lain. Satu
ketika misalnya ia memanfaatkan rombongan anak sekolah yang
melancong ke Sabang. Barang bawaan anak sekolah dalam jumlah
kecil memang biasanya tidak ditahan. Belasan lusin piring dan
puluhan lembar kaus oblong ia titipkan pada mereka. Sebagai
imbalannya kepada setiap anak Ridwan memberikn beberapa ribu
rupiah. "Nah begitulah akal jengek," katanya.
Di Jakarta juga ada inang-inang. Nyonya Nainggolan mengaku telah
menjadi inang-inang selama 20 tahun. "Sebelumnya lewat laut.
Setelah makin tua, badan tak kuat lagi berlaut," ujarnya. Kini
operasinya lewat udara. Setiap Rabu pagi ia terbang dengan DC 10
Garuda ke Singapura. Sabru sore balik ke Jakarta. "Untungnya
tidak seberapa. Kalau dapat Rp 50 ribu sudah besar," katanya
terus terang.
Untuk ongkos pulang pergi Jakarta-Singapura habis lebih dari Rp
100 ribu. Ongkos makan dan hotel sehari Rp 10 ribu. Dari Jakarta
ia membawa kopor saja pulangnya baru sarat sepatu, vas, dan
lain-lain barang. "Kelihatannya saya hebat ke Singapura, katanya
selengah mengeluh, "tapi untung tak seberapa, jelas bukan untuk
cari kaya. Cuma asal bisa makan saja." Apalagi tidak semua
barang itu miliknya. Ada yan titipan saja. Misalnya sebuah
sepatu yang di Singapura berharga 90 dollar kalau berhasil
dibawa ke Jakarta, ia menerima upah Rp 7000. "Tapi kalau kena
tangkap atau kena bea, kita tanggung sendiri," katanya.
Linda Nainggolan anak Nyonya itu, kadangkala menyertainya ke
Singapura. Menurut cerita Linda, begitu turun pesawat biasanya
petugas-petugas langsung berseru "Awas, awas, pasukan Bodrex
datang." Linda menggerutu: "Ibu mencari makin baik-baik, dihina
dengan omongan begitu!"
Untuk menghindari bea bagasi, seringkali Linda menenteng
barang-barangnya di tangan kiri dan kanan serta di bahu. Kalau
dijumlah beratnya mencapai 30 kg. "Biar tidak kuat saya kuat
kuatkan juga," kata wanita muda itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini