Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhir 1940-an dan 1950-an, teknologi pesawat terbang berkembang pesat. Hanya, banyak insinyur penerbangan yang tak sepenuhnya memahami hal di balik fenomena pesawat yang mengalami kegagalan struktural dan berujung bencana saat dalam penerbangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1960-an, pesawat melaju lebih cepat berkat penggunaan mesin yang jauh lebih bertenaga. Efeknya, terjadi fatigue atau kelelahan material yang menjadi sumber kegagalan struktural. Para ilmuwan pun mulai menganalisis untuk menemukan penyebab keretakan komponen pesawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka beranggapan setiap bahan memiliki umur tertentu dan jangka waktu untuk bertahan ketika diberikan gaya sebelum retak lalu patah. Sebagai contoh, seutas kawat baja dapat patah menjadi dua bagian dengan ditekuk beberapa kali ke depan dan ke belakang.
Setiap materi pasti akan patah, cepat atau lambat. Namun beberapa bahan dapat bertahan dalam waktu lebih lama ketimbang materi lainnya. Karena suatu gaya diterapkan pada suatu material, ia akan mengalami kelelahan dan akhirnya menyerah.
Itulah sebabnya pesawat memiliki masa kerja beberapa jam sebelum mereka dikandangkan serta dinyatakan tak layak dan tak aman untuk diterbangkan. Pada pesawat terbang, titik paling rawan patah terletak di antara sayap dan bodi pesawat.
Bagian dalam sayap dan bodi pesawat berongga. Bagian ini selalu menahan tekanan yang sangat besar dan terus-menerus, terutama saat pesawat take off, landing, dan ketika mengalami turbulensi.
Konstruksi bagian dalam sayap pesawat tertutup rapat. Padahal bagian ini harus menahan beban yang cukup besar. Selama 40 tahun, para insinyur penerbangan tak pernah tahu apakah terdapat kerusakan pada struktur dalam pesawat atau tidak.
Teori propagasi retak pun populer pada era 1960-an untuk menerangkan mengapa beberapa bagian atau bahan pesawat bisa retak dan patah sebelum masa waktunya habis. Banyak pesawat mengalami retakan yang menyebar karena kelelahan.
Sebagai contoh, De Havilland Comet-pesawat jet komersial pertama di dunia asal Inggris-terkenal karena mengalami kelelahan logam. Penyebabnya adalah ketinggian penerbangan dan pesawat pun jatuh.
Desain jendela kabin yang buruk dan material mudah retak dituding sebagai penyebabnya. Hal ini membuat banyak insinyur luar angkasa mencari teorema untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana peristiwa ini bisa terjadi. Namun tak ada yang bisa menjelaskan secara rinci.
Pada saat dunia membutuhkan solusi mengenai masalah yang berkepanjangan ini, seorang penggagas jenius dari Indonesia muncul. Dia adalah Bacharuddin Jusuf Habibie. Pada saat itu usianya baru 32 tahun.
Habibie berhasil menemukan letak titik awal retakan atau crack propagation point. Penghitungan yang dilakukannya sangat detail, bahkan sampai tingkat atom. Ini merupakan penemuan besar di dunia penerbangan.
Teori yang dikemukakan Habibie disebut sebagai teori crack progression, atau lazim disebut Theory of Habibie. Teori ini menjelaskan titik awal retakan pada sayap dan badan pesawat.
Sebelum ada Teori Habibie, para insinyur mengantisipasi kemungkinan munculnya keretakan konstruksi dengan meninggikan faktor keselamatan. Caranya, menggunakan bahan logam mulia untuk meningkatkan kekuatan struktur pesawat.
Ternyata penggunaan bahan tersebut jauh di atas angka kebutuhan. Pesawat pun menjadi lebih berat. Namun, setelah Habibie mengajukan teori penghitungan letak titik awal retakan, derajat faktor keselamatan bisa diturunkan.
Misalnya, memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi dan aluminium makin dominan dalam bodi pesawat. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini juga tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.
Faktor Habibie bisa meringankan bobot pesawat, tanpa berat penumpang dan bahan bakar, hingga 10 persen dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25 persen setelah Habibie memasukkan material komposit ke badan pesawat.
Pengurangan berat tak membuat maksimum take off weight (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Malah pesawat lebih mudah bermanuver, lebih mudah take off, hemat bahan bakar, serta mengurangi biaya pembuatan dan perawatan. FIRMAN ATMAKUSUMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo