TEMPE bongkrek telah menjadi salah satu fokus kajian ilmu biokimia. Banyak sarjana yang mencurahkan perhatiannya kepada makanan rakyat yang terbuat dari bungkil (ampas) kacang yang diperas untuk minyak goreng itu. Reputasi Indonesia dalam riset tempe bongkrek semakin dikukuhkan lewat disertasi Bambang Subardjo, 44 tahun, yang lulus sebagai doktor biokimia di ITB, akhir bulan lalu. Bambang menemukan adanya sejenis enzim protease SH (Sulfhidril) dalam bongkrek -- hal yang belum pernah diungkap peneliti lain. Dalam menyusun disertasi, Bambang didampingi Prof. P. Soedigdo, guru besar biokimia ITB, sebagai promotor. Telah diketahui secara umum bahwa kematian sering terjadi gara-gara bongkrek. Ratusan jiwa, bahkan barangkali ribuan, telah menjadi korban racun yang menyelip di makanan rakyat ini selama bongkrek menjadi menu rakyat, khususnya di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Dan telah diketahui pula bahwa kematian itu disebabkan oleh senyawa toksoflavin serta asam bongkrek yang ada dalam makanan itu. Dalam tempe bongkrek itu juga sering ditemui bakteri Pseudomonas cocovenenans. Mikroba ini sering dituding sebagai biang keladi terbentuknya senyawa-senyawa beracun itu. Tapi Bambang meneliti dampak kehadiran bakteri itu dari segi biokimianya. Setelah mengintip selama hampir lima tahun, ia menyimpulkan bahwa buah karya mikroba itu, antara lain, mensintesa enzim jenis protease. Namun, protease sendiri banyak macamnya. Maka, Bambang pun membuat macam-macam pengujian. Hasilnya, dia mengelompokkannya dalam protease Sulfhidril. "Karena protease ini bisa diaktivasi oleh sustein," kata dosen di Fakultas Pertanian Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, itu kepada Ida Farida dari TEMPO. Tapi protease SH ala tempe bongkrek itu bukan bersifat sebagaimana protease SH pada umumnya, seperti papain, bromelin, atau fisin: Berat molekul (BM) protease SH pada bongkrek ini mencapai 620.000, jauh di atas BM protease SH lain yang sekitar 23.000. Selain itu, protease SH bongkrek ini tak dihambat oleh asam bongkrek seperti pada yang lain -- kecuali jika asam itu ada dalam konsentrasi tinggi. "Ini masalah besar dalam ilmu biokimia," Bambang menuturkan. Karena sifat-sifatnya yang khas itu, Bambang mengklaim protease SH yang ditemuinya dalam bongkrek itu tak pernah ditemukan peneliti lain. Maka, dia pun menamainya sebagai cocovein, untuk "mengenang" mikroba yang ada dalam bongkrek itu. Soal kegunaan praktis cocovein ini memang belum diteliti. Namun, Prof. berharap bahwa suatu saat nanti cocovein ini berguna untuk keperluan ilmiah, industri, atau farmasi, sebagaimana halnya papain, bromelin, atau fisin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini