SATU keluarga Indonesia di Amerika tiba-tiba menghentikan kesukaan mereka makan mie instant Jepang. Pasalnya, seorang anak dalam keluarga itu yang iseng-iseng baca daftar bahan untuk membuat mi itu, di bungkusnya, menemukan kata pork alias daging babi. Bagi Menteri Munawir Sjadzali, tak perlu mengambil contoh Amerika untuk memahami perlunya ada label "halal" pada makanan. Sepulang dari pertemuan dengan Menteri Agama Malaysia dan Brunei Darussalam di Kuala Lumpur bulan lalu -- yang antara lain membicarakan pentingnya pengawasan barang konsumsi dan makanan -- hal pelabelan makanan dan kosmetik, juga obat-obatan yang beredar di Indonesia, dirasa mendesak. Selain itu, heboh lemak babi pada 1988, yang meresahkan masyarakat muslim Indonesia, cukup jadi pelajaran perlunya pengesahan label "halal" itu. Waktu itu, seorang dokter meneliti sejumlah makanan di Jawa Timur, dan sederet produk ia daftar sebagai mengandung daging babi. Yang membuat heboh, ada tangan tak bertanggung jawab yang memperpanjang daftar itu. Dalam soal pelabelan ini memang Indonesia ketinggalan dibanding Malaysia, bahkan Muangthai. Di Malaysia, sudah sejak 1975, berdasar UU Perdagangan 1972, diharuskan produk makanan, obatobatan, dan kosmetik dilengkapi label "halal". Di Muangthai, negeri mayoritas Budha, menurut Zaim Zaidi dari Lembaga Konsumen Indonesia, diterapkan peraturan bahwa penyembelihan sapi atau ayam di rumah-rumah potong harus dilakukan oleh orang Islam. Di samping itu, juga diwajibkan pencantuman unsur-unsur yang ada dalam makanan dan minuman. Selama ini di Indonesia belum ada semacam peraturan yang mengharuskan produsen memberikan label halal pada produksinya. Menurut Menteri Munawir, ini merupakan garapan yang mestinya dibicarakan bersama antara Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, dan Menteri Agama. Memang sudah ada peraturan soal makanan, berupa Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Kesehatan tahun 1985. Namun, itu hanya mengatur soal thayyib -- alias membahayakan atau tidaknya makanan itu bagi konsumen. Sedangkan soal halal dan haramnya makanan belum ditetapkan. Barulah setelah terjadinya heboh lemak babi, Majelis Ulama Indonesia membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik yang diketuai oleh Amin Aziz. Lembaga ini, kata Amin Aziz, didirikan untuk menenangkan hati umat Islam. Agar umat Islam tak ragu-ragu, membeli makanan untuk buka puasa, misalnya, atau kosmetik untuk mempercantik diri. Biar enak, kalau tak halal, kan jadinya tak enak. Menurut Amin Aziz pula, sudah disiapkan rancangan keputusan presiden tentang makanan halal. Sambil menunggu keppres itu, lembaga ini sudah melakukan survei pada 900 jenis makanan buatan dalam negeri di pasar. Dari jumlah itu, ternyata, hanya 270 jenis yang mencantumkan label halal dalam produknya. Tentu saja, label halal itu masih dalam versi produsennya karena selama ini memang belum ada lembaga yang disahkan punya wewenang menjamin kehalalan itu, kata Amin Aziz. Memang pernah ada kesepakatan antara MUI dan Departemen Kesehatan, secara lisan, bahwa yang berwenang memberikan label halal hanyalah MUI. Itu dibenarkan oleh Departemen Kesehatan. "Memang wewenang MUI-lah untuk mengeluarkan fatwa halal dan haramnya makanan," kata Ading Suryana, Kepala Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman Departemen Kesehatan. Munurut rencana, kesepakatan itu baru akan direalisasikan pada akhir tahun ini. Maka, pendaftaran makanan -- yang dilakukan tiap tahun -- yang direncanakan mencantumkan label "halal" mulai akhir tahun ini tak bisa begitu saja mencantumkan labelnya. Diperlukan rekomendasi dari MUI. MUI, sudah tersurat dalam namanya, tentu saja bukan lembaga yang serba tahu, misalnya termasuk paham soal makanan dan kosmetik. Diperlukan lembaga lain yang bisa diajak kerja sama dan, ini penting, dipercaya oleh MUI. Dipilihlah Institut Pertanian Bogor -- mungkin karena laboratorium terlengkap guna menguji berbagai jenis makanan, obat-obatan dan kosmetik ada di IPB -- sebagai partner lembaga yang diketuai Amin tadi. Ada yang menilai, upaya MUI dan IPB sudah cukup. Dawam Rahardjo, Wakil Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, menganggap kerja sama itu sudah bisa dipercaya. Namun, Mardinsyah, anggota DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, mengusulkan kerja sama yang lebih luas agar lebih berwibawa. Mardinsyah menyebut Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Agama, Lembaga Konsumen, dan tokoh-tokoh masyarakat sebagai pihak-pihak yang sangat layak diajak menentukan sah-tidaknya pelabelan "halal" itu. Ia khawatir, bila hanya MUI dan IPB, bisa ada yang salah paham. Misalnya, muncul prasangka adanya kepentingan di salah satu pihak, maka produk tertentu ditolak labelnya, sementara yang lain diluluskan. Lebih dari itu, Mardinsyah mengusulkan agar lembaga pengkajian dan penelitian makanan halal itu ditetapkan melalui undang-undang, sebagaimana di Malaysia. Undang-undang atau keppres tak begitu jadi soal. Yang penting pelaksanaannya. Apakah pengujian itu sekadar formalitas, atau demi ketenteraman umat. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi, dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini