Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Studi: Longsoran Erupsi Gunung Anak Krakatau 2018 Mampu Mengubur Kota London

Peneliti dari tiga negara melakukan riset terbaru atas endapan longsor erupsi Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami senyap pada 2018 lalu.

20 Mei 2021 | 10.28 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Erupsi Gunung Anak Krakatau terlihat dari KRI Torani 860 saat berlayar di Selat Sunda, Lampung, Selasa 1 Januari 2019. Gunung Anak Krakatau mulai diketahui tumbuh pada 20 Januari 1930 hasil dari letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883. Anak Krakatau muncul akibat erupsi kompilasi pada 11 Juni 1927 dengan komposisi magma basa muncul di pusat komplek Krakatau. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 22 Desember 2018 lalu, tsunami senyap yang dipicu oleh longsoran akibat erupsi Gunung Anak Krakatau membuat warga Indonesia dan dunia terhenyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah peneliti dari tiga negara berkolaborasi meneliti endapan bencana longsor-tsunami pulau Anak Krakatau yang luasnya mencapai 64 hektare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim peneliti terdiri peneliti Amerika, Inggris, serta dari Indonesia yang terdiri dari peneliti dan Volkanolog ITB Dr. Mirzam Abdurrachman bersama tim peneiliti dari Pusat Penelitian, Pengembangan Geologi Kelautan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Dilansir dari laman resmi Institut Teknologi Bandung atau ITB, Kamis, 20 Mei 2021, penelitian dilakukan menggunakan peralatan akustik modern, dimana tim peneliti akan mempelajari endapan bencana longsor-tsunami pulau vulkanik Anak Krakatau.

Tim yang diketuai oleh Dr. James Hunt dari National Oceanography Center atau NOC, telah menghasilkan hasil survei lautan pertama dari longsor 22 Desember 2018 pada Anak Krakatau, yang menciptakan tsunami senyap mematikan yang melanda pesisir selatan Sumatera dan Barat Jawa.

Pada Agustus 2019, tim mutlinasional lintas disiplin ini memetakan dasar laut di kaldera Krakatau.

“Survei menggunakan sonar untuk memetakan permukaan dasar laut, sedangkan metode refleksi seismik digunakan untuk melihat ke bawah dasar laut," ujar Dr. Mirzam Abdurrachman pada Selasa 18 Mei 2021.

Dr. Mirzam menjelaskan, penelitian tersebut menunjukkan deposit laut yang besar dari longsor Gunung Anak Krakatau pada 2018 dan struktur internalnya. Deposit tersebut menunjukkan ukuran utuh  serta cara bagaimana deposit tersebut diendapkan di dasar laut.

Temuan tersebut telah dipublikasikan di jurnal prestisius Nature Communications dalam sebuah paper berjudul, “Megablocks on the seafloor reveal that half of Anak Krakatau island collapsed into the sea to cause the 2018 Sunda Strait tsunami, Indonesia”.

Untuk mempelajari peristiwa longsor di atas permukaan laut, para tim juga menganalisis citra dan foto satelit. Dari analisis citra satelit tersebut terutama dari COSMO-SkyMed dan foto, para ilmuwan dapat menjelaskan tingkat keruntuhan subaerial secara menyeluruh.

Dr. Mirzam menjelaskan, tim menghitung separuh pulau runtuh, menunjukkan runtuhan yang jauh lebih luas atau besar daripada yang diperkirakan sebelumnya. Citra satelit juga menunjukkan pembebanan sisi barat daya Anak Krakatau dengan lava dan ejecta pada bulan-bulan sebelum longsor.

Pada saat yang sama deformasi, patahan dan ventilasi gas ditemukan telah terjadi di pulau tersebut dan menggambarkan perkiraan area yang akan runtuh. Proses-proses ini mungkin juga pada akhirnya berkontribusi pada keruntuhan bagian sayap pada tahap selanjutnya.

Ia menggambarkan, longsoran Anak Krakatau tersebut, cukup besar (~0,214 km3), bahkan cukup untuk mengubur Kota London hingga setinggi Katedral St Paul. Sebab, blok-blok dari longsoran tersebut naik hingga 90 meter di atas dasar laut dan menempuh jarak 1.5 km dari Anak Krakatau.

Dalam temuan tersebut, menunkukkan mega block hasil longsoran terkikis ke dasar laut dan menghasilkan aliran puing puing tambahan yang mengalir ke cekungan yang lebih dalam. Aliran puing-puing dan bagian-bagian tanah longsor kini terkubur di bawah material letusan setinggi 18 meter.

Para tim penelitian juga menemukan bahwa letusan pasca longsor menghasilkan material untuk membangun kembali tubuh kerucut gunung apinya dengan cepat.  Sebagian besar material yang dihasilkan Anak Krakatau tersebut sebenarnya kembali diendapkan di dasar laut.

Penemuan tersebut, mendukung perlunya disegerakan survei longsoran 2018 sebelum terkubur oleh material letusan berikutnya atau pun akibat modifikasi lingkungan laut yang dinamis.

Dr. Mirzam menjelaskan, penelitian terebut, memungkinkan para tim peneliti dapat menjelaskan ukuran dan mekanisme kegagalan longsor 2018 di Anak Krakatau. Di mana studi longsor-tsunami pulau vulkanik dengan menggabungkan citra satelit dan pemetaan dasar laut secara mendetail merupakan pertama kalinya.

“Peristiwa serupa terakhir adalah bencana longsor-tsunami di Pulau Ritter yang terjadi pada tahun 1888," tutur Mirzam.

Tim peneliti akan mengkarakterisasi endapan tanah longsor dan memetakan dasar laut, agar mendapatkan pemahaman lebih baik tentang bagaimana kegagalan sisi barat daya Anak Krakatau.

Mirzam mengatakan dengan hasil penelitian atas runtuhan Gunung Anak Krakatau ini bisa dilakukan permodelan tsunami yang lebih baik, serta memberikan tolok ukur untuk kejadian serupa. "Ini bisa membantu kita merancang strategi mitigasi bahaya dengan lebih baik,” pungkasnya.

WILDA HASANAH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus