Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Sedia Sensor Sebelum Longsor

Periset di Pusat penelitian Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara membuat sensor pendeteksi potensi longsor. Murah dan sangat sensitif.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAUPUN terus berulang, Lebaran selalu ganjil sekaligus menakjubkan. Sekali dalam setahun, jutaan orang, yang berlimpah uang ataupun tak punya, tumpah ke jalan raya berbondong-bondong untuk pulang. Tak peduli terseok-seok di atas sepeda motor atau berjejal di mobil yang panas, mereka bertahan di jalan selama belasan, bahkan berpuluh, jam.

Selain sepeda motor, mobil, kereta, atau pesawat, yang harus bekerja keras tentu saja jalan raya. Jauh-jauh hari, para penguasa jalan sudah bersiap. PT Trans Marga Jateng, perusahaan pengelola jalan tol Semarang-Ungaran, sudah memasang sejumlah sensor pendeteksi gerakan tanah atau inclinometer di daerah Gedangan, Banyumanik. "Ada 16 inclinometer yang kami tanam di lokasi itu," kata Agus Suharjanto, Direktur Utama Trans Marga, awal Agustus lalu.

Ruas Gedangan ini memang patut diawasi karena pernah ambles. Masalah longsor ini, menurut Agus, sudah mereka tangani. Urusan rambu dan penerangan jalan juga sudah tuntas. Karena itu, dia menjamin jalan tol Semarang-Ungaran sudah siap dilewati pemudik.

Titik-titik rawan longsor tersebar di beberapa daerah. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono, mengatakan beberapa ruas jalan di Pulau Jawa berada di daerah rawan longsor yang harus diwaspadai, terutama saat musim mudik nanti. Pada masa itu volume kendaraan meningkat luar biasa.

Di Provinsi Jawa Barat, titik rawan tersebar di bagian selatan dan tengah. "Jawa Barat itu paling rawan longsor. Titik rawan itu menyebar di Bogor, Sukabumi, dan beberapa daerah lain, kecuali jalur pantai utara," kata Surono kepada sejumlah wartawan. Di Jawa Tengah, titik paling rawan longsor berada di daerah Cilacap dan Banjarnegara. Sedangkan di Jawa Timur, yang rawan adalah bagian selatan, seperti Pacitan.

Satu-satunya upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi sekaligus mengatasi longsor adalah menyediakan mesin pengeruk seoptimal mungkin. "Ya, mau bagaimana?" ujar Surono. Menurut dia, longsor itu disebabkan oleh daya dukung tanah tidak mampu menahan kenaikan beban jalan.

Longsor dipicu oleh tingginya intensitas gerakan tanah ditambah faktor musim hujan. "Pernah di Pati ada demo yang mengatakan jalan longsor itu akibat biaya pembuatan jalan dikorupsi. Padahal penelitian kami menunjukkan di daerah itu secara geologis memang tidak memungkinkan dibangun jalan yang tahan lama," katanya. Dia memberi contoh beberapa ruas jalan yang tanahnya labil dan gampang longsor, misalnya tol Cipularang kilometer 86 dan 92 serta beberapa titik di jalan dari Semarang hingga Solo.

l l l

SEPERTI jelangkung, longsor datang tak pernah diundang. Pertengahan Juli lalu, empat orang tewas tertimbun longsoran di Desa Mrisi, Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Di Bere-bere, Sirimau, Kota Ambon, satu keluarga tewas terkubur tanah longsor setelah bukit di belakang rumah diguyur hujan lebat akhir Juli silam.

Longsor acap membawa korban karena kita tak pernah awas dengan tanda-tanda alam. Zulfahmi, periset di Pusat Penelitian Pengembangan Teknologi Mineral dan Batu Bara, mengatakan longsor tak pernah terjadi tiba-tiba. Selalu ada tanda-tanda sebelumnya, misalnya retakan di tanah atau lereng. Retakan di lereng ini menunjukkan ada pergerakan tanah. Tanda seperti ini mestinya diwaspadai. Saat hujan mengguyur atau gempa bumi, lereng yang sudah retak ini mungkin akan longsor terseret air atau akibat guncangan gempa.

Zulfahmi dan empat temannya di Pusat Teknologi Mineral membuat sensor untuk mengendus potensi longsor. Pendeteksi buatan Bandung ini sebenarnya tak terlalu rumit. Alat ini dibagi dalam tiga bagian utama. Pertama, pasak besi yang kepalanya dipasangi kotak plastik hitam seukuran setengah batu bata. Di dalam kotak terdapat potensiometer dan gulungan kawat baja kecil berpegas. Di lereng yang rawan longsor, kawat itu kemudian dikaitkan ke sebuah pasak besi.

Jalur kawat dan patok itu dikubur di dalam tanah hingga kedalaman 15 meter. "Supaya kawatnya tidak tersandung atau terganggu gerakan binatang," ujar lulusan S-2 Rekayasa Pertambangan ITB pada 1998 itu. Jika ada pergerakan tanah, kawat akan ikut bergerak. Potensiometer membaca perubahan tanah akibat pergerakan itu.

Informasi gerakan tanah itu kemudian dikirim lewat kabel ke kotak kedua, yakni potensio transduser. Micro-controller di dalamnya mengolah informasi dan kemudian dikirim ke radio modem untuk dipancarkan ke stasiun pemantau longsor. "Kami pakai gelombang radio supaya ongkosnya lebih murah," ujarnya. Pemancar itu bisa mengirim data hingga jarak lima kilometer. Jika ditambah antena luar, jangkauan transmisi datanya bisa melompat hingga 16 kilometer.

Di stasiun pemantau, kiriman data diolah komputer dan sekaligus dikalibrasi. Hasil akhirnya ditampilkan dalam bentuk grafik. Pada lereng yang curam, ketika terjadi pergerakan tanah dengan kecepatan 15 milimeter per hari, tanda awas di stasiun pemantau akan menyala. Jika kecepatan pergerakan tanah terus bertambah hingga 30 milimeter per hari, alarm pun akan meraung-raung. Ini memberi tanda bagi warga di bawah lereng untuk secepatnya angkat kaki dari rumahnya.

Menurut Zulfahmi, sensor buatannya sangat sensitif. Bisa merasakan gerakan tanah sepersekian milimeter.

Riset dan pembuatan sensor longsor itu tak makan waktu lama. Pengerjaannya kurang dari satu tahun. Sensor longsor ini sudah dipakai beberapa perusahaan tambang batu bara di Berau dan Bontang, Kalimantan Timur. Pengusaha tambang lebih memilih pendeteksi longsor buatan Zulfahmi ketimbang bikinan luar negeri. Sebab, harganya jauh lebih murah dibanding sensor longsor berbasis radar atau global positioning system.

Untuk pembuatan potensiometer li­nier, Zulfahmi dan kawan-kawannya hanya keluar duit Rp 50 ribu. Ongkos membuat micro-controller rakitan sekitar Rp 300 ribu. Yang harganya lumayan mahal adalah sepasang radio modem, harganya Rp 3 juta, dan panel sel surya Rp 4 juta. "Total ongkosnya hanya sepuluh hingga lima belas juta rupiah," katanya.

Sapto Pradityo, Anwar Siswadi (Bandung), Rofiuddin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus