Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jenggo-Jenggo Melempar Senyum

Suka duka inang-inang yang menghindar barang-barangnya disodok petugas pabean. senyumnya sering meloloskan barang-barang cangkingan.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINIHARI akhir Juni 1980. Sebuah fery menembus kabut dingin Sungai Siak. Kapal penumpang yang punya trayek Tanjungpinang-Selat panjang Pekanbaru itu, meluncur dengan lambat. Pekanbaru masih 2 jam di depan. Tapi puluhan penumpang sudah hiruk pikuk di bibir geladak. Sebentar kemudian remang-remang tampak sampan-sampan merapat di tubuh fery. Kesibukan terus memuncak. Barang-barang dibongkar. Peti susu, kopor pakaian jadi, pecah-belah dan barang-barang lainnya dioper ke atas sampan. "Sudah? Cepat sedikit, cepat sedikit, nanti ada patroli ! " teriak awak kapal memperingatkan. Dalam tempo singkat, sampan-sampan dengan muatan yang sarat tadi lenyap ditelan gelap. Usaha "menembakkan" barang-barang gelap di malam buta, dengan risiko jatuh ke sungai dan dilumat arus adalah pemandangan rutin di tempat itu. Orang Riau menyebutnya "menggaleh " atau "menggalas", yaitu kucing-kucingan antara pedagang-pedagang dengan petugas pabean. Pelakunya wanita-wanita yang berani mengambil risiko. Kalau sempat tertangkap basah, menangis, merengek, mam mata atau apa saja biasa terjadi asal dapat lolos. "Sebab kalau tidak begitu, mana lagi dapat untung," kata Nurlela salah seorang di antara mereka. Wanita yang dikenal dengan sebutan inang-inang itu umumnya bermodal kecil tapi bersemangat besar Beberapa inang-inang yang melayani Tanjungpinang-Pekanbaru 2 kali seminggu mengaku hanya punya deking Rp 200 ribu atau Rp 300 ribu. Itu pun sebagian modal pinjaman, sehingga kalau ada untung harus dibagi dengan pemilik modal. Tapi Nurlela, 25 tahun, lain. Janda ayu yang beranak satu ini punya omset jutaan. Ia benar-benar siap menjalankan profesinya. Karena faktor-faktor jasmani yang menguntungkan, Nur selalu sukses dalam pekerjaannya. Dengan para awak kapal dan petugas bea cukai hubungannya intim. Kalau inang-inang yang sudah berumur selalu jatuh bangun dan repot mengurus barang-barang, Nur tidak. Ia malah terang-terangan menumpuk barangnya di dalam palka. Begitu ada pemeriksaan, Nurlela mempergunakan senjata ampuhnya. Di tengah suara ancaman petugas untuk menahan dan membongkar, Nur hanya tersenyum, mengedipkan mata dan darah petugas pun mendesir. Betes. Kelabakan Hari itu Nur berhasil meloloskan 80 lusin piring, sejumlah koper pakaian jadi dan beberapa peti ssu bubuk. Begitu selesai berurusan, ia selalu merebahkan tubuhnya, tidur-tiduran di sembarang tempat. Atau kalau tidak, ia berangin-angin di haluan kapal sambil merajut topi wol untuk anaknya yang menunggu di kampung. "Dia enak, bermodal besar, wajah cantik -- kalau kami, bertengkar dulu dengan bea cukai baru lolos," kata seorang inang separuh baya tentang Nurlela. Di Banda Aceh kerja para inang itu disebut "jengek". Tak diketahui asal usul kata itu, tapi banyak orang menyalahgunakan istilah itu dengan merangkaikannya menjadi "jenggo ekonomi". Yang pasti, setiap hari jumlah jengek alias inang-inang di sana membengkak. Sedikitnya ada 600 orang. Kalau pemeriksaan petugas bea cukai kendur, jumlah mereka langsung menggembung. Sebagian besar terdiri dari wanita. Mereka melayani rute Ulee Lhueue-Sabang. Seorang di antara mereka Santhi Butar Butar, sudah operasi sejak 4 tahun yang lalu. Sebelum mengadu untung di Aceh, ia pernah jadi inang di Tanjungpinang. Juga pernah berdagang ke Belawan sampai Tanjungpriok. Ketika Banda Aceh terasa empuk, suami dan anaknya diboyongnya. Menempuh hidup sebagai jengek dengan tubuh yang sering diraba-raba petugas pabean -- sudah dianggap biasa. Bahkan dibugili petugas. "Pokoknya duit bisa masuk," ujar Santhi, 35 tahun, dengan tenang. Seperti juga Nur, Santhi Ini rupawan. Kerdipan mata dan sesungging senyum di bibirnya dengan mudah dapat menyebabkan petugas kelabakan. Meskipun tidak selamanya mempan, memang. Bulan lalu misalnya ia disergap oleh patroli bea cukai di atas kapal Simeulue di perairan Aceh. "Apa boleh buat, itu risiko," kata Santhi tenang. Santhi enggan menyebut penghasilannya. "Itu rahasia," katanya dengan logat Tapanuli. Yang penting baginya barang-barang yang lolos dikumpulkan dulu di Banda Aceh. Kemudian, Tigor Panjaitan, suaminya, membawa barangbarang tadi ke Medan. Biasanya berupa rokok, barang pecah belah dan barangbarang elektronik. Santhi tak gentar mendengar desas-desus Sabang akan ditutup sebagai pelabuhan bebas. Begitu pula kabar-kabar adanya rencana pembersihan jengek sampai tuntas. "Kami kan cari makan untuk sejengkal perut. Kalau mau, sikat itu yang memasukkan barang dengan tong-tong ukuran raksasa," katanya bersemangat. Pasukan Bodrex Mardiah janda asal Desa Meraxa, landa Aceh, lebih banyak lagi makan garam. Ia sudah 12 tahun menjadi inang-inang. Dalam beroperasi istilahnya membawa barang cangkingan --ia punya cara sendiri. Tekstil atau baju-baju kaos, ia tempelkan di seluruh badannya, di lipatan celana dalam atau di dalam kutang. Akal macam ini memang membuat petugas kewalahan. Petugas umumnya enggan membuka baju perempuan usia setengah baya itu. Tapi tak jarang pula ia ketanggor petugas galak yang langsung membugilinya. Apa kata janda lihai ini? "Aha, itu biasa dalam cari duit," ungkapnya. Sejak 2 tahun lalu seorang anaknya ikut membantu. Penghasilannya sehari sekarang bisa mencapai Rp 20 ribu. Di desanya Mardiah sering ikut karena disebut ibu jengek. Anak-anaknya juga mengeluh karena sebutan itu. "Orang kampung menganggap jengek sebagai pencuri biasa, padahal kami lakukan dengan kerja keras, bahkan sangat keras sekali," katanya membela diri. Sepanjang karirnya sebagai jengek, Mardiah sudah berhasil membeli rumah petak dan kebun cengkih yang kini sudah berbunga. Anak gadisnya pun ada yang duduk di perguruan tinggi. "Insya Allah tahun ini ia sarjana muda," katanya dengan wajah berseri-seri. Tidak semua jengek berwajah berseri-seri. Seorang jengek laki-laki bernama Ridwan menjelaskan penderitaannya. Ia sudah 8 tahun menjengek dengan badan yang tidak sempurna--berjalan dengan telapak tangan dan kaki. Satu kali 5 lusin piring Duralex-nya yang berharga Rp 40 ribu kena sita. Sebenarnya barang itu bisa ditebus, tapi tebusannya sama dengan harga piring di Sabang. Lagipula terusannya merepotkan. terpaksa dibiarkan saja. Kalau mau bayar bea penuh tak usah jadi jengek," katanya dengan tegas. Sudah puluhan kali barang cangkingan Ridan disita. Tapi ia tidak jera. Ia selalu putar otak, untuk mencari upaya lain. Satu ketika misalnya ia memanfaatkan rombongan anak sekolah yang melancong ke Sabang. Barang bawaan anak sekolah dalam jumlah kecil memang biasanya tidak ditahan. Belasan lusin piring dan puluhan lembar kaus oblong ia titipkan pada mereka. Sebagai imbalannya kepada setiap anak Ridwan memberikn beberapa ribu rupiah. "Nah begitulah akal jengek," katanya. Di Jakarta juga ada inang-inang. Nyonya Nainggolan mengaku telah menjadi inang-inang selama 20 tahun. "Sebelumnya lewat laut. Setelah makin tua, badan tak kuat lagi berlaut," ujarnya. Kini operasinya lewat udara. Setiap Rabu pagi ia terbang dengan DC 10 Garuda ke Singapura. Sabru sore balik ke Jakarta. "Untungnya tidak seberapa. Kalau dapat Rp 50 ribu sudah besar," katanya terus terang. Untuk ongkos pulang pergi Jakarta-Singapura habis lebih dari Rp 100 ribu. Ongkos makan dan hotel sehari Rp 10 ribu. Dari Jakarta ia membawa kopor saja pulangnya baru sarat sepatu, vas, dan lain-lain barang. "Kelihatannya saya hebat ke Singapura, katanya selengah mengeluh, "tapi untung tak seberapa, jelas bukan untuk cari kaya. Cuma asal bisa makan saja." Apalagi tidak semua barang itu miliknya. Ada yan titipan saja. Misalnya sebuah sepatu yang di Singapura berharga 90 dollar kalau berhasil dibawa ke Jakarta, ia menerima upah Rp 7000. "Tapi kalau kena tangkap atau kena bea, kita tanggung sendiri," katanya. Linda Nainggolan anak Nyonya itu, kadangkala menyertainya ke Singapura. Menurut cerita Linda, begitu turun pesawat biasanya petugas-petugas langsung berseru "Awas, awas, pasukan Bodrex datang." Linda menggerutu: "Ibu mencari makin baik-baik, dihina dengan omongan begitu!" Untuk menghindari bea bagasi, seringkali Linda menenteng barang-barangnya di tangan kiri dan kanan serta di bahu. Kalau dijumlah beratnya mencapai 30 kg. "Biar tidak kuat saya kuat kuatkan juga," kata wanita muda itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus