Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Tusuk Gigi Detektor Boraks

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dayu Laras Wening dan Luthfia Adila sering menghabiskan waktu senggang dengan berkumpul dan makan-makan bersama teman-temannya. Tapi dua siswi kelas XII jurusan ilmu pengetahuan alam Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Semarang itu bimbang ketika makanan sudah tersaji di hadapan mereka. "Apalagi kalau bakso atau mi, pasti saya kepikiran soal boraks," kata Dayu saat ditemui Selasa pekan lalu.

Maraknya berita di media massa mengenai kandungan boraks di dalam makanan mendorong Dayu dan Luthfia menemukan alat pendeteksi boraks di dalam makanan. Semula mereka berpikir akan menggunakan alat sensor, tapi dianggap tidak praktis. Pilihan jatuh ke tusuk gigi. Sebab, benda itu mudah didapat dan tidak mengundang kecurigaan pemilik warung makan saat dilakukan pengetesan.

Tusuk gigi pendeteksi boraks temuan Dayu dan Luthfia diganjar medali emas di 10th International Exhibition for Young Inventors 2014, pekan lalu. Dayu, dara kelahiran 15 November 1996, dan Luthfia (kelahiran 28 April 1997) memberi nama temuannya Sibodec (Stick of Borax Detector). "Agar punya daya jual," ujar Dayu.

Tusuk gigi itu warnanya kuning, hasil dari ekstrak dengan menggunakan berbagai bahan alami yang aman terhadap makanan. Proses ekstrak tusuk gigi membutuhkan beberapa tahap dengan lama waktu hingga lima hari. Dayu dan Luthfia belum mau membocorkan bahan dan metode pembuatannya. "Masih menunggu proses hak paten," kata Dayu.

Dayu dan Luthfia mengakui telah ratusan kali melakukan percobaan selama satu setengah tahun. Dua siswi ini juga harus bolak-balik membeli mi, bakso, dan tahu di pasar tradisional. Namun keuletan mereka akhirnya membuahkan hasil. Tusuk gigi itu berubah warna jadi merah ketika ditancapkan ke makanan yang mengandung boraks. "Cukup lima detik, terus berubah warna," ucap Luthfia.

Penelitian yang menghabiskan Rp 1,5 juta ini, menurut Luthfia, memang ditujukan untuk dilombakan. Di Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia di Jakarta tahun lalu, temuan mereka tidak lolos. Sebulan kemudian, tusuk gigi ini meraih medali perunggu di National Young Inventor Awards.

Dua sahabat yang tak pernah juara kelas itu memang lebih menyukai otak-atik melakukan riset. Di sekolah, mereka bergabung dalam ekstra kurikuler Forum Sains Maga. Mereka pernah merancang aplikasi di Android untuk mendeteksi gejala penyakit plus obat yang bisa diminum. Juga ada aplikasi di Android yang mengatur pola makan yang sehat. Bahkan Dayu pernah jadi juara I Indonesian Science Project Olympiad Kota Semarang.

Ke depan, Dayu dan Luthfia ingin mengembangkan temuan mereka. Mereka ingin proses ekstrak tusuk gigi menggunakan alat vakum sehingga daya serap ekstrak bisa lebih baik. Selain itu, untuk mencegah pelibatan tangan manusia dalam proses ekstrak. Mereka juga masih memikirkan cara agar masa kedaluwarsa tusuk gigi bisa lebih lama. Saat ini masa kedaluwarsa hanya satu tahun. Setelah satu tahun, tusuk gigi tak bisa efektif mendeteksi boraks. Saat ini satu tusuk gigi dijual Rp 500. "Harganya terlalu murah tidak, ya?" kata Dayu, lalu tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus